Mubadalah.id – Meminjam kalimat Mbak Hijroatul Maghfiroh, terlibat dalam gerakan isu lingkungan itu tidak harus kita berubah total menjadi enviromentalist sejati. Setidaknya ada keinginan dan niat belajar saja itu cukup. Lalu pelan-pelan membangun kesadaran betapa pentingnya mencintai dengan menjaga dan merawat bumi yang sudah kian renta ini.
Minimal mulai dari diri sendiri. Kurangi penggunaan plastik, ke mana mana bawa tumbler, kalau makan jangan ada sisa, dan menerapkan gaya hidup minimalis. Itu praktik kecil. Belum bicara ke praktik lainnya seperti pengelolaan sampah, memilah dan memilih sampah organik-non organik, bicara perubahan iklim, emisi karbon dan lain-lain, yang kerap isu ini melangit tak membumi. Seakan isu lingkungan itu bukan bagian dari kehidupan kita. Seolah-olah isu lingkungan berasal dari dunia lain.
Jadi Mubadalah.id hadir berupaya menjembatani bagaimana agar isu lingkungan bisa membumi dan dekat dengan kita. Terlebih dampak terbesar dari krisis ekologi adalah perempuan dan anak. Bicara ini juga akan panjang sekali turunannya. Tetapi pendekatan argumentasi teologis masih jarang, atau kalaupun ada masih belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, pembuatan panduan daiyah ramah lingkungan ini menjadi niscaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Secara pribadi saya sangat mengapreasi antusiasme perwakilan daiyah dari dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, Ibu Nyai Hj Bashirotul Hidayah dari Fordaf FW Fatayat NU Jatim, Ibu Nyai Khoirotin Nisa dari PW Fatayat NU Jateng, Mbak Wiwin dari LPBINU Jateng, Ibu Deni dari PW Aisiyah Jateng, dan Ninin Karlina dari Nasyiatul Aisyiyah Jateng. Lalu tim penulis, Mbak Hijroatul Maghfiroh, Mbak listia, Ibu Nyai Thoatillah, dan Ahmad Asrof Fitri.
Membincang Isu Lingkungan
Kami duduk bersama membicarakan isu lingkungan dengan beragam isu turunannya. Ditambah lagi dengan kehadiran Mas Ahmad Afnan Anshori dan Mbak Zaimatus Sa’diyah, pasangan suami istri plus akademisi yang konsen di isu lingkungan semakin memperkaya materi kami. Insya Allah panduan ini akan kami launching bersamaan dengan agenda KUPI II di Jepara November mendatang.
Paska workshop ini, kami masih akan terus berproses menuliskan seluruh gagasan selama 3 hari ini di Semarang. Terimakasih pada semua pihak yang terlibat. Ini menjadi amal jariyah kita bersama. Untuk alam semesta raya beserta seisinya, bagaimana menjaga dan merawat bumi ini. Lalu mempraktikkan konsep kesalingan relasi manusia dengan alam.
Dalam catatan yang sempat saya tuliskan, Mbak Zaim menyampaikan bahwa ada keterkaitan antara isu lingkungan dan perempuan. ini sudah bukan lagi perubahan iklim, tetapi sudah krisis iklim. Ada kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celicius yang nyata ada. Selama ini kita seringkali memosisikan bumi sebagai objek, sama seperti perspektif maskulin dan tradisi patriarki.
Konsep Khalifah Fil Ard
Lalu Mbak Zaim menjelaskan tentang konsep khalifah fil ard menggunakan narasi kitab karya Ibnu ‘Arabi. Sifat-sifat Allah yang jamal dan jalal. Bagaimana sifat jamal kita refleksikan dalam kehidupan kita sehingga bisa menjadi insan kamil. Apa yang bisa kita lakukan? Terutama dalam konteks peran perempuan dalam merawat bumi untuk mengatasi isu-isu lingkungan.
Ibu Arabi menerangkan. Ketika manusia lahir dia dihadapkan pada dua entitas feminim. Yaitu dzatullah. Yang kedua, almar’ah atau ibunya. Sejak lahir kita sudah diperintahkan untuk berhadapan dengan dua entitas feminim. Sehingga ini mengarahkan bahwa perempuan tidak hanya sebatas substansi fisik, tapi nilai-nilai perempuan ini bisa direfleksikan dalam diri manusia dan kehidupan sehari-hari kita semua.
Hal ini nampak pada sifat caring maskulin. Bukan toxic maskulin. Jadi laki-laki yang melindungi. Dan itu dilakukan secara bersama-sama. Sebagaimana yang terjadi dalam komunitas Sedulur Sikep. Atau yang dulu terkenal sebagai Kartini Kendeng.
Melansir dari Hidayatuna.com dalam artikel “Paradigma Islam terhadap Eksistensi Manusia: Konsep Khalifah fi al-Ardh”, Ibn ‘Arabi mengungkapkan bahwa keberadaan manusia―dalam hal ini yang tergolong insan kamil―layaknya ruh bagi alam semesta. Sementara itu alam semesta sendiri dianggap sebagai bentuk fisik. Sebagaimana hukum yang berlaku, bentuk fisik tidak akan memiliki makna tanpa ruh di dalamnya.
Artinya alam semesta ini tidak akan memiliki arti tanpa kehadiran manusia (insan kamil). Berdasar korelasi tersebut, Ibn ‘Arabi menganggap bahwa insan kamil merupakan pondasi bagi alam semesta. Bila alam semesta hancur, itu berarti―secara kosmologis―jumlah insan kamil telah benar-benar habis.
Relasi Setara Alam dan Manusia
Relasi setara alam dan manusia, dalam istilah lain di masyarakat Jawa adalah ‘loro-loroning atunggal’. Yakni beralih ke sisi ‘kedudukan kodrat’. Di mana manusia dipandang memiliki dua kedudukan pula. Pertama, manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan; kedua, manusia berkedudukan sebagai makhluk yang dapat berdiri sendiri dan memiliki dimensi sosial (keinginan untuk hidup bersama orang lain).
Sementara itu, dari sisi ‘sifat kodrat’, manusia juga memiliki dua sifat yakni sifat individual dan sifat membutuhkan bantuan manusia lain. Hal inilah yang lantas mengantarkan manusia disebut sebagai makhluk yang memiliki sifat monodualisme.
Relasi antara manusia (sebagai khalifah) dengan alam bukan merupakan relasi antara penakluk dengan yang ditaklukkan. Relasi yang terjadi sebenarnya relasi kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah swt. Meski manusia memiliki kemampuan mengelola (menguasai) alam, tetapi hal tersebut bukan murni berasal dari diri sendiri.
Mendapatkan kemampuan menguasai alam tersebut, sebab Allah swt telah menundukkan alam untuk manusia. Oleh sebab itu, bisa kita ketahui bahwa konsep ‘khalifah fi al-ardh’ bukan bermaksud menjadikan manusia sebagai penguasa mutlak di muka bumi. Konsep tersebut secara tidak langsung menuntut adanya interaksi (baik sesama manusia maupun dengan alam) yang bisa menghadirkan kemanfaatan bagi masing-masing pihak. []