• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Gus Dur dan Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender: Resensi Buku Gender Gus Dur

Dengan landasan al Kulliyat al Khams, Gus Dur meyakini posisi laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah Swt

Fia Maulidia Fia Maulidia
14/09/2023
in Buku
0
Kebijakan Kesetaraan Gender

Kebijakan Kesetaraan Gender

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Judul: Gender Gus Dur

Pengarang: Ashilly Achidsty

Penerbit: Gading

Tahun terbit: 2021

Jumlah halaman: xvii + 149 halaman

Mubadalah.id- Pernahkah terlintas dalam benak kita, dari mana kebijakan kesetaraan gender di Indonesia itu bermula? Sebagai generasi yang tumbuh ketika kesadaran kesetaraan gender mulai masif, saya tergelitik untuk mencari ‘induk’ kebijakan kesetaraan gender di Indonesia.

Selain ratifikasi CEDAW yang implementasinya ompong selama orde baru itu, literatur yang saya baca mengarah pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Buku Ashilly Achidsty yang berjudul Gender Gus Dur inilah yang cukup melengkapi kepingan puzzle di kepala saya. Saya membaca dengan antusias, selain karena memang mengidolakan Gus Dur, jarang ada penulis yang mengungkap siapa aktor politik di balik Inpres No. 9/2000, tonggak kebijakan kesetaraan gender di Indonesia berikut kondisi sosio-historis dan dinamika saat kebijakan itu terumuskan.

Buku ini mengulik bagaimana Gus Dur berinisiatif menggunakan kekuasaannya untuk mengambil kebijakan kesetaraan gender di tengah kondisi pemerintahan yang masih buta gender. Di mana hal tersebut menjadi  penting dan butuh keberanian besar bagi pemimpin kala itu.

Inpres tersebut bukan satu-satunya kebijakan kesetaraan gender yang Gus Dur lakukan. Buku ini menjelaskan ada dua kebijakan penting lain yang menjadi landasan kebijakan kesetaraan gender di Indonesia. Adalah perubahan nama Kementrian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan, serta penyelamatan buruh migran perempuan.

Baca Juga:

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

Selain menjelaskan hal-hal di atas dengan gamblang, buku terbitan Gading ini juga memuat wawancara dengan tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam proses perumusan Inpres No. 9/2000 dan beberapa langkah penting Gus Dur terkait kesetaraan gender, satu hal penting bagi saya yang baru lahir setahun setelah Gus Dur mengeluarkan Inpres tersebut.

Orde Baru dan Produk Hukum Diskriminatif Gender

Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebut bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terutama bagi perempuan.  Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa konstruksi gender itu sistematis, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara struktural oleh negara hingga dianggap sebagai kodrat dari Tuhan.

Fakta inilah yang kita temukan selama orde baru berkuasa. Alih-alih mendorong kesetaraan, negara justru turut menjadi aktor peminggiran dan subordinasi perempuan.

Seperti pasal 31 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang mengukuhkan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan yang hanya mengatur kesehatan ibu hamil dan melahirkan, namun belum khusus mengatur kesehatan reproduksi perempuan, dsb.

Ibuisme Negara

Walaupun cukup singkat, tapi buku Gender Gus Dur ini bisa memberikan kita gambaran awal bagaimana domestikasi perempuan sempat masif dalam bentuk kebijakan pada saat Soeharto berkuasa. Seperti pada tahun 1972, di mana pemerintah melahirkan program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di seluruh Indonesia dengan jargon Pancha Dharma Wanita:

Satu, wanita sebagai istri pendamping suami. Dua, wanita sebagai ibu rumah tangga. Tiga, wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak. Empat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Lima, Wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat.

Tak cukup sampai di situ, pada 1974  pemerintah juga melahirkan Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri sipil. Istri pegawai negeri di tiap tingkat dan departemen pemerintah wajib menjadi anggota Dharma Wanita sebagai wujud loyalitas kepada suami dan negara.

Dalam buku ini, Ashi menjelaskan bahwa dua organisasi tersebut mengintervensi susunan struktural pengurus dengan budaya “Istri ikut suami”. Hal itu karena pangkat suami anggota menentukan pemimpin organisasi. Panca Dharma Wanita yang menekankan bahwa tugas perempuan adalah pendamping suami dan rumah tangga pun turut memperkuat domestikasi.

Fenomena pengerdilan peran sosial-politik perempuan ini disebut Julia Suryakusuma, salah satu feminis Indonesia sebagai “Ibuisme negara”. Sebagai konsekuensi perkawinan feodalisme dan kapitalisme yang lahir dalam wujud ibuisme negara, perempuan juga harus puas sebagai tenaga kerja murah. Hal ini sebagai akibat dari negara yang menempatkan perempuan pada kotak pencari nafkah tambahan semata.

Gus Dur dan Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender

Apa yang dilakukan oleh Gus Dur terkait kesetaraan gender selama masa pemerintahannya yang singkat, menjadi angin segar karena ibuisme negara telah mengakar kuat sejak orba. Ashi dalam buku ini mencatat tiga kebijakan penting yang di kemudian hari menjadi tonggak kesetaraan gender di Indonesia.

Pertama, perubahan nama Kementrian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Penggantian nomenklatur ini otomatis membuat fokus kebijakan kementrian pun berubah. Untuk pertama kalinya, kata Gender diperkenalkan dan dijabarkan secara resmi dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional.

Di sisi lain, Kementrian yang dipimpin oleh Khofifah Indar Parawansa pada masa itu menetapkan GBHN tahun 1999-2004, yang menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan:

1) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional

2) Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan.

