• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Membaca Kembali Konsep dan Peran Ibu dalam al-Qur’an

Para ibu dalam al-Qur’an adalah para ibu yang ikut terlibat aktif dalam mengubah tatanan masyarakat, ikut menciptakan dan membentuk sejarah dan peradaban manusia ke arah yang lebih bertata nilai, berkeadilan, dan humanis dalam tatanan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan teologi.

Yulia Nasrul Latifi Yulia Nasrul Latifi
23/12/2021
in Keluarga
0
Juraij

Juraij

179
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Peresmian Hari Ibu Nasional pada 22 Desember tercantum dalam Dekrit Presiden Soekarno No. 316 tahun 1959. Sejak tahun 1912, para pejuang perempuan Indonesia muncul, seperti RA. Kartini, Tjoet Nyak Dien, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Cut Meutia, dan lain-lain.

Melalui organisasi, kaum perempuan Indonesia ikut berjuang meraih kemerdekaan, lalu diselenggarakan Konggres Perempuan Indonesia III di Bandung pada tanggal 22 Desember 1938. Inilah dasar historis Penetapan Hari Ibu ini, yang merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan kepada para perempuan Indonesia yang ikut berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penetapan Hari Ibu Nasional tentu menggembirakan sebab salah satu upaya pemosisian perempuan sebagai “subjek” yang setara dengan laki-laki sehingga seluruh eksistensinya terakui. Namun, yang kini penting untuk di renungkan kembali, seberapa jauh pemosisian subjek yang dilekatkan pada “ibu” telah terejawantahkan oleh para ibu Indonesia yang kemudian terwarisi sepanjang generasi?

Bila berbagai ekspresi peringatan Hari Ibu itu sendiri justru menumbuh kembangkan budaya “domestikasi” berlebihan yang identik dengan memasak, kepengasuhan anak, dan keperawatan keluarga, bagaimanakah pemosisian  ibu sebagai “subjek” dapat lebih dikedepankan?

Tentu, bukan berarti keluarga tidak penting bagi peran seorang ibu. Keluarga tetaplah salah satu pilar vital bagi tegaknya masyarakat yang sehat, kokoh, dan dinamis. Yang sebenarnya penting untuk lebih dikedepankan adalah mainset bahwa keluarga adalah tanggung jawab bersama bagi pasangan suami-istri.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Sejak persoalan mendidik dan mengurus anak, pekerjaan domestik, hingga keuangan keluarga, sayogyanya disadari bersama bahwa itu semua menjadi tanggungjawab bersama dengan peran-peran gender yang demokratis, dapat dipertukarkan, dan fleksibel dengan kesepakatan bersama sesuai kondisi yang ada.

Tidak dapat dipungkiri, realitas yang masih mendominasi di masyarakat kita adalah dikotomi gender dan pemosisian perempuan yang cenderung subordinatif dan marginal. Domestikasi perempuan yang membatasi peran dan fungsinya hanya sebatas keluarga adalah salah satu bentuk warisan dari budaya patriarki yang berusia ribuan tahun akibat berbagai situasi dan perkembangan sejarah yang cukup kompleks.

Inilah salah satu sebab, mengapa perjuangan kesetaraan gender harus terus dilakukan untuk memberikan penyadaran atas budaya patriarki yang telah mengakar kuat yang harus segera kita ubah agar tercipta tatanan budaya yang lebih humanis dan demokratis.

Konsep dan Peran “Ibu” dalam al-Qur’an

Sebagai refleksi Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021 hari ini, sangat menarik bila kita membaca ulang seperti apa konsep dan peran Ibu dalam al-Qur’an. Tidak kurang dari lima ibu heroik digambarkan dalam al-Qur’an, yaitu: Hawa, Maryam, ibu Musa, Bilqis, dan Asiyah.

