Mubadalah.id – Sejarah Nabi menginformasikan, menjelang tampil sebagai sosok berpengaruh, Nabi Muhammad melakukan meditasi dan refleksi. Pikirannya terkonsentrasi untuk mencari jalan memulai langkah transformasi bagi masyarakat.
Dengan cara mengejutkan, Jibril datang menemuinya dengan membawa petunjuk Allah. Isinya, Dia meminta Nabi membaca, memahami penciptaan manusia, dan mengajarkan pengetahuan kepada manusia. Allah Swt berfirman:
“Bacalah, dengan Nama Tuhan yang mendidikmu. Dialah Sang Pencipta. Dia menciptakan manusia dari darah yang menggumpal. Bacalah, Demi Tuhan yang mendidikmu Yang Maha Mulia. Dia Yang mengajarkanmu dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq: 1-5).
Mungkin mengherankan bagi banyak orang, mengapa Allah tidak langsung saja menyuruh Nabi menyampaikan perintah, misalnya:
“Hai Muhammad, katakan kepada mereka, sembahlah Tuhan Yang Esa!” atau “Katakanlah, Allah adalah Esa?.” Ungkapan demikian sesungguhnya tidak dapat mereka (Quraisy Mekah) pahami, bahkan boleh jadi akan menimbulkan perlawanan yang keras.
Allah mengajarkan Nabi untuk tidak bicara tentang Kemahaesaan Tuhan terlebih dulu. Karena sesungguhnya, ide Tauhid hanya dapat kita pahami dan mengerti melalui pengetahuan, pemikiran, dan perenungan tentang diri dan alam semesta.
Merinci
Menariknya, Allah dalam ayat tersebut tidak menjelaskan secara rinci mengenai apa saja yang harus dibaca. Para ahli tafsir berbeda-beda dalam mengomentari ayat tersebut.
Sebagian mengatakan membaca al-Qur’an. Tetapi, umumnya mereka berpendapat, perintah membaca yang al-Qur’an maksud adalah mempelajari segala sesuatu, mempelajari hakikat diri manusia, dan juga mempelajari realitas.
Sebelumnya Allah memberikan strategi yang sama kepada Nabi Adam, yang menjadi representasi khalifah (mandataris) Allah di muka bumi. Al-Qur’an menyatakan, “wa ‘allama adaama al-asma’a kullaha” (Dan Allah mengajarkan kepada Adam semua nama-nama).
Para ahli tafsir menjelaskan, yang dimaksud al-Asma’ (nama-nama) adalah al-Musammayat (segala sesuatu yang diberi nama). Segala yang bernama itu tidak sekedar dimengerti makna literalnya, melainkan dipahami karakter dan sifat-sifatnya. Karenanya, nama-nama (al-Asma) dapat juga ditafsirkan sebagai realitas-realitas dan fakta-fakta empiris.
Dari uraian tersebut, dapat kita ambil inspirasi, kerja-kerja transformasi harus kita mulai dari mendidik masyarakat, dan menanamkan kesadaran. Bahkan bisa menghapuskan kebodohan, dan mencerdaskan mereka.
Inspirasi lain yang juga bisa kita ambil adalah organisasi-organisasi advokasi sosial harus memulai gerakannya dengan langkah kajian dan penelitian atas realitas masyarakat, dan struktur sosial yang membentuknya. “Siapa yang mengenal realitas, dia akan mengenal Tuhannya,” begitulah kira-kira. []