Mubadalah.id – Dalam Islam ada beberapa versi redaksi Hadis yang berbeda tentang larangan perempuan berpergian tanpa mahram.
Seperti dalam riwayat Imam Ibn Hazm (w. 1064) di kitab a-Muhalla bi al-Atsir, ada versi tentang larangan tanpa mahram untuk perjalanan perempuan jika lebih dari tiga hari tiga malam.
Kemudian, ada versi selama tiga hari tiga malam, dan ada versi dua hari, ada versi satu hari. Lalu ada juga versi yang menyebutkan secara mutlak tanpa batasan hari sama sekali.
Tanpa batasan, artinya kurang dari satu hari, perjalanan perempuan harus tetap ditemani mahram. Perbedaan versi ini tentu saja berpengaruh terhadap perbedaan keputusan hukum fikih mengenai isu ini.
Salah satu versi populer, seperti Imam Bukhari riwayatkan sebagai berikut:
Dari Ibn Abbas r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak (boleh) seorang perempuan bepergian kecuali ditemani mahramnya. Tidak (boleh) juga seorang laki-laki masuk ke (rumah atau kamar) seorang perempuan kecuali ditemani mahramnya.”
Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, saya mau berangkat ekspedisi dengan suatu tentara, tetapi istriku akan berangkat haji (sendirian)”. Kata Nabi Saw.: “Temani perjalanannya (istrimu)? (Shahih al-Bukhari, Kitab Jaza’ al-Shayd, no. 1893).
Pandangan Fikih
Dengan versi ini, Ibn Hazm berpendapat bahwa kewajiban mahram itu ada di pundak laki-laki, bukan perempuan.
Karena di dalam teks ini, ada pernyataan Nabi Saw. kepada laki-laki untuk menemani istrinya yang ingin melakukan perjalanan haji.
Nabi Saw. tidak melarang perempuan tersebut, tidak juga meminta suaminya melarangnya. Sekalipun suaminya juga memiliki kewajiban tersendiri.”
Artinya, perempuan yang memerlukan perjalanan, untuk haji misalnya, tidak perlu menunggu ada mahram.
Dia bisa berangkat melakukan perjalanan haji tanpa mahram sekalipun, yang berdosa adalah kerabat laki-lakinya yang tidak menemani perjalanannya. Begitu pernyataan Imam Ibn Hazm.
Sementara Ibn Hajar al-Asqallani menjelaskan berbagai pandangan fikih. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan perempuan adalah mutlak harus bersama mahram, seorang kerabat keluarga laki-laki.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bisa diganti mahramnya menjadi sekelompok perempuan. Artinya, perempuan yang berkelompok bisa menjadi mahram satu sama lain.
Ada juga pendapat ulama fikih yang mengatakan bahwa perempuan tidak memerlukan mahram sama sekali ketika perjalanannya aman.
Pendapat ini diadopsi oleh ulama generasi awal, murid dari Imam Syafi’i, yaitu al-Karabisi (w. 859), al-Qaffal (w. 1026) dan Abu Mahasin al-Rayyani (w. 1107). []