Mubadalah.id – Perubahan cara pandang atas kedirian manusia yang diajarkan Islam berpengaruh pada perubahan cara pandang atas beberapa konsep. Dua di antaranya adalah konsep kejantanan dan kesucian.
Ketika manusia hanya dipandang sebatas makhluk fisik, maka standar dua konsep ini juga sebatas biologis. Kejantanan diukur oleh sekuat apa seseorang bisa menyalurkan syahwat seksualnya. Sementara kesucian diukur oleh utuh tidaknya alat kelamin secara fisik.
Dalam cara pandang seperti ini, laki-laki menjadi terobsesi untuk menaklukkan sebanyak mungkin perempuan supaya mereka anggap jantan. Sebaliknya, perempuan harus mempunyai selaput dara seutuh mungkin sebagai bukti kesuciannya.
Laki-laki dimaklumi ketika menyalurkan secara serampangan libido seksnya. Sebaliknya, perempuan disalahkan saat Selaput dara robek karena terbentur setang ketika bela jar naik sepeda atau karena dipaksa menjadi sasaran libido seksual laki-laki.
Islam mengubah cara pandang ini. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki akal dan hati. Dimensi nonfisik yakni intelektual dan spiritual manusia menjadi jati diri mereka yang utama.
Nilai kualitas manusia bukan pada jenis kejamin yang bersifat fisik, melainkan oleh ketakwaan yang bersifat intelektual sekaligus spiritual. Takwa adalah menggunakan akal budi semaksimal mungkin dalam setiap tindakan agar memberi maslahat bagi diri sendiri dan pihak lain seluas-luasnya atas dasar iman kepada Allah Swt.
Thayyib dan Ma’ruf
Kejantanan tidak boleh kita tentukan oleh sekuat apa seseorang mampu menyalurkan libido seksualnya, melainkan sebaliknya, sekuat apa mampu mengendalikannya. Yakni sekuat apa mampu menyalurkannya tidak hanya secara halal, melainkan juga secara baik (thayyib) lagi pantas (ma’ruf).
Demikian pula kesucian tidak boleh kita tentukan oleh utuh tidaknya alat kelamin secara fisik. Melainkan oleh sekuat apa mampu mengendalikannya. Yakni sekuat apa mampu menggunakannya tidak hanya secara halal. Tetapi juga secara baik lagi pantas.
Hanya dengan cara yang bermartabat seperti inilah laki-laki dan perempuan mampu memberi kemaslahatan kepada diri sendiri dan pihak lain seluas-luasnya dalam melakukan aktivitas seksual.
Laki-laki dan perempuan yang beriman sama-sama harus bisa menjaga alat kelamin atau mengontrol libido seksual (hifzhul furuj) dengan baik. Kapankah? Sepanjang hidup, baik saat jomblo maupun ketika memiliki suami atau istri. []