Mubadalah.id – Rato Ebu (atau Ebhu) menjadi simbol kekuatan religiusitas perempuan Madura. Begitu kata Hasanatul Jannah dalam buku Ulama Perempuan Madura. Makam sosok perempuan ini bahkan, tidak hanya sekadar menjadi situs cagar budaya di Sampang, lebih dari itu termasuk makam yang masyarakat Madura keramatkan.
Sejauh penelusuran saya, ada beberapa pandangan, yang bahkan saling bertentangan, perihal sosok Rato Ebu.
Ada yang bilang, Rato Ebu adalah istri dari Pangeran Praseno (Cakraningrat I). Dalam versi ini, sosok Rato Ebu merujuk pada Syarifah Ambami, yang merupakan seorang perempuan keturunan Sunan Giri.
Versi lain justru mengatakan, Rato Ebu adalah ibu dari Pangeran Praseno. Dalam versi ini, sosok Rato Ebu merujuk pada Nyai Ageng Mamah, istri dari penguasa Kerajaan Arosbaya (Madura Barat) yang bernama Raden Koro.
Meski ada perbedaan pandangan sejarah terkait sosok Rato Ebu, namun semua mengarah pada dirinya sebagai leluhur yang orang Madura muliakan dan keramatkan. Sosok perempuan, yang sebagaimana Jannah, menjadi simbol religiusitas perempuan Madura.
Rato Ebu sendiri pada dasarnya bukan nama seorang perempuan. Ini merupakan gelar untuk seorang perempuan. Rato dalam makna lokal berarti raja atau ratu, dan ebu merupakan peringkasan dari ebunda yang berarti ibu. Jadi, Rato Ebu dapat berarti ibu ratu atau ibu raja. Dapat pula berarti raja ibu di mana kata ibu merujuk pada sosok perempuan.
Pengertian yang pertama bermakna seorang perempuan yang menjadi ibu (pendidik) para penguasa Madura. Dan, yang kedua bermakna seorang perempuan yang memiliki peran sebagai penguasa Madura. Dua makna Rato Ebu ini sama-sama memiliki jejak historis dalam sejarah Madura.
Derajat Spiritualitas Rato Ebu
Berbagai sumber sejarah perempuan Madura menggambarkan Syarifah Ambami sebagai sosok perempuan dengan kematangan spiritual yang tinggi. Perempuan yang takwa dan tekun beribadah pada Tuhan-nya. Yang selalu setia pada suaminya. Yang tidak henti zikir dan doanya kepada Allah SWT siang dan malam. Penggambaran ini tidak lepas dari sosoknya, yang menjadi simbol kekuatan religiusitas perempuan Madura.
Banyak cerita menarik tentangnya. Di antaranya, sebagaimana cerita yang Khoirotun Nisa tuliskan dalam artikel berjudul “Pemerintahan Pangeran Cakraningrat I di Sampang Tahun 1624-1648.”
Sewaktu Pangeran Praseno berada di Mataram, Syarifah Ambami sering melakukan halwat berupa tirakat, menahan lapar, dan kantuk. Ia senantiasa berzikir kepada Allah SWT. Cerita ini merupakan penggambaran Rato Ebu sebagai perempuan yang menjaga kesucian dirinya.
Sebagaimana kita tahu, sebab intervensi Sultan Agung atas Madura yang begitu kuat, Pangeran Praseno harus menetap di Mataram, meski statusnya adalah penguasa Madura. Dalam kondisi ini, Rato Ebu digambarkan sebagai perempuan yang menjaga kesucian dirinya sebagai istri Cakraningrat.
Rato Ebu yang senantiasa melakukan tirakat kemudian mengalami mimpi bertemu Nabi Khidir AS. Di kalangan orang-orang sufi, pertemuan dengan Khidir merupakan bagian dari gambaran ketinggian derajat kesufian. Ini berarti, adanya cerita Rato Ebu bermimpi bertemu Nabi Khidir, pada dasarnya ingin menjelaskan bahwa ia bukan perempuan Muslim biasa.
Rato Ebu adalah perempuan yang bahkan telah mencapai derajat yang oleh para sufi pandang sebagai wali. Derajat kesufian yang tidak semua sufi, baik laki-laki maupun perempuan, mampu mencapainya.
Ibu bagi Generasi Pemimpin Madura
Dalam mimpi itu, Nabi Khidir bertanya perihal keinginan Syarifah Ambami. Ia pun menjawab bahwa, ia ingin Allah SWT memperkenankan anak-anaknya menjadi pemimpin kerajaan sampai tujuh turunan.
Di sini, cerita Rato Ebu bermimpi bertemu Nabi Khidir menjelaskan dirinya sebagai sosok yang mampu membesarkan para pemimpin Madura. Keinginannya bukan pada kemewahan dunia, tapi pada kehidupan yang baik bagi generasi penerusnya. Hal ini menjadikan dirinya memang pantas untuk gelar Rato Ebu, yang secara luas dapat bermakna ibu bagi para raja dan masyarakat Madura.
