• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menakar Kelakar dan Pemikiran Gus Dur

Cara pandang Gus Dur terhadap kemanusiaan terkadang menggodam pemahaman umat Islam lain yang berlawanan

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
24/04/2024
in Publik
0
Kelakar Gus Dur

Kelakar Gus Dur

775
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – K.H. Abdurrahman Wahid atau masyhur orang menyebutnya Gus Dur barang tentu jadi topik menarik—dan akan terus menarik—bila ter. Nyentrik, lucu, dan nyeleneh kerap menyelimuti petuah-petuahnya. Gus Dur merupakan monokrom antara kemanusiaan dan agama. Ia buta terhadap kebencian dan mengagungkan persaudaraan.

Patronase sosial yang Gus Dur alami semasa hidupnya cukup majemuk. Menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) misalnya, beliau tak hanya merangkul dan melindungi warga NU saja. Seluruh umat Islam ia ayomi bahkan umat agama lain seperti Kong Hucu pun ia peluk.

Kepincangan bernalar mengenai hubungan antarumat beragama telah disembuhkan Gus Dur melalui konsep pluralisme. Cara pandang Gus Dur terhadap kemanusiaan terkadang menggodam pemahaman umat Islam lain yang berlawanan. Spektrum kemanusiaan menjadi modal utama dalam hidup bernegara. Tentu agama tidak terkesampingkan secara trensenden, namun agama seharusnya mendukung dan mengedapankan sifat-sikap kemanusiaan.

Gus Dur hadir dengan pikiran dan gagasan yang sungguh mengagumkan. Bahkan KH. Husein Muhammad dalam bukunya Samudra Kezuhudan Gus Dur mengatakan bahwa pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme sehingga sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam, dan terbuka (inklusif).

Dari modal pengetahuan itu, lanjut Husein, pemikiran Gus Dur terus saja berjalan, menjelajah, dan mengejar-ngejar setiap waktu dan—dalam kadar yang sangat dinamis—sejalan dengan gerak kehidupan umat manusia.

Baca Juga:

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Mendiang adalah sosok yang selalu ingin memandang manusia, siapa pun mereka dan di mana pun mereka berada, sebagai manusia, ciptaan Tuhan. Beliau mengartikan Islam itu terdiri dri tiga pilar: rukun iman, rukun Islam, dan rukun tetangga. Husein Muhammad manafsirkan bahwa “rukun tetangga” yang tersebut adalah rukun kemanusiaan.

Pedoman Sosial

Kalkulasi seorang tokoh atau ulama dalam menyejahterakan umat perlu digerendel dalam kuantum kemanusiaan. Untuk apa memeluk erat satu agama tapi masih memarginalkan kemanusiaan. Bukankah agama sejatinya menjadi pembenar atas seluruh tindakan umatnya dalam lingkup kemanusiaan.

Dari sini, term kemanusiaan bisa memulai perilaku moderat kepada sesama manusia. Atau manakala meminjam istilah khas H. Said Aqil Siraj (Mantan Ketua Umum PBNU) yakni dalam menjalani kehidupan di negara majemuk seperti ukhuwah wataniyah (persaudaraan bangsa) harus lebih utama alih-alih ukhuwah islamiyah.

Ungkapan tersebut sebenarnya telah Gus Dur amalkan sejak lama. Satu peristiwa bisa kita baca dalam buku mendiang berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999). Dalam antologi tersebut, Gus Dur menulis esai berjudul “Islam Kaset dan Kebisingannya”. Esai ini sedikit banyak mengomentari suara-suara lantang di musala, surau, atau masjid menjelang Subuh.

Untuk mengisi waktu tunggu itulah, marbot-marbot menyetel kaset rekaman Al-Qur’an (tarhim) dengan tercorong keras lewat toa masjid. Gus Dur paham soal tarhim berniat baik membangunkan umat Islam agar salat malam atau persiapan Subuh.

Akan tetapi, sebagai manusia sosial harus menjaga kepekaan naluri. Barangkali di sekitar masjid terdapat keluarga tak beragama Islam. Lalu setiap hari mereka dipaksa mendengar kebisingan suara-suara toa yang mencorong ke rumahnya. “…mengapa mereka harus diganggu?” tulis Gus Dur.

Kelonggaran Nilai

Sisi lain dari Gus Dur merupakan sosok pemikir dan intelektual. Sekian buku dan tulisan tersebar menjawab pelbagai isu. Pelbagai buku telah ia tashih lewat pemberian kata pengantar dalam buku tersebut sebagai ejawantah laku-laku intelektual. Kumpulan kata pengantar Gus Dur di pelbagai buku tersebut terkumpul dalam buku berjudul Sekedar Mendahului (2011).

Tak sedikit pula sahabat, murid, dan penggemar Gus Dur berbondong menuangkan gagasan dan cerita dalam bentuk antologi tulisan. Dalam buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017), misalnya, ada 20 penulis yang mencurahkan kedekatan, kebijakan, dan kearifan sosok Gus Dur. Dalam buku ini, mendiang terejawantahkan dalam beberapa perspektif dan latar belakang. Gus Dur di mata romo akan berbeda dengan sosok Gus Dur di mata pedangdut.

Inul Daratista, misalnya, pedangdut kawakan ini menulis esai berjudul “Gus Dur Koyok Bapakku Dewe”. Saya mafhum mengapa Inul menulis judul demikian. Sbab saat heboh-heboh soal Goyang Ngebor-nya itu, Gus Durlah salah satu tokoh yang membelanya. Soal goyangan khas Inul itu, kata Gus Dur, mengapa selalu mengarah pada hal-hal negatif seperti pornografi. Padahal bisa pula memaknai sebuah kesenian pelengkap musik yang naik pamor kala itu.

Perjuangan Gus Dur dalam pusaran kemanusiaan sebenarnya hanya berpacu pada sebuah kaidah yaitu “Membela yang Tak Berdaya”. Dengan begitu, slogan yang selalu kita baca, dengan, dan lihat di Jaringan Gusdurian seluruh Indonesia yang berbunyi, “Gus Dur sudah mencontohkan, saatnya kita melanjutkan” menjadi satu pakem semangat bagi Gusdurian untuk tetap dan selalu bermuara pada perjuangan nilai-nilainya.

Sekian nilai-nilai yang telah Gus Dur telurkan bilamana ingin terus hidup dan berkembang, tak ada cara lain kecuali dengan mentransformasikannya dalam bingkai gerakan sosial. Satu dari sekian cara merawat dan meneruskan nilai-nilai perjuangannya dengan merefleksikannya ke dalam gerakan-gerakan kemanusiaan. Gitu aja kok repot! []

 

 

Tags: gusdurianIndonesiaJaringan GusdurianKelakar Gus Durkemanusiaanpluralisme
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di komunitas Serambi Kata. Editor di nisa.co.id.

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kehamilan Tak Diinginkan

    Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version