Para ibu agung tersebut dijelaskan dalam al-Quran sebagai seorang manusia perempuan yang menjadi “subjek” utuh dan memiliki eksistensi serta kemerdekaan yang penuh yang melekat dalam harkat dan martabat kemanusiaannya. Mereka melahirkan anak dan menciptakan keturunan atau generasi sebagaimana kodrat biologinya untuk fungsi reproduksi. Namun dalam peran keibuan tersebut, mereka tetap menampakkan dengan sangat jelas keberadaannya sebagai “subjek” yang berkehendak, mencipta, dan mendinamisir sejarah dan peradaban.

Hawa dalam drama kosmis yang dikisahkan al-Qur’an adalah perempuan yang otonom dan berposisi egaliter dengan Adam. Dalam kisah simboliknya, Hawa bersama-sama dengan Adam memakan buah terlarang di surga, lalu sama-sama terusir ke bumi. Setelah keduanya bertaubat dan diterima Allah taubatnya, lalu Allah mempercayakan keturunan mereka sebagai khalifah (pengganti Tuhan) di bumi dengan ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada mereka. Kisah simbolik Hawa dan Adam yang egaliter adalah kebenaran pesan perenial, tentang hubungan manusia modern dengan ilmu pengetahuan.

Maryam juga muncul dengan subjektivitas diri yang amat kuat. Nama Maryam secara eksplisit disinggung dalam al-Qur’an. Khususnya untuk masyarakat Kristiani, Bunda Meri (Maryam) diposisikan sangat tinggi dalam bagian teologis yang diimani. Dalam banyak referensi, baik dalam tradisi Nasrani maupun Islam, biografi dan kisah hidup Maryam dipenuhi dengan kesucian, keutamaan, dan kekuatan kepribadian.

Maryam sangat mencintai ilmu dan gigih belajar di Bait al-Maqds. Maryam sangat kuat menghadapi hinaan, cacian, dan tuduhan masyarakat atas janin yang ada di rahimnya tanpa melalui sentuhan lelaki sama sekali, sebab kehamilannya adalah kehendak Allah.

Pembacaan kuat Maryam atas krisis nilai akut di masyarakat membawanya bermunajat pada Allah agar anak yang dikandungnya adalah manusia yang dapat mengubah sejarah dan peradaban manusia. Lalu Allah mengabulkan doa-doanya dengan kelahiran Nabi Isa a.s. Bahkan, ketika Nabi Isa di salib, Maryam tetap hadir dengan kekuatannya dengan kembali memeluk Nabi Isa a.s. sehingga ia meninggal dalam pelukan  seorang ibu.

Bilqis dikisahkan al-Qur’an dengan otonomi kuat. Dia seorang ratu yang mampu membawa kemakmuran dan kesejateraan rakyatnya dengan sistem pemerintahan yang bijaksana dan demokratis, hingga Nabi Sulaiman a.s. sangat terkagum-kagum padanya. Setelah dialog dan bernegosiasi, kejernihan dan keterbukaan pola pikir Bilqis membuatnya berkeputusan untuk masuk Islam bersama seluruh rakyatnya. Bilqis adalah salah satu figur seorang ibu yang dapat berkeputusan secara langsung untuk mengubah sejarah pada masanya.

Kisah Ibu Musa juga penuh otonomi dalam berkeputusan. Peraturan Raja Fir’aun yang akan membunuh semua bayi laki-laki menjadikan ibu Musa mengupayakan berbagai cara, ikhtiar, dan strategi untuk menyelamatkan bayi Musa dari Firaun. Doa dan upaya konkrit dia lakukan secara berimbang. Doa yang dipanjatkan pada-Nya agar bayinya dijaga Allah secara langsung, sebab pada bayinya itulah ibu Musa mengharapkan dapat jadi pengubah sejarah Mesir yang ratusan tahun dikuasai Raja Firaun yang Dzalim.

Setelah menerima wahyu dari Allah, bayi Musa dia hanyutkan ke Sungai Nil. Melalui anak perempuannyanya, Ibu Musa mengawal keselamatan bayi Musa hingga keberadaannya aman. Hingga kisah selanjutnya, ibu Musa terus mendampingi bayi Musa dengan menyusuinya di kerajaan.

