Mubadalah.id – Selama ini kita selalu dikotak-kotakkan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Pekerjaan rumah identik dengan perempuan, dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan sebagainya. Sedangkan pekerjaan di luar rumah, yaitu pekerjaan yang menghasilkan uang identik dengan laki-laki karena dianggap bertanggung jawab untuk mencari nafkah dalam keluarga. Lantas bagaimana dengan kegiatan memasak di dapur rumah dan dapur hotel atau restauran?
Dulu saat saya kuliah di prodi Tata Boga salah satu kampus di Malang, mayoritas mahasiswanya adalah perempuan. Lantas saya bertanya pada teman laki-laki saya, apakah orang tua mereka mengijinkan untuk kuliah di bidang kuliner ini. Jawaban mereka beraneka ragam, ada yang didukung penuh, ada orang tua yang pasrah karena tidak tahu minat dan bakat anaknya, dan ada yang tidak disetujui hanya karena laki-laki kok kerjanya di dapur.
Semasa perkuliahan, kami tidak mendapatkan perlakuan berbeda hanya karena kami perempuan ataupun laki-laki. Selama praktikum, dari perencanaan, belanja, memasak, dan evaluasi, dosen tidak pernah membedakan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, perbedaan itu muncul ketika kami diharuskan magang di sebuah hotel ataupun restauran.
Salah satu teman saya yang magang di hotel berbintang lima di kawasan perkotaan Malang mengaku bahwa teman saya yang berjenis kelamin laki-laki menjadi anak kesayangan para chef senior, dan selalu mendapatkan tanggung jawab di Hot Kitchen (dapur bagian memasak hidangan utama yang memiliki peralatan memasak cukup besar). Walaupun sistem magang bergilir, akan tetapi para perempuan mendapatkan bagian di Cool Kitchen (seperti membuat dessert atau minuman) dan Pastry/Bakery.
Pun demikian dengan saya, magang di salah satu hotel berbintang empat di Kawasan Kota Batu, saya mendapatkan tugas yang dikerjakan oleh cook helper yakni memotong sayuran dan menyiapkan semua bahan yang hendak dimasak oleh Chef. Jadi, yang memegang wajan dan sudip untuk meramu masakannya tetap laki-laki, sedangkan kami para perempuan hanya menyiapkannya. Untuk terjun pembuatan hidangan makanan dari proses persiapan hingga finishing perempuan hanya dipercaya di tempat pastry/bakery, dan cool kitchen sama seperti hotel-hotel yang lain.
Pada saat breakfast, di beberapa hotel biasanya menyediakan live cooking atau stand khusus di samping menyediakan buffet. Pada saat pembagian job untuk live cooking, atau menjaga stand dianjurkan atau bahkan diharuskan perempuan yang mengerjakannya, sebab perempuan sebagai representasi juru masak hotel yang cantik dan menarik sehingga banyak yang tertarik untuk mengambil makanan di stand atau tempat live cooking kami saat breakfast.
Bukti bahwa perempuan hanya dinilai dari penampilan dan diragukan kemampuannya ada pada acara kompetisi memasak di salah satu stasiun televisi. Salah satu jurinya adalah perempuan yakni Chef Renatta. Ia kerap kali menjadi trending tentang kecantikannya, parasnya, bentuk tubuh, bahkan hingga kisah asmaranya. Seperti artikel-artikel yang pertama kali muncul ketika kita search Chef Renatta pasti yang keluar adalah tentang kecantikannya, penampilan yang menarik, dan lain sebagainya mengenai fisik, akan tetapi jarang sekali tentang kemampuan memasaknya. Walaupun ada, namun artikel ini masih kalah dengan artikel-artikel yang mengupas soal fisik Chef Renatta.
Hal itu tidak terjadi pada Chef Renatta saja, akan tetapi pada juru masak perempuan. Ketika kita search chef perempuan atau koki perempuan maka yang keluar adalah artikel mengenai chef perempuan yang curi perhatian, chef perempuan yang berkarisma, dan lain sebagainya.
Dilansir dari artikel suara.com alasan laki-laki lebih mendominasi di dapur hotel atau restauran adalah karena tekanan bekerja di hotel sangat tinggi, dituntut perfeksionis dan higienis. Selain itu juga, peralatan di dapur terutama di Hot Kitchen rata-rata besar dan berat, biasanya digunakan untuk memasak dalam jumlah porsi yang besar. Sedangkan perempuan dianggap emosional dan lemah sehingga tidak akan mampu menerima tekanan tinggi, dan tidak akan kuat untuk menggunakan peralatan yang relatif besar di dapur.
Tentu saja stereotip tersebut sangat merugikan perempuan. Sebagai mahasiswa perempuan yang magang di kitchen hotel, kami jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar membuat masakan hidangan utama dalam jumlah porsi yang besar. Sehingga pengalaman kami kurang dibandingkan laki-laki yang diberi tanggung jawab untuk terjun dalam proses membuat makanan.
Perempuan bukan makhluk emosional, bukan makhluk lemah, ataupun bekerja hanya untuk membantu suami. Perempuan juga mampu bekerja secara profesional dalam tekanan dan kondisi apapun, dibuktikan dengan beberapa kasus menjelang menstruasi, perempuan masih mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Padahal menjelang menstruasi emosi perempuan suka diaduk-aduk akibat aktivitas hormon mereka.
Perempuan itu bukan makhluk yang lemah hanya dengan alasan peralatan dapur yang terlalu besar dan berat. Sebenarnya solusi peralatan berat itu ada yakni dengan membawanya menggunakan troli, ataupun perempuan dan laki-laki bekerjasama dalam mengangkat peralatan tersebut, tidak kemudian tanggung jawab sepenuhnya milik laki-laki.
Perempuan juga harus mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita dan berkarir. Perempuan bekerja bukan semata-mata untuk membantu suami sehingga dianggap tidak butuh jenjang karir bahkan diupah dengan harga minim, akan tetapi perempuan bekerja karena pilihan sadar mereka. Sebagian perempuan yang lain bekerja adalah bagian dari diri atau cita-cita mereka. []