Mubadalah.id – Dalam tulisan sebelumnya “Membaca Arah RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Part I”, saya mengulas tentang maraknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Kehadiran RUU KIA yang digagas atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada sekitar Juni 2022 lalu mdmberi harapan baru.
Meski RUU KIA sesungguhnya memang masih awal sekali. Selain minim partisipasi publik, RUU ini juga terasa masih tumpang tindih dengan UU lain seperti UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan; atau UU Cipta Kerja yang baru.
Tak heran bila RUU KIA banyak kalangan menilai belum akan mampu lahirkan perubahan nasib yang signifikan atas pemenuhan hak-hak dasar anak dan perempuan/ ibu di negeri ini.
Jalan Awal RUU KIA
Swara Rahima, Jakarta misalnya sebut, RUU KIA lebih banyak bahas ulang aturan tentang hak cuti melahirkan ibu pekerja, yang tadinya diatur 3 bulan masa cuti dengan gaji penuh pada UU Ketenagakerjaan pasal 82 ayat 1. Sedang pada RUU KIA akan diatur menjadi 6 bulan masa cuti, dengan gaji tidak penuh pada kurun 3 bulan kedua.
Sementara itu Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengritisi bahwa, jika fokusnya soal cuti melahirkan bagi ibu bekerja, idealnya point tersebut kita atur saja melalui perubahan UU Ketenagakerjaan, atau ratifikasi konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Maternitas. Apalagi dengan usulan cuti 6 bulan akan makin membuat perempuan rentan alami pemutusan hubungan kerja (PHK), akibat sistem kontrak dalam UU Cipta Kerja.
Perusahaan bisa dengan semaunya melakukan PHK jika pekerja perempuan memasuki masa hamil. Ataupun perempuan akan kian dijauhkan dari sumber-sumber ekonomi yang lagi-lagi berakibat pada pemiskinan sistematis terhadap mereka.
Dengan kata lain panjangnya cuti tidak serta merta lindungi hak-hak perempuan pekerja. Bisa jadi, justru kian untungkan sistem kapitalisme neoliberal yang kini terus kian menggejala. Lalu bagaimana pula dengan nasib sebagian besar perempuan yang masih bekerja di sektor informal, domestik lainnya? Mereka jelas seperti tak terjangkau dengan aturan itu.
Pintu Masuk Negara Kesejahteraan
Lebih lanjut tanpa adanya bentuk perlindungan yang sistematis, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak ini kita nilai justru hanya akan berimbas pada pembakuan peran gender tradisional yang tempatkan posisi perempuan pada ruang domestik. Karena selain buat perempuan kian terpinggirkan dari akses peroleh lapangan kerja. Hal ini akibat para pemberi kerja lebih memilih pekerja laki-laki yang mereka pandang akan bebas tugas reproduksi.
RUU ini juga mereka nilai tidak lakukan pembagian peran setara antara istri dan suami. Namun seolah kian melanggengkan peran pengasuhan hanya sebagai tanggung jawab ibu/ perempuan semata.
Padahal seharusnya RUU kesejahteraan ibu dan anak tersebut dapat lebih kita tempatkan lagi dalam konteks yang lebih luas dan benar-benar signifikan dampaknya pada kesejahteraan ibu dan anak.
Misalnya saja RUU ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengatur jaminan biaya tentang keberlangsungan pendidikan ibu/ perempuan yang telah memiliki anak-anak, hingga jenjang perguruan tinggi. Terutama sekali bagi mereka yang menjadi korban kekerasan, perkosaan, maupun lainnya.
Ataupun juga aturan tentang hak dasar tunjangan kepengasuhan yang akan dapat para ibu/ perempuan peroleh. Ataupun laki-laki/ ayah yang mengasuh anak-anaknya yang masih balita. Dengan demikian anak juga akan peroleh hak dasarnya berupa kepengasuhan terbaiknya. Sedang para orang tua, baik perempuan/ ibu atau siapa saja, tidak akan alami beban ganda (double burden), sebagai pencari nafkah sekaligus kepengasuhan.
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
Memang di dalam RUU KIA selain fokus pada isu cuti ibu melahirkan, juga fokus pada isu stunting. Sekaligus pemberdayaan ekonomi perempuan/ ibu yang telah memiliki anak-anak. Akan tetapi aturan-aturan ini akan bisa bias, atau malah kehilangan substansinya akibat belum sepenuhnya memihak pada realitas keseluruhan pengalaman mendasar perempuan (dan/ atau laki-laki) dalam kerja-kerja kepengasuhan.
Kasus ibu meninggal akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Pati, Jawa Tengah. Yakni dengan memeluk bayi serta kedua putrinya yang masih balita tersebut di atas, adalah gambaran jelas betapa kita seperti masih bias memandang kerja kepengasuhan yang perempuan jalani.
