Mubadalah.id – Ketika baru saja membuka Instagram pada siang hari pada 20 Oktober 2025, algoritma beranda menyodorkan sebuah posting eksotis. Unggahan datang dari akun Instagram @lapasperempuan_bandung berkolaborator dengan @permasyarakatjabar. Muatan video mengandung sekian potongan klip pendek berisi penuturan harapan warga lapas (perempuan) ketika mendapat pertanyaan “Jika aku bebas nanti”.
Betapa, walau ini amat subjektif, saya tak menemukan raut kriminal dari wajah-wajah mereka. Pun tak tahu lelaku apa pernah mereka perbuat, tapi keberadaannya di sana sebagai jawaban mereka pernah memperbuat tindak pidana. Jawaban-jawaban mereka membikin saya sejenak fokus menyimak ketulusan lewat ungkapan frasa demi frasa.
Merancang Kehendak
Perempuan pertama dengan ekspresif, penuh harapan dan sumringah bertutur, “Kalau aku sudah bebas, aku mau ngajar nari.” Menari bisa kita maknai sebagai cara tubuh mengekspresikan rasa dan suara yang tak bisa terucapkan. Barang kali (mengajar) menari bagi perempuan pertama tadi mewujud metafora implisit sebagai penebusan kesalahan yang pernah ia lakoni.
Kendati pernah bersalah dalam hidup, sebuah harapan patut untuk setiap orang perjuangkan. Pelbagai harapan itu datang dari perempuan kedua, ketiga, dan keenam. Bagaimana mereka meraba dimensi keinginan kelak ketika sudah bebas untuk fokus dalam bidang ekonomi. Perempuan kedua menjawab, “Mau buka toko kue.” Sedang perempuan ketiga yang berkamacata bertutur, “Mau buka warteg dekat rumah, soalnya di sini dapat pelatihan tata boga!”.
Atau perempuan keenam yang sudah memiliki peta jangkauan untuk usahanya ke depan. Dia menjawab, “Tiap Minggu belanja bahan untuk orderan selanjutnya.” Dia masih berada di lapas, tapi pikiran dan harapannya sudah maju berkelana. Mencari ruang-ruang kreatif dan inovatif demi sebuah perwujudan kehidupan yang lebih baik. Pendeknya, dia memanjangkan pikiran tak lain untuk mempersiapkan kehidupannya kelak setelah bebas.
Keinginan membuka usaha setelah bebas dari kurungan adalah cita-cita sederhana tapi bertekad luar biasa. Memaksudkan diri ingin kembali melebur menjadi masyarakat pada umumnya, mencari nafkah, bersosial, dan membangun peradaban demi kemajuan bangsa.
Saya jadi teringat kisah Yeti di Yogyakarta. Dia pernah menjadi warga Lapas Wirogunan, yang kini berhasil mengembangkan usaha angkringannya. Semoga ketika ketiga perempuan tadi, setidaknya, bisa mengikuti jejak Yeti dalam mengembangkan usahanya masing-masing.
Ibu yang Bersalah
Tak hanya itu, ini harapan dari seorang terkasih kepada buah hatinya. Keinginan seorang ibu untuk hadir mengisi hari-hari keluarga kecilnya. Tak heran manakala perempuan keempat dan kelima (dua orang ibu) menjawab: “Tiap hari mau mengantar anak ke sekolah.” dan “Mau menyiapkan makanan untuk anak sekolah setiap pagi”. Tali kasih antara orang tua dan anak tak akan terpisah apapun, sekalipun oleh dinding penjara. Seakan batin mereka terikat oleh magnet kekuatan, dan terhubung oleh sinyal doa-doa.
Ibu pernah bersalah dalam urusan publik tapi tetap menjadi kunci surga bagi anak-anak mereka. Keterpisahan menjalani hukuman beberapa waktu, tak mengasikan peran ibu sebagai ruang dan naungan buah hatinya. Ibu tetaplah ibu, apa pun dan bagaimana pun kondisinya. Dua orang ibu tadi memancangkan keinginannya selepas bebas nanti untuk mengantar anak sekolah dan menyiapkan bekal untuk anak sekolah.
