Mubadalah.id – Manusia memiliki beberapa kebutuhan eksistensial yang harus dipenuhi selama hidupnya untuk bisa mencapai kebahagiaan. Kita bisa mengambil teori dari seorang ahli psikoanalisa humanistik asal jerman yang juga merupakan bagian daripada para pemikir dan pakar utama dalam mazhab frankfurt, Erich Fromm (1900-1980).
Dalam teori kepribadiannya Erich Fromm merumuskan kebutuhan-kebutuhan eksistensial yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan, di antaranya: kebutuhan akan identitas (need for identity), kebutuhan akan relasi (need for relatedness), kebutuhan akan akar (need for rootedness), kebutuhan akan kerangka orientasi (need for frame orientation) dan salah satu kebutuhan yang akan kita bahas lebih dalam pada tulisan ini adalah kebutuhan akan transendensi (need for transcendence).
Kebutuhan akan transendensi (need for transcendence) dalam artian luasnya adalah kebutuhan untuk melampaui dirinya, menaiki satu tingkatan demi tingkatan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik daripada sebelumnya. Manusia memiliki kecenderungan untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih—dalam arti, seorang akan merasa dirinya sebagai manusia ketika ia aktif menggarap hidupnya.
Keaktifan seseorang dalam menggarap hidupnya digambarkan oleh Erich Fromm dalam salah satu bukunya yang berjudul Psikoanalisis dan Agama, ia menulis:
“Manusia harus memajukan kekuatan berpikirnya agar memahami dirinya sendiri, memahami hubungannya dengan sesama penganutnya dan memahami posisinya di dunia. Manusia harus bisa mengenali kebenaran baik dalam kelebihan ataupun kekurangannya, dia harus mencintai orang lain seperti dia mencintai dirinya sendiri dan hidup dalam solidaritas semua mahluk hidup. Manusia harus memiliki norma-norma untuk mencapai semua tujuannya.”
Fromm juga menyebutkan bahwa Tuhan adalah sebuah simbol dari kekuatan yang ada dalam diri manusia, yang dicoba dipahami oleh manusia sendiri dalam kehidupannya. Sebagaimana Abu Hamid Imam Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar yang memberikan gambaran bahwa kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat. Perjalanan hidup manusia akan diarahkan untuk menaiki tingkatan-tingkatan spiritual dalam hidupnya hingga sampai kepada maqom fardaniyah—maqom manusia yang memiliki kesadaran bahwa Tuhan berada di atas setiap kualitas.
Dalam hal ini, Tuhan menjadi tujuan utama dari pencarian manusia. Mereka yang sepanjang hidupnya berupaya untuk mengembangkan dirinya, menaiki tangga-tangga spiritual akan memperoleh kesadaran mengenai sifat-sifat keilahian yang melekat dalam dirinya sendiri. Dalam kesadaran semacam inilah apa yang dikatakan oleh Erich Fromm mengenai Tuhan adalah sebuah simbol dari kekuatan dalam diri manusia menemui kebenarannya.
Kekuatan Tuhan dalam diri manusia yang dimaksudkan oleh Erich Fromm sebenarnya adalah ungkapan untuk menggambarkan akan sifat-sifat Tuhan yang melekat dalam diri manusia. Namun, kesaksian semacam ini kerap kali memberikan energi yang sangat besar dan menarik-narik jiwa manusia dengan sangat kuat sehingga seseorang yang sedang dalam penyaksian mengalami kehilangan kesadaran (fana).
Hatinya dan pikirannya berkecamuk dengan perasaan yang maha dahsyat sampai-sampai dirinya tak lagi bisa mengungkapkan seluruh perasaannya menggunakan kata-kata. Hal inilah yang memunculkan ucapan-ucapan ganjil (syatahat) dari lisan para sufi. Mereka berbicara dalam keadaan mabuk akan cinta ilahi yang telah mengalami puncak dan membuncah. Mereka yang memunculkan syathahat adalah orang-orang yang sedang mengalami puncak transendensi.
Ucapan-ucapan syatahat dari para sufi sering kali menjadi kontroversi dan menimbulkan polemik di masyarakat. Salah satu contohnya adalah syatahat dari al-Hallaj yang membawanya kepada tiang gantungan. Ucapan semacam itu tidak bisa kita artikan secara harfiah, karena sang pengucap berada dalam kondisi kemabukan spiritual yang sulit untuk diungkapkan. Ada makna tersembunyi dibalik kata yang diucapkan. Sebuah makna yang lebih luas daripada kata-kata.
Namun ketidakmampuan orang-orang awam untuk memahami syatahat semacam itu membuat muncul kegaduhan di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya berujung pada fitnah yang diintimidasi oleh sebagian elit penguasa. Sehingga beberapa ulama seringkali berkata: “Jangan memikirkan perkataan dari seorang wali, karena kalian tidak akan memahaminya”.
Para sufi lain seperti Imam al-Ghazali memperingatkan hal ini dengan mengatakan “Ifsya sirr al-rububiyah kufrun (menyebarkan rahasia-rahasia ketuhanan adalah kekafiran”
Sementara Ibnu Atha’illah dalam salah satu baitnya di al-Hikam mengatakan: “Maa taraka minal jahli syai-an man araada an yuzhira fil waqti ghaira maa azhharallaahu fihi (Tak ada yang lebih bodoh ketimbang seseorang menampakkan sesuatu pada waktu tertentu sesuatu yang tidak ditampakkan oleh Tuhan).
Imam Junaid Al-Baghdadi dalam salah satu gagasannya mengenai delapan sifat sufi menyarankan agar para sufi mampu berkomunikasi dengan isyarat seperti Nabi Zakaria AS. Jangan membuka rahasia ketuhanan kepada masyarakat umum secara terus terang, gunakan bahasa-bahasa simbolis yang lebih mudah dipahami oleh banyak orang agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Para sufi mengajarkan kita untuk bijak dalam menyampaikan kebenaran, kita diwajibkan harus memilah kata-kata yang hendak disampaikan agar tidak memicu kesalahpahaman masyarakat awam. Pengalaman spiritual memang memabukkan dan memiliki daya magnetik yang besar untuk menarik jiwa seseorang, bahkan tak jarang juga menenggelamkan jiwanya dalam lautan cinta. Menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual dengan kata-kata memang agak susah, sulit untuk mencari diksi yang tepat untuk menggambarkannya.
Namun seharusnya, setiap manusia yang telah mengalami puncak transendensi dan makrifat dengan Tuhan bisa meredam kemabukan spiritual yang dialaminya dan tidak langsung membicarakan semua yang dialaminya kepada masyarakat awam sebelum menyesuaikan pembicaraannya dengan kapasitas pemahaman masyarakat pada umumnya. Setidaknya, akan lebih baik jika dirinya menyimpan pengalaman spiritualnya sendiri daripada menimbulkan kegaduhan di dalam masyarakat. []