Mubadalah.id – Dalam era digital yang semakin terbuka, pemberitaan media tentang kekerasan terhadap perempuan tampaknya masih berkutat pada persoalan bias gender, stigma, dan kecenderungan menyalahkan korban. Admin Media Sosial Mubadalah.id, Aida Nafisah, melihat persoalan ini sebagai pola yang berulang dalam cara media membuat berita.
Aida menyampaikan bahwa dalam banyak kasus, fokus pemberitaan lebih sering diarahkan kepada korban perempuan ketimbang tindakan pelaku.
Ia mencontohkan pemberitaan kasus penganiayaan terhadap seorang DJ perempuan di Malang. Judul berita yang diangkat media, “Fakta Baru Pria di Malang Aniaya DJ Wanita, Pelaku Cemburu Korban di-Sawer,” menurut Aida, berita ini memperlihatkan bagaimana media menggiring perhatian pada perempuan yang menjadi korban, bukan pada tindakan kekerasannya.
“Pertanyaan yang mestinya muncul adalah mengapa perempuan itu harus ia aniaya? Bukan soal cemburu, bukan soal pekerjaannya, bukan alasan apa pun,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa bentuk apa pun dari tindakan memukul, menendang, hingga melukai adalah kekerasan. Namun media sering memindahkan pusat persoalan dari pelaku kepada korban. Sehingga perempuan mengalami double burden, disakiti, lalu disalahkan.
Fenomena itu bukan kasus tunggal. Aida menyebut kasus viral lainnya yang sempat menjadi beberapa bagian konten di sejumlah kanal media daring.
Kasus tersebut tidak memiliki relevansi langsung dengan identitas pribadi korban. Namun media tetap mengeksposnya secara berlebihan. Foto, nama, dan informasi pribadi korban dipublikasikan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari berita.
“Korban sudah mengalami kekerasan, lalu identitasnya media buka. Itu Pemberitaanmembuat korban mengalami reviktimisasi,” ujarnya.
Dalam konteks ini, media sangat melanggar batas etik dengan menampilkan informasi yang seharusnya mereka lindungi untuk keamanan, privasi, dan pemulihan korban.
Media Sosial: Suara Solidaritas atau Ruang Kekerasan Baru?
Di era digital, media sosial hadir sebagai ruang dengan dua wajah. Di satu sisi, platform ini memungkinkan masyarakat menyuarakan pengalaman, menuntut keadilan, dan memberikan solidaritas. Namun di sisi lain, media sosial justru sering menjadi arena baru bagi kekerasan berbasis gender.
Menurut Aida, ketika sebuah kasus viral, publik sering kali terdorong untuk menggali informasi pribadi korban. Mereka bertanya di mana korban tinggal, sekolahnya di mana, siapa keluarganya, atau apa pekerjaannya.
Dengan begitu, alih-alih memberikan empati, ruang digital berubah menjadi mesin pencari informasi yang mengancam privasi dan keamanan korban.
“Identitas seperti itu justru seharusnya dilindungi,” kata Aida.
Ia menekankan bahwa keinginan publik untuk tahu lebih banyak seringkali berlangsung tanpa memikirkan dampaknya. Ketika identitas korban tersebar, ancaman baru muncul yaitu perundungan, doxxing, hingga kekerasan lanjutan di dunia nyata. []









