Atas pelbagai kisah harapan-harapan itulah saya teringat lagu melankolis gubahan Fiersa Besari. Lagu itu berjudul Harapan (2012) berusaha membentangkan penguatan seseorang terhadap seseorang lainnya agar tetap utuh dan bertahan kendati dunia membeci mereka. Kita simak liriknya: Dan dunia seakan membenci kita/ Raih tanganku/ Agar ku tahu ku tak sendiri/ Dan aku melihat segalanya/ Saat aku melihatmu//.
Prinsip Lembaga Pemasyarakatan
Melihat sekian kisah dari Lapas Perempuan Bandung yang merekam pelbagai harapan penghuninya, saya terlempar kepada materi kelas Sistem Peradilan Umum pada perkuliahan yang tengah saya tempuh. Kelas diampu oleh Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum. yang pada suatu bahasan menyinggung prinsip sistem permasyarakatan Indonesia menurut Dr. Sahardjo.
Atas petunjuk Prof. Marcus itulah saya mencari literaturnya. Pada tahun 1964, Sahardjo menelurkan gagasan pembaharuan mengubah sistem penjara menjadi sistem permasyarakatan. Ini semata demi mewujudkan asas kemanusiaan. Maka terumuslah sepuluh prinsip permasyarakatan itu dalam memperlakukan narapidana.
Kesepuluh prinsip saya lahap dalam buku Pengantar Hukum Penitensier dan Sistem Pemasyarakatan Indonesia (2018) susunan Dona Raisan Monica dan Diah Gustiniati Mauliani. Berikut rinciannya (saya tulis poin intinya saja): pertama, mengayomi orang tersesat (narapidana) dengan memberi bekal hidup berupa mental, fisik, keahlian, keterampilan, dan lainnya.
Kedua, menjatuhi pidana bukan tindakan balasan dendam negara (tidak boleh ada penyiksaan dalam bentuk apapun), satu-satunya derita hanya penghilangan kemerdekaan. Ketiga, pembimbingan taubat dengan menanamkan norma hidup dan memberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya.
Keempat, negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lapas, sehingga perlu pemisahan narapidana sesuai jenis, pelanggaran, usia, dan lainnya. Kelima, selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat, tidak boleh diasingkan. Keenam, pemberian pekerjaan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu terperuntukkan kepentingan jawatan atau negara sewaktu saja.
Kemanusiaan dalam Hukum Pidana
Ketujuh, bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Kedelapan, tiap orang adalah manusia dan harus mendapat perlakuan sebagai manusia, meskipun telah tersesat. Kesembilan, narapidana hanya terjatuhi pidana hilang kemerdekaan. Dan, kesepuluh, perlu mendirikan lembaga pemasyarakatan yang baru sesuai kebutuhan pelaksanaan program pembinaan.
Kesepuluh prinsip lembaga pemasyarakan gagasan Sahardjo itu mendapat afirmasi dari Prof. Barda Nawawi Arief (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro) dalam buku Pembaruan Hukum Pidana Indonesia(2016) karya Dr. Monang Siahaan, S.H., M.M. Bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana hakikatnya bagian dari upaya mengatasi masalah-masalah sosial. Termasuk masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yakni kesejahteraan masyarakat.
Dalam hukum pidana, kita memegang asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagai maksud tiap orang dianggap tak bersalah sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap menyatakan sebaliknya.
Beliau yang berada dalam video, warga lapas, senyatanya telah mendapat putusan pengadilan dan dinyatakan bersalah. Namun, harapan dan kesempatan akan selalu terbuka bagi siapapun, termasuk mereka yang pernah bersalah dalam hidup. Semangat selalu perempuan-perempuan hebat. []

 
			



































 
					
					




