“Apakah kalian tahu makna muslimah yang kaffah?” Bapak Dosen membuka materi dengan pertanyaan menggelitik. Pertanyaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan materi yang diampunya waktu itu.
Mubadalah.id – Artikel ini akan membahas menelisik makna muslimah kaffah. Istilah ini banyak sekali dibicarakan dalam pelbagai forum. Lantas apa itu muslimah kaffah?
Suasana kelas hening, tampak semua sedang kalut dalam pikiran masing-masing memikirkan jawaban dari pertanyaan Pak Dosen. Satu menit berlalu karena tidak ada jawaban dari teman-teman, akhirnya beliau menjawab sendiri dan disampaikan kepada mahasiswanya termasuk saya.
Pertanyaan tadi ternyata bagian dari isi materi khutbah salat Jumat di masjid sekitar rumahnya yang kebetulan beliau sendiri pengisi khutbah Jumat ketika itu. Tentang ‘berislam secara kaffah.’ Berlanjut, beliau menjelaskan pandangannya lebih mendalam tentang syariat Islam, termasuk pandangan baik dan buruk.
“Apakah kalian paham dan tahu makna menjadi muslimah yang kaffah menurut Islam?“ kemudian beliau memperlihatkan slide penjelasan tentang sosok perempuan yang sesuai dengan syariat Islam.
Isi dari slide itu ternyata gambar perempuan mengenakan baju tertutup dan longgar, hijab, dan bercadar, dilengkapi dengan penjelasan lainnya. Beliau menjelaskan lagi, “Jadi, muslimah yang sempurna itu ya begini (sembari menunjuk gambar di slide) pakai kerudung yang lebar, menutup aurat. Nah kalau melihat busana-busana perempuan di kelas ini, sangat jauh dari ciri-ciri muslimah yang sempurna.”
Pemaparan yang ringkas dan dibumbui oleh pelabelan sembari membandingkan. Pikir saya ketika itu masa iya menjadi muslimah yang kaffah atau sempurna harus mengenakan pakaian yang seperti gambar itu (bercadar dan memakai pakaian yang serba panjang)?
Seketika otak saya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pelabelan tadi. Apakah benar yang dikatakan oleh Bapak Dosen? Seperti tidak sesuai dengan pengalaman ngilmu di pesantren.
Bapak Dosen pada materi kali ini termasuk golongan Dosen agak sensitif tidak bisa didebat. Hal ini juga sudah disepakati oleh teman seangkatan maupun informasi kakak tingkat yang menjadi alumni. Jika kami mendebat, seperti mempertaruhkan nilai dan kelulusan materi kami. Padahal dosen juga harus terbuka terhadap opini mahasiswanya.
Saya diam menahan ketersinggungan ini, selama nyantri di Pesantren dan lumayan lama beraktivitas di dalamnya, cukup tahu kebiasaan santri dan Nyai di pondok Pesantren. Pakaian mereka menutupi aurat namun tidak mengenakan cadar bahkan pakaian longgar gamis busana perempuan di Timur Tengah (tanah Arab).
Standar busana santri tidak ketat sebagaimana yang diajarkan dalam kajian kitab rujukan Kiai di Pesantren. Ada tata aturan mengenakan pakaian bagi santri putri. Dan semuanya tidak ada yang mengenakan cadar, termasuk Nyai di Pesantren.
Menariknya, Ibu Nyai di pesantren di acara tertentu mengenakan baju tradisional budaya Indonesia, begitu juga dengan kerudung yang menutupi area rambut dan hanya terlihat wajah. Sedangkan pakaian Kiai seperti pada umumnya saat ini, sarung, baju lengan panjang dan kopiah.
Pakaian laki-laki tidak begitu disorot sebab batasan auratnya tidak seperti perempuan. Inilah yang sering memunculkan polemik perbedaan pandangan. Namun menjadi muslim di Indonesia tidak seperti di negara lain. Menjadi muslimah yang kaffah, Bagaimanakah? Dari pengalaman sendiri dan melihat konteks saat ini, trend pakaian sudah semakin berkembang, hingga pengultusan budaya lain.
Hal ini pun menjadi kesempatan emas pemilik bisnis kain dengan mengaitkan pada konsep syariat agama, hingga berhasil menarik perhatian perempuan masa kini tanpa melihat lebih jauh tentang muslim Indonesia. Sebenarnya tujuan mereka adalah menarik perhatian kita untuk membeli produknya. Hal wajar sebagaimana pemilik bisnis ingin memajukan perusahaannya.
Bagi saya, menjadi muslimah yang kaffah itu tidak mesti dengan simbol pakaian. Ada hal urgen untuk perlu dizoom, yakni keimanan diri yang terletak di hati masing-masing. Mayoritas isi Al-Qur’an berisi tentang akhlak menjaga iman, ihsan dan Islam.
Sebagai umat Islam kita pun harus memperhatikan ketentuan syariat seperti menutup aurat, untuk melindungi diri dari fitnah. Namun bukan berarti kadar keimanan dan keislaman seseorang diukur dari pakaiannya. Banyak sekali faktor pendukung untuk mencapai Surga yang dijanjikan Allah SWT.
Menjadi muslimah yang kaffah atau sempurna, apakah bisa? Lagi-lagi kita pun harus tahu bahwa kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Kita mengusahakan yang terbaik dengan menjaga diri dari fitnah, dari hal-hal yang dilanggar oleh agama.
Tidak benar jika pakaian menjadi penentu keimanan seseorang, trend style pakaian masa kini sudah berbeda dari zaman dahulu. Namun, bukan berarti yang mengenakan pakaian trend zaman dahulu bukan termasuk dalam kategori menyalahi syariat Islam. Ini yang perlu kita sepakati.
Menelisik lebih dalam mencari jawaban, bahwa benar ajaran dari pesantren tempat saya menuntut ilmu agama Islam itu. Menjadi muslim dan muslimah yang kaffah tidak harus kearab-araban. Kita memiliki budaya lokal yang harus tetap lestari, termasuk pakaian. Hal yang perlu digaris bawahi, mengetahui esensi pakaian ialah untuk melindungi aurat, supaya aman dari fitnah dan hal buruk lainnya.
Kadar Keislaman seseorang diukur dari keimanan hati, kebaikannya yang dipraktikkan melalui akhlak termasuk lisan. Menjadi muslim dan muslimah yang kaffah plus baik harus merujuk pada akhlak Nabi Muhammad saw. Dan, kita semua telah bersepakat untuk itu. []