Mubadalah.id – “Ibumu kalau tidak dibantu bisa stres,”ujar Bapak kepadaku yang maksudnya tak lain sebagai nasihat sekaligus perintah. Bapak mengatakan ini bukan hanya karena keberatan jika ibu nanti akan capek fisik dan capek mental. Justru, Bapak sering mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tak segan ikut mengurus pekerjaan rumah sebagai aktivitas rutin keseharian bersama.
Bukan hanya dalam rangka membantu saja. Tetapi dengan kesadaran penuh sebagai keluarga, kita adalah tim yang solid dalam pengerjaan aktivitas rumah dan hal-hal yang menyangkut kebutuhan satu sama lain. Kesadaran ini penting dimiliki oleh setiap orang bahwa pekerjaan rumah tangga atau kerja domestik adalah pekerjaan semua orang tanpa memandang atau membedakan gender maupun status.
Mengutip ungkapan Alissa Wahid di beberapa sumber mengatakan bahwa tiga fondasi utama bangunan keluarga maslahah yaitu muadalah (keadilan), mubadalah (kesalingan), dan muwazanah (keseimbangan). Pilar ini akan menjadi penyangga mewujudkan keluarga maslahat yang selaras dengan istilah new relationship goals.
Dalam konteks memotret figur Bapak, kukira tepat sebagai role model yang menerapkan praktik peran kesalingan dalam lingkup keluarga. Saya akan mengambil praktik baik yang Bapak ajarkan sebagai contoh.
Meskipun saya paham, Bapak tidak terlalu paham soal peran kesalingan dan konsep yang berkaitan dengan itu. Tapi secara sadar Bapak mengajarkan pada anggota keluarga bahwa pekerjaan rumah adalah tugas kita bersama untuk saling berbagi peran. Atau kalau menurut beberapa orang, mereka menyebutnya “agar tidak manja, biar mandiri, egaliter”.
Berbagi Peran Anggota Keluarga
Sejak kecil, orang tua mengajarkan kepada saya untuk ikut berbagi peran dalam aktivitas rumah. Aktivitas umum ini saya lakukan salah satunya juga terdoktrin waktu masa belia sering mendapati narasi aktivitas anggota keluarga di rumah.
Sebagaimana narasi yang tertulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia mengenai aktivitas anggota keluarga tiap hari di rumah. Meskipun, sebetulnya narasi itu terlihat jelas ketimpangan peran gender yang terpaku pada aktivitas Bapak yang hanya duduk membaca koran dan minum kopi tiap pagi sedangkan ibu memasak di dapur.
Beruntung Bapak tidak mengamini praktik narasi seperti itu. Bertahun-tahun Bapak selalu mengerjakan hal penting hingga yang kecil nan sederhana sekalipun untuk dilakukan. Memastikan anaknya siap dan mengantar ke sekolah, bangun pagi untuk ikut mencuci, menyapu, memberi makan hewan peliharaan, terkadang mengepel lantai, menyetrika seragam adik yang kadang kala lupa, dan sebagainya.
Bapak selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berbagi peran yang bisa kami lakukan. Jika ada yang tidak bisa, tak segan Bapak yang berganti membereskannya. Sekalipun ada beberapa yang tidak Bapak lakukan seperti memasak karena memang Bapak sama sekali tidak mahir di pekerjaan itu. Meski begitu, sudah sejak lama Bapak selalu melakukan dan membereskan pekerjaan rumah yang lain ini tanpa mengeluh.
Tidak hanya Bapak, tiap anggota keluarga selalu akan bergantian melakukan pekerjaan rumah ketika memang belum bisa ditangani. Jika Bapak tak sempat, maka ibu akan berganti peran. Begitu pula dengan saya dan adik. Meskipun, saya yakin bahwa banyak juga bapak-bapak di luar sana yang sudah peka akan berbagi peran dalam urusan rumah tangga. Tetapi, seyogyanya ini adalah hal penting untuk bisa disorot sebagai apresiasi pengamatan keluarga yang berkesalingan.
Melek Realita
Fakta lapangan telah menunjukkan bahwa pekerjaan domestik yang hanya berkutat pada ibu saja memiliki kerentanan dampak yang buruk. Kerentanan ibu mengalami stres, depresi, burn out mustahil terpisah dari ketimpangan beban dalam pembagian tugas urusan rumah tangga.
