Mubadalah.id – Nama Nawal El Shaadawi dapat dikatakan memiliki tempat tersendiri di hati saya. Berkat karyanya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, saya mulai memahami dan empati terhadap persoalan-persoalan yang menimpa kaum perempuan. Melalui karyanya ini pula, saya juga semakin menyadari bahwa ada yang tidak beres pada sistem budaya dan masyarakat kita dalam menempatkan kaum perempuan. Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk tertarik mempelajari pemikiran feminisme dan perkembangannya.
Nawal El Shaadawi dalam novelnya Perempuan di Titik Nol initidak hanya membahas mengenai permasalahan ketidakadilan dalam hal fisiologi dan seksualitas perempuan semata, tetapi ia juga mengkritisi secara tajam mengenai ketidakadilan perempuan dalam perspektif ekonomi, sosial, dan politik.
Novel yang ditulis Nawal El Shaadawi ini memberi gambaran secara nyata mengenai penindasan yang berlangsung di masyarakat, khususnya menjelaskan status inferior perempuan dengan tujuan menentang struktur sosial yang ada, dan berusaha untuk mewujudkan sistem sosial yang lebih manusia dan lebih adil.
Melalui novel ini, pembaca dapat melihat disposisi Nawal El Shaadawi sebagai pengarang dalam menyikapi isu-isu diskriminasi perempuan dan sistem patriarki di negara Timur Tengah. Nawal El Saadawi menjadikannya medium untuk menyampaikan kritiknya terhadap sistem kapitalis dan sistem patriarki yang telah memunculkan adanya penindasan terhadap perempuan. Sistem nilai tersebut tidak bisa bisa dipisahkan dari praktik sosial tokoh utama Firdaus. Melalui tokoh Firdaus, Nawal menyatakan keberpihakannya terhadap kaum perempuan yang termarjinalkan.
Novel Perempuan di Titik Nol ini berisikan narasi perjuangan hidup tokoh Firdaus dari tindak diskrimimasi kaum lelaki dan berusaha keluar dari himpitan-himpitan, agama, sosial, dan budaya yang mengandung ketidakadilan terhadap dirinya sebagai seorang perempuan.
Terlahir di keluarga yang miskin dengan kebudayaan Arab yang kental dan selalu memperlakukan wanita secara tidak adil, Firdaus tumbuh menjadi seorang perempuan yang membenci kaum laki-laki. Sejak kecil Firdaus telah mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh orang terdekatnya yaitu ayah dan pamannya.
Kesulitan ekonomi di keluarganya membuat Firdaus kecil bekerja untuk orang tuanya. Firdaus kecil juga sering mengalami tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh paman dan teman laki-laki bermainnya. Perasaan yang bergejolak untuk memprotes segala ketidakadilan yang dialaminya sangat mempengaruhi kehidupan Firdaus di masa depannya.
Permasalahan yang dialami Firdaus tidak sampai di situ, Nawal El Shaadawi memasukkan masalah yang lebih pelik lagi di kehidupan Firdaus. Yaitu ketika ia dipaksa oleh paman dan bibinya untuk menikahi seorang yang berusia lanjut dan memiliki rupa dan kebiasaan yang jelek. Kapital ekonomi yang dimiliki istri pamannya membuat Firdaus terpuruk dan terpaksa menyanggupi permintaan mereka.
Pernikahan ia jalani merupakan bentuk dari diskriminasi ia sebagai perempuan yang memiliki kapital ekonomi yang rendah sehingga mau tidak mau ia harus menuruti keinginan pihak-pihak yang memiliki kapital ekonomi yang lebih tinggi yaitu pamannya yang notabene telah membesarkan dan menyekolahkannya.
Berbagai diskriminasi yang tejadi dalam hidup Firdaus telah mendorongnya menjadi seorang perempuan yang kuat, mandiri, dan ingin bebas. Firdaus ingin terbebas dari kungkungan kebudayaan dengan sistem patriarki yang menurutnya merugikan pihak perempuan. Selain itu, habitus masa lalunya membuat ia benci kepada laki-laki dan ingin terbebas dari mereka. Menjadi pelacur adalah dampak dari semua itu.
Menjadi seorang pelacur merupakan keputusan dan kemauan Firdaus bukan sebagai tuntutan hidupnya. Menurut Firdaus, semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk dan istri merupakan pelacur yang paling murah. Firdaus memilih menjadi pelacur karena menjadi pelacur lebih bebas ketimbang menjadi istri yang diperbudak (hlm.133). Firdaus memberikan harga yang paling tinggi setiap ia memberikan tubuhnya. Dengan uang tersebut Firdaus dapat hidup mewah dan mendapatkan kelas sosial yang tinggi di masyarakat.
Permasalahan yang digambarkan Nawal El Shaadawi melalui tokoh Firdaus ternyata tidak sesimple itu karena akhir cerita novel ini bukanlah happy ending. Masalah yang lebih rumit justru datang ketika seorang germo laki-laki bernama Marzouk memaksa ingin menikahi Firdaus demi keuntungan pribadi. Namun pembunuhan menjadi penutup penderitaan yang dialami Firdaus.
Pembunuhan yang dilakukan Firdaus terhadap Marzouk sebenarnya merupakan protes Nawal El Shaadawi, sang pengarang, atas ketidaksetaraan gender yang sering membuat kaum perempuan termarjinalkan. Selama ini perempuan dianggap sebagai makhluk lemah dan tidak mampu menjaga diri dan hartanya.
Seorang Firdaus yang digambarkan lemah, lembut, dan penurut tetapi mampu membunuh seorang laki-laki kasar seperti Marzouk, merepresentasikan kenyataan bahwa kekuatan, mental, dan keberanian perempuan sama dengan laki-laki. Akan tetapi, sistem patriarki yang berkolaborasi dengan sistem kapitalis di masyarakat yang menjadikan kapital simbolik laki-laki yang berupa otoritas seringkali membuat perempuan kalah dalam arena sosial di masyarakat seperti kasus yang dialami oleh Firdaus.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Nawal El Shaadawi dalam beberapa sumber bahwa sistem nilai yang menundukkan perempuan di bawah laki-laki membentuk suatu struktur dasar masyarakat patriarki, seperti yang terdapat di dalam kebudayaan Mesir.
Sebuah struktur yang kuat dikukuhkan untuk mempertahankan dan membela sistem patriarki melalui institusi politik dan sosial yang diperkuat dengan hukum dan sanksi yang berkaitan dengannya. Bersama dengan kapitalisme, sistem ini mencapai eksploitasi dan penindasan yang sangat dahsyat, khususnya diperkuat oleh imperialisme pada tingkat dunia dengan dominasi ekonomi global yang dimiliki. []