Mubadalah.id – Benarkah poligami identik dengan kejahatan dalam perkawinan? Kompas perempuan menganalisa kasus-kasus dari berbagai sumber. Salah satunya adalah Pengadilan Agama di berbagai daerah di Indonesia. Dengan menganalisa putusan dari Pengadilan Agama yang dikategorikan sebagai ‘Poligami Tidak Sehat. Di mana di dalamnya unsur-unsur kekerasan dalam rumah tangga terjadi.
Yakni Kekerasan fisik, seksual, psikologis yang bermacam-macam terjadi, mulai dari ancaman atau pemaksaan untuk menyetujui pasangannya melakukan pernikahan lagi. Bahkan pengadilan Agama sudah mencantumkan poligami sebagai salah satu penyebab perceraian.
Perkawinan Poligami perbuatan yang secara ketat diatur sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan dalam undang-undang no. 16 tahun 2019. Yakni tentang Perkawinan dan Ketentuan-Ketentuan Pemberlakuan Perkawinan. Namun, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpendapat bahwa poligami dapat berpotensi untuk terjadi tindak kejahatan perkawinan.
Berpotensi terjadi Kejahatan
Potensi kejahatan dalam perkawinan poligami juga menegaskan dalam pernyataan Komnas Perempuan “bahwa tidak mencatatkan perkawinan, tidak memutuskan perkawinan melalui pengadilan, serta tidak dipenuhinya persyaratan, alasan dan aturan ketat dalam poligami yang ditentukan oleh undang-undang merupakan kejahatan terhadap perkawinan.”
Bagaimana tidak, realitas yang terjadi yakni angka perceraian sebab poligami terus terjadi. Tentu dilema Undang- undang perkawinan dalam hal ini memperbolehkan, namun hadir menyumbang angka perceraian. Di Indonesia, UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 menyatakan dengan tegas bahwa asas perkawinan adalah monogami. Poligami hanya boleh dengan sejumlah syarat ketat.
Namun penafsiran Hukum masih memberi peluang poligami, dan secara substansial hukum nasional terkesan memberi ruang melakukan kejahatan perkawinan. Faktanya, banyak pelaku poligami yang melakukan kejahatan dalam perkawinannya. Manakala poligami menjadi bungkus kejahatan perkawinan, perlindungan terhadap isteri sah menjadi lemah.
Pada bulan lalu Sabtu, 27 Mei 2023 seorang istri menceritakan pengalamannya melaporkan sang suami di salah satu media. MH yang memiliki pangkat Kolonel di Pusdiklat Belanegara Rumpin Bogor. Atas tindakan KDRT dan poligami itu, sang istri merasa dipersulit.
Setelah kita telisik ternyata, penyidik merupakan anak buah dari sang suami. Saat pengajuan banding kasus KDRT, RS juga menilai dipersulit dan dilarang untuk mengajukan banding kasus KDRT. Hal ini menujukkan potensi kejahatan dalam praktik perkawinan poligami terjadi.
Perempuan Rentan Menjadi Korban
Pernah terjadi sosok pemilik Ayam Goreng Wong Solo punya empat istri yang rela berpoligami. Sementara itu, penyanyi Dewi Yul mengambil sikap berbeda, tidak ingin berpoligami, dan memutuskan menceraikan suaminya, Rae Sahetapy. Dalam kehidupan nyata, perempuan yang berpoligami cenderung lebih banyak mengalami kekerasan dibandingkan kebahagiaan.
Temuan Rifka Annisa pada tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 210 insiden kekerasan suami-istri (fisik, finansial, seksual, atau emosional. Sebagian besar korban sedang berbulan madu resmi atau tidak resmi karena pasangannya mempunyai istri idaman lain.
Istri sah menjadi kurang terlindungi, setidaknya tiga model poligami yang bisa menjadi bungkus kejahatan perkawinan. Pertama, perkawinan kedua dan seterusnya tidak tercatatkan. Kedua, pemalsuan identitas seperti mengaku duda, atau mengaku sudah menjatuhkan talak kepada isteri.
Ketiga, mempermainkan akta nikah, misalnya buku nikah tidak tercatatkan di KUA atau datanya direkayasa. Tentu bukan untuk menormalisasi poligami atau bahkan mengharuskkan pada menguatnya wacana poligami sebagai sesuatu yang kita anggap wajar dan sesuai dengan Syariat.
Sementara seolah melupakan kekerasan dan kerugian yang perempuan alami, atau diskriminasi yang mereka alami akibat poligami itu belum bisa dimunculkan secara cerdas seperti wacana konservatisme ini.
Menilik UU Perkawinan di Indonesia
Di Indonesia yang merupakan negara demokrasi, perkawinan menganut monogami seperti dalam UU No 16 tahun 2019 tentang perkawinan. Di mana mengatur syarat yang sulit untuk berpoligami. Tidak hanya itu dari sisi hukum positif, Nyai Badriyah Fayumi berpandangan bahwa Pasal 3 dan 4 UU Perkawinan, menyebutkan bahwa asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (ayat 1). Lalu, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila pihak-pihak yang bersangkutan menghendakinya (ayat 2).
Selanjutnya pada Pasal 4 ayat 1 tersebutkan, dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Adapun pada ayat 2 berbunyi Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a.isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b.isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Perkawinan Monogami
Hukum positif yang berlaku di Indonesia sesuai dengan syariat Islam. Tetapi, “Kalau syaratnya karena bosan, sama sekali tidak bisa seperti itu. Jika seorang lelaki sudah punya keluarga, dan keluarganya baik, dan ketika poligami berpotensi menimbulkan ketidakmaslahatan, sangat keliru jika seseorang memaksakan poligami.”
Penegasan dari Bu Nyai Badriyah Fayumi, bahwa sejatinya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, karena monogami lebih dekat pada keadilan.
Ketika poligami syaratnya katanya adil, faktanya yang paling banyak adalah meninggalkan kewajibannya. Pergi dan tinggal sama istri yang muda, menelantarkan keluarganya yang pertama. Poligami selain diskriminasi, dampaknya memang banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga.
Karenanya perkawinan yang menjauhi perbuatan kekerasan, dan segala bentuk kejahatan perkawinan adalah tujuan akhir dalam sebuah kehidupan pernikahan yang adil, dan bentuk tujuan hukum atas keberadaan dan kesetaraan untuk perempuan. []