Bagaimana bisa pemberdayaan ekonomi akan kita lakukan atas diri perempuan/ ibu yang tengah berjibaku, berjuang mengasuh 3 balita sekaligus? Antara lain umur kurang dari 1 bulan, 2 tahun, dan 4 tahun? Bertambah lagi jika tidak adanya aturan tentang penitipan anak secara gratis yang negara tanggung, ataupun negara beserta para pemberi kerja.
Konsep Negara Kesejahteraan
Memang aturan-aturan yang menjamin tentang hak memeroleh tempat penitipan anak gratis. Hak tunjangan kompensasi kerja-kerja kepengasuhan. Hingga hak jaminan pendidikan gratis sampai ke Perguruan Tinggi untuk semua orang tanpa terkecuali bagi perempuan/ ibu yang telah miliki anak-anak.
Semua itu sementara ini hanya ada pada negara-negara model Skandinavia maupun Nordik di wilayah Eropa, seperti Denmark, Swedia, Norwegia, ataupun Finlandia, juga Eslandia.
Negara-negara itulah, Eropa maupun Barat lainnya yang betul-betul terapkan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Di mana sementara ini telah bisa mejalankan semua aturan yang mensejahterakan seluruh masyarakat tersebut.
Negara-negara itu bahkan kita katakan sebagai negara sekuler, bukan agama. Namun masyarakatnya disebut paling sejahtera dan berbahagia. Karena memasukkan pula kerja-kerja kepengasuhan ke dalam agenda utama kesejahteraan yang dinilai tak kalah fundamental dengan kerja-kerja produksi industri lainnya.
Melampaui Welfare State
Terkait aturan-aturan negara kesejahteraan ini dalam pandangan saya sementara, juga akan sangat bisa impactful. Bahkan akan bisa turut mengradasi pandangan patriarkhal yang selama ini masih hidup dan tumbuh subur dalam masyarakat kita.
Di mana yang menganggap bahwa kerja-kerja kepengasuhan atau kerja domestik lainnya bukanlah sebagai pekerjaaa. Karena mereka anggap tidak menghasilkan uang, kapital. Karenanya hanya akan terpandang sebelah mata, tanpa mau menyaksikan betapa pentingnya pengasuhan yang baik bagi kontribusi generasi bangsa di masa depan.
Dengan aturan-aturan melampaui model negara kesejahteraan tersebut, pandangan masif patriarkhal maupun pandangan merendahkan sesama, mengabaikan keadilan kemanusiaan, harapannya akan bisa berubah total.
Publik akan mulai bisa dan mau menghargai kerja-kerja domestik yang dalam jumlah besar memang lebih banyak perempuan kerjakan. Dengan begitu hal ini juga akan dapat menekan angka kekerasan terhadap perempuan di ranah personal/ domestik, maupun publik lain, yang juga menelan korban beserta anak-anaknya, sebagaimana peristiwa-peristiwa di atas.
Bukankah kebijakan melampaui negara kesejahteraan, yang menjunjung tinggi keadilan, kemakmuran, bahkan kemaslahatan bersama (al mashlahah al ammah). Telah pula tersebutkan secara tegas oleh para tokoh Guru Bangsa, Gus Dur maupun Abuya Husein Muhammad sebagai bagian dari amanat Konstitusi Indonesia sejak awal sebagaimana ditunjukkan dalam pembukaan sekaligus batang tubuh UUD 1945?
Tujuan Utama Berdirinya NKRI
Kesejahteraan umum ini menjadi tujuan utama dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karenanya menjadi hak dasar setiap warga bangsa, tak terkecuali perempuan dan anak-anak untuk memperolehnya. Yakni kemerdekaan, kemajuan kesejahteraan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan menganggapnya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempatkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran tersebut sebagai sesuatu yang esensial bagi kehidupan semua orang.
Gus Dur dan Abuya Husein bahkan sebutkan kemerdekaan, kesejahteraan itu sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi yang sesungguhnya. Dengannya, keadilan harus kita tegakkan. Terlebih bagi rakyat jelata yang hingga kini terus rentan alami ketertindasan.
Dan RUU KIA yang terdesain melampaui negara kesejahteraan akan bisa menjadi satu payung penting, yang butuh kita kawal jalannya agar betul-betul dapat memberi perlindungan keadilan, kesejahteraan yang signifikan.
Namun kebaikan, kemaslahatan itu yang akan terlahir kelak memang tidak akan datang begitu saja. Melainkan harus kita perjuangkan hingga tidak ada lagi korban perempuan dan anak-anak yang terus berjatuhan. Karenanya, ini terus butuh untuk kita suarakan. Semoga terdengar hingga kepada para pemilik, pemangku kebijakan. Wallahu a’lam bisshawab.[]