Dalam acara memperingati hari toleransi bertema Meneladani Spiritual dan Gagasan Toleransi Gus Dur, tgl. 30 Nopember 2020, yang diselenggarakan oleh Gusdurian Cirebon, aku mengawali dengan menyatakan bahwa Gus Dur adalah seorang spiritualis besar yang dalam Islam disebut sufi, sang bijak bestari.
Lalu aku mengutif kaedah cinta yang disampaikan guru spiritual maulana Rumi, Syams Tabrizi :
إن الصوفي الحق، هو الذي يتحمل بصبر، حتى لو اتهم باطلًا وتعرض للهجوم من جميع الجهات ولا يوجه كلمة نابية إلى أي من منتقديه، فهو لا ينحي باللائمة على أحد. فكيف يمكن أن يوجد خصوم أو منافسون أو حتى آخرون في حين لا توجد نفس في المقام الأول؟ كيف يمكن أن يوجد أحد يلومه في الوقت الذي لا يوجد فيه إلا واحد؟
“Seorang Sufi sejati adalah dia yang rela menanggung luka dengan sabar meski dituduh tanpa dasar kebenaran atau diserang, atau dihujat secara tak adil dari segala pihak. Ia tidak membalasnya dengan kata-kata buruk tentang mereka yang mengkritiknya, menuduh atau menyerangnya. Seorang Sufi tak pernah menyalahkan siapapun. Bagaimana mungkin ada musuh atau pesaing atau bahkan “pihak lain” bila dari awal memang tidak ada “pihak” atau “diri”? Bagaimana bisa ada yang disalahkan kalau yang ada hanyalah Ke-Esaan/Ketunggalan semata?”
Nah, dalam konteks kehidupan sosial hari ini di mana radikalisme tengah menjadi fenomena, bagaimana Gus Dur menghadapinya? Apa yang akan dilakukannya?
Melawan Radikalisme
Membaca dan mempelajari paradigma, world view dan karakter spiritualisme Gus Dur, kita akan mengatakan bahwa Gus Dur tidak akan melakukan perlawanan terhadap para pelaku kekerasan dan kaum radikal melalui cara yang sama. Dengan kata lain Gus Dur tidak akan mengatasi kelompok garis keras dan kaum radikal tersebut dengan jalan kekerasan serupa dan militeristik.
Kekerasan tidak akan dilawan dengan kekerasan yang sama. Beliau sebaliknya akan mengambil dua langkah perlawanan kultural sekaligus : memajukan perdamaian di satu sisi dan mengembangkan saling pengertian antar penganut agama dan keyakinan, di sisi yang lain.
Dalam hal yang pertama Gus Dur akan mengajak para pemimpin agama dan para pemimpin komunitas kultural untuk menegakkan masyarakat baru yang maju tanpa diwarnai penindasan dan kekerasan. Hal ini dilakukan melalui penegakan struktur ekonomi yang berkeadilan seraya membebaskan diri dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.
Gus Dur mengatakan, “kalau pemerintah dan kekuasaan yang ada mengukuhkan struktur ekonomi eksploitatif, kalangan agama harus memunculkan alternatif mereka di arus bawah. Yaitu melakukan penguatan kemandirian masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, membebaskan diri dari kungkungan hukum yang tidak adil, dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia”.
Pemaknaan atas pandangan ini tentu tidaklah sederhana. Gus Dur dalam hal ini akan mengajak semua kekuatan rakyat : buruh, tani, generasi muda, kaum intelektual dan para pengambil keputusan kultural untuk bersama-sama mendesak pemerintah memenuhi hak-hak ekonomi dan politik mereka melalui perubahan atas undang-undang yang tidak adil, curang dan eksploitatif tersebut, secara nir-kekerasan.
Gus Dur ingin seperti para tokoh kemanusiaan yang dikaguminya baik dari kalangan ulama Islam sendiri maupun dari kalangan non muslim seperti Mahatma Gandhi, atau Martin Luther King Jr dll. Tetapi boleh jadi juga jika diperlukan beliau akan turun sendiri mengajak masyarakat untuk demonstrasi damai, tanpa kekerasan atau pemogokan kaum buruh dan petani.
Lebih dari itu, Gus Dur berkali-kali, seperti tak pernah bosan menyampaikan pandangannya yang tegas dan tak pernah surut ke belakang selangkah pun untuk mengukuhkan komitmen kebangsaan dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Konstitusi NKRI yang berlaku final. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa, bagi Gus Dur, merupakan fondasi sekaligus pilar-pilar dari sebuah bangunan yang kokoh.
Dan, ketika fondasi itu dirobohkan, rumah itu juga pasti ikut roboh. Dengan tegas, lugas dan tak gentar, Gus Dur menyatakan : “Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya.” Maka Gus Dur akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan prinsip ini semua yang sesungguhnya telah menjadi Common Platform seluruh bangsa.
Demikianlah beberapa hal saja yang mungkin akan ditempuh Gus Dur dalam mengatasi problema konflik sosial, politik dan keagamaan. Ia sekali lagi tidak akan melakukan perlawanan bersenjata dan kekerasan fisik dalam menyelesaikannya. Sebaliknya, ia akan melakukan langkah-langkah aktif dan progresif bagi perubahan sosial-kemanusiaan yang lebih baik dan lebih maju melalui cara-cara damai dalam sebuah dialektika hidup yang penuh pertentangan. (Baca : Damai dalam Pertentangan, Tempo).
Akhirnya Gus Dur, dalam keyakinan saya, selalu mengingat dengan seluruh pikiran dan hatinya kata-kata Tuhan dalam al-Qur’an ini : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” Begitulah imajinasi saya tentang sikap Gus Dur atas isu Radikalisme. []