Mubadalah.id – Apa yang terpikirkan jika mendengar istilah “feminisme”? kumpulan perempuan liar? Perempuan liberal? Kelompok perempuan yang benci laki-laki? Penganut budaya Barat? Atau kelompok perempuan yang tidak mau menikah? Mari kita membincang feminisme. Saya yakin di antara kalian pernah ada yang berpikir bahwa deretan kalimat tersebut sudah mewakili makna feminisme. Lantas apakah itu keliru?.
Kita tahu bahwa feminisme itu banyak sekali alirannya, dan setiap aliran feminisme memiliki sudut pandang serta interpretasi yang berbeda-beda. Sehingga di antara alirannyapun ada yang saling kontradiktif. Namun, hadirnya beragam corak pemikiran feminisme tersebut tidak lain berangkat dari keberagaman cara berpikir masyarakat juga, seperti halnya ilmu pengetahuan lain.
Walaupun setiap gerakan feminisme memiliki cara pandang yang berbeda-beda, namun semua yang mengaku “feminis” memiliki tujuan yang sama yaitu “terciptanya masyarakat yang adil gender”. Feminisme percaya bahwa perempuan dan laki-laki harus memiliki akses yang setara terhadap pilihan-pilihan hidup.
Perbedaan di antara aliran-aliran feminisme ini, terletak pada “jalan” yang kita tempuh menuju “kesetaraan gender” tersebut. Ilustrasinya seperti ini, setiap orang ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Namun menuju “khusnul khatimah” tersebut menempuh jalan yang berbeda-beda, ada yang menempuhnya dengan salat sunnah rajin, ada yang menempuhnya dengan puasa rajin, atau ada yang menempuhnya dengan shadaqah rajin, dan kita tinggal memilih.
Terus, apakah ada feminis yang benci laki-laki? tidak mau menikah? liberal? Semua jawabannya ada. Tapi lagi-lagi itu soal “jalan” yang dipilih, jika merasa “jalan” tersebut tidak sesuai dengan prinsip hidup, jangan memilihnya. Toh kita menjadi “feminisme” karena memperjuangkan “kesetaraan gender”, bukan karena benci laki-laki atau karena tidak menikah, itu wilayah teknis dan pilihan. I’m a feminist, I don’t hate men and want to get married.
Mengenal Feminisme Lebih Dekat
Feminisme adalah sebuah paradigma, sebuah pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan. Pada awalnya kemunculan feminisme ini mereka gunakan sebagai nama untuk sebuah gerakan sosial yang mengusung hak-hak perempuan.
Gerakan sosial ini bermula di New York pada tahun 1848, diinisiasi oleh Elizabeth Cady Stanton dan temannya, Susan B. Anthony, di Seneca Falls. Kegiatan tersebut juga merupakan konferensi perempuan pertama yang menggunakan istila feminisme dan membahas pentingnya pendidikan perempuan serta peran perempuan dalam politik.
Dalam konteks Indonesia sendiri, gerakan pembebasan perempuan ini diinisiasi oleh seorang feminis R. A. Kartini melalui kumpulan surat-suratnya dengan Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari Belanda dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.
Feminisme: dari Masyarakat Patriarki, Menuju Matriarki
Banyak miskonsepsi masyarakat ketika membincang feminisme, di antaranya adalah anggapan bahwa feminisme ingin menghancurkan masyarakat patriarki dan mengubahnya menjadi masyarakat matriarki. Di mana beralih posisi dari laki-laki yang mendominasi perempuan dalam peran sosial, politik dan ekonomi menjadi laki-laki yang didominasi oleh perempuan.
Padahal itu pemahaman yang keliru, justru yang feminisme inginkan adalah perempuan dan laki-laki hidup berdampingan dalam tataran sosial, politik dan ekonomi, tidak saling mendominasi satu sama lain, tapi saling bekerjasama serta berkolaborasi antara keduanya.
Feminisme: Ngedate Bareng Pacar, Siapa yang Mesti Bayarin Makan?
Cania Citta dalam salah satuh tayang Youtube Eno Bening menyebutkan jika masyarakat patriarki menilai bahwa “yang harus bayar makan saat ngedate” itu laki-laki, maka pada era feminisme ini tidak harus selalu laki-laki yang bayar, tapi tidak selalu perempuan yang bayar juga. Nah peran gender yang rijid ini, perempuan harus begini dan laki-laki harus begitu yang feminisme bongkar.
Intinya laki-laki dan perempuan menjadi manusia utuh. Di mana mereka sama-sama memiliki akses pada pilihan masing-masing secara bebas. Jadi siapa yang mau bayar makan saat ngedate ataupun mau bayar masing-masing itu disesuaikan dengan kesepakatan kedua pasangan tersebut. Yang jelas bayarin atau dibayarin tidak ada salahnya, asalkan dilandasi pada kesepakatan dan salah satu pihak tidak merasa dirugikan.
Katanya Feminisme, Kok Enggak Ngerokok?
Pertanyaan yang sering saya temui dari teman-teman yang baru tahu saya seorang feminis dan ternyata saya tidak merokok, “kok feminis enggak ngerokok?”. Jika ada yang beranggapan bahwa “seorang feminisme” harus merokok, maka sebenarnya dia sangat tidak feminis. Karena sejatinya feminisme sangat membebaskan perempuan untuk memilih “merokok atau tidak”, dan ngobrolin rokok juga itu soal selera tidak menunjukkan sama sekali sefeminis apa kalian.
Begitupun soal pakaian, kebanyakan orang beranggapan bahwa pakaian feminis itu cenderung terbuka. Ketika ada seorang feminis yang pakaiannya tertutup, maka dipertanyakan kefeminisannya. “Kok feminis gak seksi sih?” Justru ketika “feminisme” mengatur pakaian seseorang yang mengaku feminisme harus A dan B, maka dia sangat tidak feminis. Karena sejatinya feminis memberi kebebasan untuk perempuan menggunakan pakaian seperti apapun.
Jadi kehadiran feminisme adalah untuk membongkar peran gender yang rijid. Perempuan harus begini dan laki-laki harus begitu dengan cara memberikan perempuan dan laki-laki akses pilihan yang seluas-luasnya. []