Kisah Asiyah (istri Fir’aun) juga diabadikan dalam al-Qur’an. Asiyah mendapatkan firasat akan keagungan bayi Musa yang dia temukan di Sungai Nil, bahwa firasatnya mengatakan bayi itu nantinya dapat menyelamatkan masa depan sejarah dan peradaban manusia. Dengan berbagai upaya, Asiyah aktif dan asertif dalam memberikan berbagai argumentasi untuk meyakinkan Fir’aun agar mau menerima bayi Musa di kerajaan dan mengadopsinya sebagai anak mereka berdua, yang nantinya menjadi pewaris kerajaan.

Dasar-dasar etika humanis ditanamkan oleh Asiyah pada Musa hingga kemudian Musa menjadi matang dan menerima risalah kenabian dan kerasulan. Otonomi Asiyah tetap muncul meskipun dengan tantangan yang kuat, sebab ia berseberangan pandangan dan ideologi keyakinan dengan suaminya sendiri (Raja Fir’aun). Karena iman Asiyah yang kuat meskipun dalam tekanan dan siksaan Fir’aun itulah, maka Allah menjanjikan bangunan surga untuknya sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an.

Mencermati kisah para ibu yang heroik dan agung dalam al-Qur’an di atas telah memberikan catatan penting pada kita. Menurut al-Qur’an, konsep ibu adalah perempuan matang yang berperan dalam fungsi reproduksinya dalam menghadirkan keturunan. Hal ini diakui betul oleh al-Qur’an. Yang menarik dan penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa fungsi reproduksi yang inheren dalam perempuan dengan menyandang sebutan “ibu” ini tidak kemudian menghalangi atau menutupi akan perannya sebagai manusia “otonom” yang berdaulat dan berposisi sebagai “subjek” penuh.

Oleh karenanya, para ibu dalam al-Qur’an adalah para ibu yang ikut terlibat aktif dalam mengubah tatanan masyarakat, ikut menciptakan dan membentuk sejarah dan peradaban manusia ke arah yang lebih bertata nilai, berkeadilan, dan humanis dalam tatanan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan teologi.

Sebenarnya, fakta historis para pejuang perempuan Indonesia juga sama, bahwa Sejak 2012 Para ibu Indonesia telah berkesadaran sebagai “subjek” otonom yang tidak menjadikan peran domestik sebagai satu-satunya bentuk atau pilihan untuk aktualisasi dirinya. Mereka berperan aktif dalam meraih kemerdekaan RI, aktif berkontribusi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka dipenuhi cita kemanusiaan yang tinggi.

Namun sayangnya, tonggak historis tahun 1921 sebagai muara kesadaran bersama  tersebut belum dijadikan dasar historis bagi kesetaraan gender di Indonesia. fakta ini terlihat, di satu sisi, banyak perempuan yang masih tetap menerima peran domestiknya sebagai satu-satunya pilihan atau kebenaran kodrati yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Di sisi lain, budaya patriarki masih cukup mengakar hingga sekarang ini, yang salah satu bentuknya adalah domestikasi perempuan, bahwa satu-satunya wadah atau ranah aktualisasi diri seorang ibu adalah di dalam rumah. Berbagai kasus kekerasan seksual yang kian marak akhir-akhir ini yang  grafiknya justru menaik adalah salah satu bukti masih menguatnya pola pikir patriarki yang beroposisi biner; memosisikan perempuan sebagai objek (laki-laki subjek), menihilkan kemanusiaan perempuan, dan perempuan kembali menjadi korban.

Mari bersama menjadi para ibu Indonesia yang memiliki subjektivitas otonom dalam harkat dan martabat kemanusiaan yang tinggi dan mulia. Selamat Hari Ibu. []

Tags: Hari Ibukeluargaperan ibuSejarah Islam
Yulia Nasrul Latifi

Yulia Nasrul Latifi

Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version