Kedua, pengesahan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).

Inpres tersebut mendefinisikan PUG sebagai strategi mengintegrasikan gender sejak tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi program pembangunan nasional.

Walau ‘hanya’ Instruksi Presiden, tapi kebijakan ini menjadi landasan penting dalam berbagai undang-undang yang mendorong pengarusutamaan gender. Di sisi lain, Inpres ini bisa menjadi rekayasa sosial yang mengubah cara pikir aparat pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang belum melek gender pada saat itu (mungkin juga sampai hari ini).

Di antara UU yang lahir dari dorongan pengarusutamaan gender ini seperti: UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, dan UU No. 8/2015 tentang Pemilu.

Saya juga mungkin kawan pembaca memiliki pertanyaan, mengapa Inpres? padahal Inpres tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, mengapa tidak undang-undang saja? Di buku Gender Gus Dur inilah kita akan menemukan jawabannya.

Ashi menjelaskan ada dua alasan utama mengapa Gus Dur memilih Inpres. Pertama, secara mekanisme aturan perundang-undangan, untuk menjadikan UU membutuhkan waktu lama. Keputusan Presiden (Keppres) pun tidak bisa menjadi pilihan karena Kementrian Pemberdayaan Perempuan harus dilikuidasi. Kedua, mayoritas pejabat pada saat itu belum melek gender, sehingga berharap PUG menjadi UU tidaklah mungkin.

Ketiga, penyelamatan buruh migran Perempuan.

kita tidak perlu meragukan keberpihakan Gus Dur kepada rakyat kecil dan mustadl’afin. Hal itu tercermin pada perlindungan dan keamanan buruh Perempuan migran yang  mendapat perhatian besar Gus Dur selama masa pemerintahannya.

Selain mendirikan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Gus Dur juga mencabut undang-undang No. 25/1997 tentang Ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat, dan tidak ada proteksi terhadap tenaga kerja Indonesia.

Salah satu kasus yang mendapat sorotan besar Gus Dur adalah misi penyelamatan Siti Zaenab, buruh migran yang mendapat vonis hukuman mati karena tuduhan membunuh majikan perempuannya pada tahun 1999. Padahal, apa yang dilakukan oleh Siti Zaenab adalah bentuk perlindungan diri dari penganiayaan yang ia dapatkan.

Secara personal, Gus Dur menelepon Raja Arab Saudi, Raja Fahd untuk melakukan lobi terkait hukuman mati Siti Zaenab. Lobi itu berhasil sehingga hukuman mati Siti Zaenab tertunda sampai anak dari majikannya, mencapai akil baligh dan mampu memutuskan apakah Siti Zaenab terampuni atau dijatuhi hukuman mati.

Misi penyelamatan buruh migran perempuan ini menjadi preseden penting karena menunjukkan keseriusan pemerintah. Terutama dalam melindungi perempuan kelas pekerja yang memang memiliki kerentanan berlapis dari pada laki-laki kelas pekerja.

Dua Hal Penting Peninggalan Gus Dur

Selain kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur memiliki pengaruh kuat sebagai guru bangsa dan tokoh pesantren. Dengan keluasan dan kedalaman pengetahuannya, Gus Dur mampu mencari irisan dari hal-hal yang tampak bertentangan demi kemaslahatan yang lebih luas.

Sebagai contohnya, Gus Dur mendorong peran Perempuan di ranah publik selama ia memimpin Nahdlatul Ulama. Seperti putusan Munas NU di Lombok pada tahun 1997 yang menyebut bahwa Perempuan boleh menjadi pemimpin publik.

Contoh lain adalah bagaimana Gus Dur mengenalkan konsep kesetaraan gender dengan istilah “Mitra sejajar” di kalangan pesantren. Istilah ini terpilih karena saat itu masyarakat menilai kata gender terlalu kebarat-baratan dan penuh stigma negatif.

Selain itu, dengan landasan al Kulliyat al Khams Gus Dur meyakini posisi laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah. Hal itu tercermin dalam tulisannya yang berjudul “Hak Asasi Wanita dalam Islam”. Untuk itulah pada awal tahun 1990, Gus Dur mulai mengenalkan dan menyebarluaskan istilah mitra sejajar.

Melanjutkan Nafas Perjuangan Gus Dur

Dalam buku Gender Gus Dur ini, Ashi mencatat bahwa pada 1992-1994 istilah gender masih asing di Indonesia. Gus Dur sebagai ketua PBNU Bersama Musdah Mulia sebagai pimpinan Fatayat berkeliling untuk menjelaskan istilah mitra sejajar pada para kiai.

Jika kita kelompokkan, ada dua hal penting peninggalan Gus Dur bagi kita sampai hari ini. Yakni peninggalan secara struktural berupa tiga kebijakan penting terkait kesetaraan gender yang sudah kita bahas di atas.

Selain itu, peninggalan kultural berupa pengenalan konsep kesetaraan pada kalangan pesantren dengan istilah mitra sejajar, sampai reinterpretasi hadits dan ayat yang kita tafsirkan secara misoginis.

Dengan kondisi dan tantangan zaman yang berbeda. Semoga kita bisa terus merawat dan melanjutkan nafas perjuangan Gus Dur dan banyak pendahulu kita lainnya. []

Tags: Gendergus durkeadilankebijakanKesetaraanReview Buku
Fia Maulidia

Fia Maulidia

Terkait Posts

Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

4 Juli 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Novel Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

27 Juni 2025
Fiqhul Usrah

Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa

25 Juni 2025
Hakikat Berkeluarga

Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

23 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID