Mubadalah.id – Jika kita membaca poligami pada konteks sosial yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw maka hal ini tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan sosial yang menimpa anak-anak yatim, melainkan persoalan sosial lainnya yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad Saw.
Misalnya soal perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan Umm Salamah ra, yang ditinggal mati suaminya Abdullah bin Abd al-Asad bin Hilal ra akibat luka parah yang diderita dari perang Uhud. Ummu Salamah ra ditinggal mati dengan tanggungan anak-anak yang masih kecil.
Sementara tidak sedikit dari para sahabat yang mempraktikkan poligami tidak atas dasar persoalan sosial, terutama pengurusan anak-anak yatim.
Dr. Muhammad Syahrur sendiri memang menyatakan, bahwa pemahamannya merupakan sesuatu yang baru atas tuntutan perkembangan zaman. Pemahaman baru yang menurutnya tetap mengacu pada ketepatan struktur bahasa yang al-Qur’an gunakan sendiri.
Baginya, al-Qur’an harus terus kita baca sesuai dengan konteks sosial masing-masing pembaca, agar risalah yang ingin al-Qur’an bawa tetap bisa menginspirasikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Jika mendasarkan pada konteks sosial yang terjadi pada masa awal Islam. Maka ayat al-Qur’an tentang poligami sebenarnya ingin menyampaikan pesan transformasi sosial yang harus kita lanjutkan pada perkembangan berikutnya.
Ayat al-Qur’an pada saat itu baru bisa mengkritik perilaku poligami, dengan mengaitkan pada perlunya moralitas keadilan. Tetapi masyarakat pada saat itu masih banyak membiarkan tindakan poligami.
Pesan transformasi ini berdasarkan pada prinsip keadilan yang harus mereka jadikan pijakan dalam perilaku poligami masyarakat muslim.
Melalui prinsip keadilan ini pesan transformasi dalam ayat al-Qur’an harus kita teruskan. Hingga makna keadilan benar-benar terimplementasikan dalam realitas perkawinan masyarakat muslim. Keadilan yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan, dalam hal akses, hak, kebijakan dan keputusan. []