Jika pendapat umum menjelaskan Raden Praseno sebagai awal lahirnya klan Cakraningrat, yang menjadi penguasa Pulau Madura. Dalam konteks penyiapan generasi selanjutnya, cerita di atas menggambarkan peran penting Rato Ebu. Tanpanya, tidak akan ada sosok Pangeran Undagan (Cakraningrat II), Demang Melakusuma (kakak Cakraningrat II dan ayah dari Trunojoyo), dan generasi-generasi Cakraningrat selanjutnya hingga Cakra Dininggrat.
Dalam hal ini, Rato Ebu adalah ibu bagi para pemimpin Madura. Kelampauannya menjelaskan betapa penting posisi perempuan dalam menyiapkan generasi penerus yang baik.
Peran sebagai Penguasa Madura
Rato Ebu dalam makna perempuan yang punya peran sebagai penguasa Madura, juga menarik untuk kita diskusikan.
Pasca perang Mataram tahun 1624, Sultan Agung dapat kita katakan telah berhasil menguasai Madura. Untuk menjalankan pemerintahan di wilayah ini, penguasa Mataram itu menunjuk Pangeran Praseno sebagai Raja Madura dengan gelar Cakraningrat.
Penunjukan Pangeran Praseno hanya taktik politis Sultan Agung. Penguasa Mataram itu tidak ingin Cakraningrat berlama-lama di Madura. Mungkin takut, jangan-jangan dapat memantik kembali semangat perjuangan masyarakat Madura. Oleh karena itu, Sultan Agung memanggil Cakraningrat untuk tetap berada di ibu kota Mataram.
Pada titik ini, kita menemukan dua narasi sejarah yang berbeda perihal posisi Rato Ebu tatkala Cakraningrat tidak berada di Madura. Ada yang bilang ia larut dalam kesedihan. Versi sejarah lain mengatakan, ia mengambil peran sebagai penguasa menggantikan posisi suaminya yang kosong.
Versi sejarah yang pertama mengatakan bahwa, paman Cakraningrat (Pangeran Sentomerto) yang mendapat amanah untuk menjadi wakilnya selama ia bertugas di Mataram. Lantas, di mana Rato Ebu ketika itu?
Dalam versi ini, sebagaimana Mas Gagah Prama Wibawa dalam “Kepurbakalaan Makam Raja-raja Islam di Arosbaya, Bangkalan, Madura,” Rato Ebu memilih bertapa di Desa Buduran. Ia larut dalam kesedihan. Menjadi pendiam. Meratapi nasib. Hingga, menutup mata di tempat pertapaannya.
Jannah dalam bukunya memberi narasi sejarah yang berbeda. Dalam buku yang fokus membahas ulama perempuan Madura itu, dengan penjelasan yang terbatas, ia memberi interpretasi sejarah yang tidak menjelaskan Rato Ebu sebagai perempuan yang larut dalam kesedihan. Sebaliknya, Rato Ebu mengambil peran Cakraningrat di Madura hingga wafatnya. Ia menjadi perempuan yang mengisi jalannya sejarah penguasa Madura.
Rato Ebu di antara Tafsir Sejarah
Versi sejarah bahwa Rato Ebu menetap dan menjalankan peran Cakraningrat di Madura, merupakan interpretasi historis dengan pendekatan yang tidak meminggirkan peran perempuan. Memang tanpa dukungan data sejarah yang memadai, kita akan sulit menyatakan tafsir sejarah ini sebagai yang lebih benar.
Namun versi yang mengatakan Rato Ebu larut dalam kesedihan hingga wafat, juga tidak sepenuhnya benar. Pandangan itu sangat lekat dengan paradigma yang memandang perempuan sebagai makhluk lemah, yang tidak mampu menjalankan peran sebagai penguasa.
Pandangan itu juga tidak sepenuhnya salah, sebab sebagai manusia yang berstatus istri Cakraningrat, bagaimanapun Rato Ebu punya kesedihan ketika ia tidak bisa bersama suaminya di Madura. Namun begitu, selarut-larutnya Rato Ebu dalam kesedihan, ia adalah istri penguasa Madura.
Perempuan keturunan Sunan Giri, yang diceritakan punya kematangan spiritual yang tinggi. Mengatakan ia hanya terlelap dalam kesedihan hingga wafat dan tanpa berbuat apa-apa, jelas sangat bertentangan dengan penggambaran karakter dirinya.
Rato Ebu boleh jadi sedih mengingat Cakraningrat tertawan di Mataram, dan dalam kesedihan itu ia tetap memiliki peran dalam masyarakat. Peran-peran moral sebagai istri penguasa Madura di tengah masyarakat. Peran-peran yang membuat dirinya terkenang sebagai simbol kekuatan religiusitas perempuan Madura. Bahkan, hingga hari ini, petilasannya masih menjadi simbol keramat bagi masyarakat Madura. []