Bahkan kontras melihat fakta bahwa apresiasi untuk perempuan yang berkarir dalam keluarga jauh lebih besar daripada perempuan yang menjadi ibu rumah tangga di rumah. Sebab permasalahan terletak pada anggapan yang masih mengamini bahwa pekerjaan domestik bukanlah “sebuah pekerjaan” atau tidak setara dengan pekerjaan di luar.
Kerja-kerja rumah tangga seakan menjadi pekerjaan wajib yang lumrah dan musti ibu lakukan. Bahkan urusan rumah tangga posisinya terbebankan oleh perempuan daripada menyetujui prinsip suami dan istri memiliki kewajiban mengurus urusan domestik bersama-sama.
Saya rasa saat membaca berita tirto.id soal survey Gallup terhadap 60 ribu perempuan di Amerika Serikat pada 2012 silam masih relevan hingga kini. Bahwa terungkap lebih banyak ibu rumah tangga yang merasa khawatir, sedih, dan marah daripada ibu-ibu yang bekerja di kantor. Meski begitu, apapun profesinya baik ibu rumah tangga maupun ibu yang juga berkarir di luar sama-sama memiliki tantangan masing-masing.
Pada prinsipnya anggota keluarga penting untuk saling berbagi peran dan bertanggung jawab atas aktivitas yang terjadi di dalam rumah. Dukungan dan kerja sama dari pasangan amat penting menjaga keutuhan dan kebaikan keluarga.
Tim yang Solid dan Berkesalingan
Zaman sekarang ini sudah tentu pasti membangun keluarga yang berlimpah kebaikan dan kebahagiaan adalah impian tiap pasangan. Sebagaimana tiga pilar keluarga maslahat yang saya sebut di atas menandai bahwa relasi antara suami dan istri, orang tua dan anak, anak kepada anak, dan sebagainya harus berlandaskan prinsip mubadalah (kesalingan).
Prinsip mubadalah ini akan meniscayakan relasi antara keduanya dan yang lainnya—berbasis kemitraan, kesalingan, dan kerja sama. Mengutip pemaknaan Q.S at-Taubah (9:71) dalam Manual Mubadalah, Faqihuddin Abdul Qodir, bahwa laki-laki dan perempuan, satu sama lain diminta menjadi wali, ulama mengartikan dengan makna pelindung, penolong, dan penanggungjawab. Relasi antara mereka adalah saling menolong, melindungi, dan bekerja sama.
Ayat ini memang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan secara umum. Tetapi ini bisa menjadi pegangan bahwa dalam berbagai tempat dan aspek relasi laki-laki dan perempuan adalah mitra bersama. Dalam ayat lain yang spesifik mengarah pada prinsip keluarga juga mengarah pada tujuan yang sama.
Dalam Q.S al-Baqarah, 2:187 dan ar-Rum, 30:21 tentang prinsip berpasangan dan berkesalingan. Q.S an-Nisa’, 4:19 tentang saling memperlakukan dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) dan Q.S al-Baqarah, 2:233 tentang kebiasaan saling rembuk bersama atau musyarawah.
Beberapa dalil Al-Qur’an yang dibaca dengan interpertasi yang mapan menampakkan anjuran dan pedoman kepada pasangan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, Rahmah, dan mubadalah.
Tawaran perspektif mubadalah dalam pernikahan menegaskan kemanusiaan perempuan dan pentingnya relasi kerja sama. Bukan hegemoni antar keduanya. Tetapi kemitraan, kebersamaan, dan kesalingan antara laki-laki sebagai suami dan ayah. Anak sebagai individu biasa, dan perempuan sebagai istri, ibu, anak, maupun individu biasa.
Pada praktiknya, jika antara suami dan istri memiliki prinsip dan praktik kesalingan maka kita bisa yakin bahwa keduanya akan mengajarkan praktik tersebut kepada anak-anaknya. Sehingga komitmen membangun pondasi keluarga maslahat kiranya akan terwujud.
Sekali lagi, meskipun Bapak sendiri tidak terlalu memahami konsep kesalingan. Akan tetapi praktik Bapak menjadi partner pasangan yang membangun mu’asyarah bil ma’ruf untuk keluarga patut menjadi contoh yang terdokumentasi. []