• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

Aktivis disabilitas di Indonesia melahirkan konsep difabel dari pengalaman panjang mereka dalam memperjuangkan kesetaraan.

arinarahmatika arinarahmatika
14/05/2025
in Personal
0
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas

949
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saat kita berbicara untuk memahami disabilitas, kita sering langsung membayangkan seseorang dengan keterbatasan fisik yang terlihat, seperti pengguna kursi roda atau seseorang yang memakai tongkat. Namun, disabilitas mencakup lebih dari itu dan bersifat jauh lebih luas serta kompleks.

Dalam Webinar bertema “Inklusi Disabilitas Dalam Dunia Kerja” pada Senin, 5 Mei 2025, Dr. Bahrul Fuad—atau yang akrab kita sapa Cak Fuad—mengajak peserta merenung lewat pertanyaan pembuka yang sederhana namun bermakna. “Siapa di sini yang punya keterbatasan?”

Ketika seorang peserta dari Indramayu menyebutkan bahwa ia memakai kacamata, Cak Fuad langsung menanggapi dengan pertanyaan lanjutan: “Kalau kacamatanya kita lepas, masih bisa baca?” Peserta itu menjawab tidak. Cak Fuad pun menyimpulkan, “Itu berarti Anda juga punya keterbatasan.”

Melepaskan Label Disabilitas

Kita sering menyematkan label disabilitas hanya kepada mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau sensorik yang mencolok. Padahal, semua orang memiliki keterbatasan dalam berbagai bentuk, ada yang tidak bisa melihat jelas tanpa alat bantu, mudah lupa, atau lambat dalam memproses informasi. Namun, kita tidak selalu menyebut mereka sebagai penyandang disabilitas. Lalu, apa yang membedakannya?

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) menjelaskan bahwa disabilitas merupakan konsep yang terus berkembang. Disabilitas tidak hanya merujuk pada kondisi tubuh atau pikiran, tetapi muncul dari interaksi antara keterbatasan individu dengan hambatan sikap dan lingkungan sekitar.

Baca Juga:

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Realita Disabilitas dalam Dunia Kerja

Seseorang kita sebut penyandang disabilitas ketika ia mengalami hambatan dalam berpartisipasi secara penuh dan efektif di masyarakat akibat gabungan dari keterbatasan pribadi, hambatan lingkungan, dan diskriminasi sosial.

Ambil contoh pengguna kursi roda. Ia memang memiliki keterbatasan mobilitas. Tetapi ketika ia bisa mengakses fasilitas umum, diterima di tempat kerja, dan masyarakat memperlakukannya secara setara, maka ia tetap bisa berpartisipasi aktif.

Sebaliknya, ketika tempat ibadah tidak menyediakan jalur akses, kantor menolaknya tanpa alasan yang rasional, atau masyarakat merendahkannya karena tubuhnya berbeda, disabilitas muncul sebagai konstruksi sosial.

Disabilitas Bukan Soal Tubuh Semata

Penyandang disabilitas tidak menganggap tubuh mereka sebagai masalah utama. Masalah terbesar justru muncul dari perlakuan masyarakat terhadap mereka. Sayangnya, banyak intervensi yang masih fokus pada individu dari rehabilitasi fisik hingga modifikasi fungsi tubuh.

Padahal, menurut Cak Fuad, masyarakat justru perlu mengubah dua hal yang berada di luar individu: sikap sosial dan hambatan lingkungan.

Misalnya, saat Cak Fuad mengunjungi Masjid Agung Cirebon, ia menemukan akses yang ramah seperti jalur landai, ruang luas, dan tempat wudhu yang mudah diakses. Ia pun bisa menjalankan ibadah Jumat tanpa kendala.

Namun, ketika ia mengunjungi masjid lain yang masih memiliki tangga tinggi, jalur sempit, dan tempat wudhu yang tidak ramah kursi roda, ia kesulitan beribadah. Padahal, setiap orang berhak mengakses tempat ibadah. Masyarakat seharusnya mengubah desain bangunan dan pola pikir, bukan tubuh penyandang disabilitas.

Masalah ini bahkan masuk ke ranah teologis. Dalam pandangan agama, keterbatasan fisik merupakan kehendak Tuhan dan patut kita syukuri.

Namun, hambatan sosial dan struktural merupakan hasil perbuatan manusia—dan kita bisa serta seharusnya mengubahnya. Karena itulah lahir pendekatan baru seperti fiqih disabilitas, yang menekankan keadilan sosial bukan melalui penyeragaman tubuh, melainkan melalui perubahan sikap dan sistem yang menciptakan ketimpangan.

Membentuk Konsep Difabel

Aktivis disabilitas di Indonesia melahirkan konsep difabel dari pengalaman panjang mereka dalam memperjuangkan kesetaraan. Pada tahun 1997, para tokoh disabilitas berkumpul di Yogyakarta dan menyusun kontra-narasi terhadap istilah “cacat” yang merendahkan martabat manusia.

Mereka menolak menyamakan manusia dengan barang yang rusak, seperti yang tercermin dari definisi “cacat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dari forum itu, mereka menciptakan istilah “difabel” atau differently abled, yang berarti berbeda dalam kemampuan, bukan rusak atau kurang.

Kelompok Yogyakarta memelopori penggunaan istilah ini, meskipun kelompok di Jakarta sempat menolaknya. Namun, seiring waktu, istilah “difabel” mulai diterima karena membawa pesan tentang martabat dan kesetaraan.

Menuju Masyarakat Inklusif

Disabilitas bukanlah persoalan tubuh semata. Ia mencerminkan cara masyarakat memandang dan memperlakukan perbedaan. Ketika kita menyadari bahwa keterbatasan bukan sumber masalah utama, melainkan sikap dan lingkungan yang tidak ramah, kita bisa mulai membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Keadilan sosial sejati hanya bisa terwujud ketika kita memperbaiki sistem dan cara berpikir, bukan ketika kita mencoba menyamakan semua tubuh. []

Tags: AksesibilitasBahrul FuadKomnas DisabilitasMemahami DisabilitasRuang InklusiTeman Difabel
arinarahmatika

arinarahmatika

Terkait Posts

Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan
  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID