Mubadalah.id – Manusia adalah binatang yang berakal sehat. Ungkapan terkenal itu, selain dicetuskan oleh filsuf Aristoteles juga merupakan pandangan Ibnu Khaldun dalam kitab masyhurnya, Muqaddimah, yang kemudian dikutip oleh beberapa ulama. Manusia sendiri, yakni mencakup laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu baik akal laki-laki maupun perempuan sejatinya sama saja. Jadi tidak relevan ungkapan, “Laki-laki lebih mengutamakan akal dan perempuan lebih mengedepankan perasaan.” Sehingga ungkapan bahwa laki-laki lebih logis itu dilanggengkan.
Kita jangan lupa dengan tokoh-tokoh muslimah perempuan yang hebat pada zamannya dan harum namanya sepanjang sejarah. Ada Rabi’ah Al-adawiyah, yang kualitas tauhidnya bisa menyetarai seorang sufi sekaliber Jalaluddin Rumi. Begitupun dengan syair-syair “Cinta untuk Tuhan”-nya. Adapula Sayyidah Nafisah, guru Imam Syafi’I, yang merupakan tokoh perempuan dibalik layar menjulangnya nama Imam Syafi’i. Tak lupa dengan Sayyidah Sukainah, anak dari Sayyid Husein, cicit Nabi Muhammad merupakan tokoh terkemuka perempuan pada masanya.
Dan jika kita ingin menengok para perempuan hebat dalam sejarah panggung Indonesia, sebutlah Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, dan masih banyak lagi lainnya. Bahkan sebelum era perempuan-perempuan di atas, pada masa lampau terdapat juga Drupadi, Dewi Shinta, Dewi Suhita, Kunti, Arimbi, Gendhis, serta beberapa tokoh perempuan jawa lainnya yang sering disebut dalam pewayangan. Entah kisah itu hanya sebatas mitos atau fakta, nyatanya peran perempuan selalu terlibat dalam kesuksesan dan kekuasaan kaum laki-laki.
Tak perlu jauh-jauh, di lingkungan penulis pun ada Nyai Hj. Masriyah Amva yang disebut-sebut sebagai Kartini masa kini. Ny. Hj. Awanillah Amva sebagai calon penerus kakaknya, Nyai Masriyah. Beliau berdua adalah dua tokoh yang berperan penting dalam penghapusan sistem patriarki di dunia pesantren, juga tokoh yang eksis menggaungkan kesetaraan gender.
Bahkan spiritual keduanya pun tak dapat diragukan lagi sebab memang sudah sangat mumpuni. Penulis secara pribadi terkadang bergumam, “Kami sebagai murid dan santri kedua tokoh Ibu Nyai ini harus bisa meneladani sikap keduanya, dengan menjadi perempuan tangguh, dan mampu memberdayakan umat, khususnya kaum perempuan.”
Karena amat beruntung dapat menjadi santri yang kesehariaannya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua tokoh Ibu Nyai itu bergaul dengan para santrinya. Terkesan begitu hebat dan sangat menginspirasi, juga menanamkan kuat-kuat ketauhidan sebagai peneguh, bahwa perempuan juga bisa bersikap kuat dan tangguh seperti laki-laki, jika meminta kepada sang pencipta semesta dan alam raya ini, Tuhan semesta alam.
Selain itu keduanya selalu memberi nasihat seputar hidup yang mandiri tanpa bergantung kepada orang lain, dan hidup bersosialisasi dengan terus menebar kebaikan serta pertolongan. Menjadi manusia kritis yang sepenuhnya bergantung kepada Tuhan, merupakan topik yang tak pernah luput dari perbincangan dan tutur keduanya.
Yang menakjubkan, semua santri laki-laki seakan begitu patuh menuruti perintah keduanya dan begitu ta’dzhim. Demikian karena memang kedua Ibu Nyai itu merupakan sosok yang sangat hebat dan patut diteladani. Karena itu, sebagai santri perempuan adakalanya juga belajar berani, kuat, tangguh serta mulai berdiri untuk unjuk diri dan bersuara meneriakkan kebaikan serta keadilan, sebagai eksistensi zaman, di mana peran perempuan yang kini mulai diperhitungkan jejak dan kiprahnya.
Dan tentulah amat baik sekiranya kita dapat berkaca, dan meneladani sikap kedua Ibu Nyai tersebut, apalagi sebagai murid, santri, atau orang yang pernah menyaksikan dedikasi keduanya. Juga, andai kita mengikuti pola hidup seperti orang-orang hebat di atas, tak ayal kita akan menjadi Kartini selanjutnya. Siapkah kita menjadi perempuan yang gemilang dalam panggung sejarah? []