Mubadalah.id – Keluarga merupakan lingkup kecil dari suatu tatanan dalam masyarakat sosial. Mulai dari keluarga, seseorang mendapatkan kasih sayang, kententraman, hak dan kewajiban, serta nilai/ajaran untuk menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan.
Banyak hal yang dapat terbentuk dari keluarga, mulai dari tumbuh kembang anak, memahami lingkungan sekitar serta mengenal perbedaan. Keluarga juga menjadi pondasi awal dalam membentuk karakter seseorang. Biasanya, nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sekitar.
Masyarakat yang menerapkan nilai pola relasi gender yang juga akan diikuti oleh keluarga yang tinggal dalam masyarakat tersebut. Pola relasi gender yang diterapkan dalam tatanan masyarakat yang bersifat patriakri, tentu akan didominasi oleh laki-laki sebagai penguasa atau memiliki wewenang yang lebih tinggi daripada perempuan.
Sebaliknya, apabila pola relasi gender diterapkan dalam masyarakat yang bersifat matriarki, maka perempuanlah yang ditempatkan pada posisi paling tinggi daripada laki-laki. Hal ini berbeda dengan pola relasi gender yang diterapkan dalam masyarakat yang liberal-demokratis, mereka yang cenderung egaliter akan menerapkan pola relasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Adapun pola relasi gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan akan mengakibatkan terjadinya ketidakadilan gender. Sehingga, berpeluang munculnya diskriminasi, marginalisasi, stigma negatif, beban ganda, serta kekerasan berbasis gender baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat, yang mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya prinsip keadilan gender untuk kebaikan bersama. Diantara hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Akses Pendidikan
Pendidikan sudah seharusnya mempunyai kualitas yang baik serta relevan dengan kebutuhan zaman, yakni memiliki kualitas keimanan dan ketakwaan yang kokoh, mengenali dan mengaplikasikan budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, berfikir secara analitik dan terbuka, mempunyai kepedulian sosial serta berusaha meningkatkan prestasi. Baik laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh akses pendidikan sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Dalam Q.S. Al-Mujadalah [58]: 11 Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”.
Ayat diatas ditujukan kepada siapapun tanpa memandang jenis kelamin. Bahwasanya, Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agar kehidupannya lebih baik.
- Peranan dan Kedudukan
Laki-laki maupun perempuan memiliki peran dan kedudukan yang sama, yakni sebagai subjek atau pelaku dalam pembangunan. Mulai dari aktif di lembaga formal atau non formal, instansi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, profesi, organisasi sosial politik, dan lain sebagainya.
Sebab, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera dan yang membedakan diantara keduanya dihadapan Allah hanyalah kadar ketakwaannya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Hujarat [49]: 13 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
- Pengambilan Keputusan Berdasarkan Musyawarah Mufakat
Musyawarah mufakat merupakan salah satu ciri dari bangsa Indonesia berdasarkan sila keempat pada Pancasila. Adapun tujuan daripada musyawarah mufakat adalah supaya terciptanya keharmonisan, kekeluargaan, dan kebersamaan. Dalam Q.S. Asy-Syura [42]: 38 yang berbunyi:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
Artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
Pada ayat diatas, Allah menegaskan bahwa, dalam hal urusan apapun apabila terdapat suatu hal yang janggal dan belum menemukan titik temu, maka dapat menempuh jalan musyawarah. Tentu, dalam bermusyawarah ini semua pihak harus terlibat tanpa memandang gender, agama, suku, dan ras. Laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pengambilan keputusan.
Bisa jadi satu keputusan itu menguntungkan laki-laki, tetapi bagi perempuan kurang menguntungkan karena beberapa hal. Karena, antara laki-laki dan perempuan memiliki perspektif dan pengalaman yang berbeda. Oleh karena itu, apabila terdapat suatu persoalan antara laki-laki dan perempuan, maka harus diselesaikan secara bersama dengan jalan musyawarah. Wallahu’alam bi shawab. []