Mubadalah.id – Coba perhatikan sekeliling kita. Ketika kita melangkahkan kaki ke dalam masjid untuk salat berjamaah, atau sekadar duduk mengikuti majelis taklim, ada pemandangan yang familiar: saf-saf perempuan tampak lebih penuh, suara zikir mereka terdengar lebih syahdu. Jumlah mereka sering kali jauh lebih banyak daripada laki-laki.
Atau barangkali kita juga bisa menemukan fenomena serupa di rumah kita sendiri, di mana kita melihat ibu atau nenek kita jauh lebih tekun beribadah. Sementara ayah atau kakek kita mungkin terkesan lebih santai.
Fenomena ini sangat sering kita saksikan, sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang biasa saja. Namun, bagi sosiolog seperti Marta Trzebiatowska dan Steve Bruce, pemandangan tersebut merupakan sebuah teka-teki yang menarik untuk dipecahkan.
Mereka menuangkan rasa penasaran dan hasil penelitian mereka ke dalam sebuah buku berjudul: ‘Why are Women more Religious than Men?’. Buku Mengapa perempuan lebih religius daripada laki-laki ini merupakan sebuah kajian kritis untuk memahami mengapa agama atau spiritualitas tampak lebih dekat dengan dunia perempuan daripada laki-laki.
Buku ini dibuka dengan satu penegasan penting dari kedua penulis: “kesenjangan ini nyata dan terjadi di mana-mana.” Mulai dari gereja-gereja di Inggris di mana jemaat perempuannya jauh lebih konsisten hadir beribadah setiap Minggu daripada jemaat laki-laki. Hingga survei di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya lebih rajin beribadah, tetapi juga merasa agama adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan mereka.
Jalan Agama dan Spiritual
Pola di atas ternyata terjadi di hampir seluruh dunia. Bahkan ketika kita melihat di luar tradisi agama-agama Abrahamik, perempuan juga lah yang lebih banyak menunjukkan ketertarikan pada hal-hal spiritual atau dunia gaib.
Buku ini menunjukkan bahwa semakin modern dan sekuler suatu masyarakat, semakin jelas pula perbedaan religiusitas antara laki-laki dan perempuan ini terlihat. Di negara-negara di mana agama dianggap sebagai pilihan pribadi (seperti di Barat), perempuan lah yang paling banyak memilih menempuh jalan agama atau spiritual.
Mengapa? Apa yang membuat perempuan tampak memiliki ketertarikan yang kuat dengan agama daripada laki-laki?
Salah satu jawaban yang Trzebiatowska dan Bruce berikan terletak pada tubuh dan peran perempuan itu sendiri. Misalnya proses persalinan, sebuah peristiwa yang berada di antara hidup dan mati, penuh dengan harapan sekaligus risiko. Sejak zaman dahulu, agama selalu hadir untuk memberikan makna dan harapan pada momen-momen sakral seperti ini.
Kemudian, peran membesarkan anak. Secara tradisional, ibu lah yang pertama kali mengenalkan Tuhan kepada anak-anaknya. Yakni mengajarkan doa sebelum tidur, dan menceritakan kisah-kisah para nabi. Keterlibatan perempuan dalam menanamkan nilai-nilai religius ini pada generasi berikutnya turut memperkuat keyakinan dalam diri mereka.
Namun, ada paradoks menarik yang dijelaskan oleh Trzebiatowska dan Bruce. Banyak yang mengira bahwa perempuan akan menjauhi agama-agama yang dianggap patriarki. Kenyataannya, justru sebaliknya. Mengapa banyak perempuan merasa “nyaman” mengikuti kepercayaan atau tradisi yang cenderung membatasi peran mereka? Jawabannya ternyata jauh lebih rumit.
Menjadi Religius Pilihan yang Lebih Aman
Di beberapa tradisi, agama yang menekankan pada tanggung jawab laki-laki dalam keluarga—untuk setia, bekerja keras, dan menjauhi alkohol—justru menjadi semacam “pembebasan” bagi perempuan. Agama menjadi alat untuk “menjinakkan” suami mereka demi menciptakan rumah tangga yang lebih damai dan stabil.
Selain itu, di dalam struktur yang kaku tersebut, banyak perempuan yang mampu menciptakan “ruang” mereka sendiri. Seperti, misalnya, membentuk kelompok pengajian, kelompok zikir, atau komunitas sosial khusus perempuan yang solid, di mana mereka bisa saling mendukung dan berbagi cerita.
Selain dua penjelasan di atas, ada pula penjelasan psikologis. Mungkin, tulis Trzebiatowska dan Bruce, ini hanyalah soal kehati-hatian. Tidak beriman kepada Tuhan itu jauh lebih berisiko daripada beriman. Bagaimana jika surga dan neraka itu benar-benar ada? Risikonya terlalu besar untuk kita tanggung.
Oleh karena itu, menjadi religius adalah pilihan yang lebih aman. Karena perempuan umumnya cenderung lebih berhati-hati dan tidak menyukai risiko, maka memilih jalan iman merupakan pilihan yang paling bijaksana.
Di akhir buku mereka, Trzebiatowska dan Bruce menawarkan satu gagasan utama: bahwa perbedaan religiusitas ini merupakan efek dari gelombang sekularisasi yang tidak merata. Gelombang sekularisasi itu pertama kali menerjang area publik—dunia kerja, politik, sains—yang secara historis merupakan dunia kaum laki-laki.
Di dunia yang semakin rasional dan birokratis itu, agama perlahan kehilangan relevansinya. Laki-laki, yang setiap hari berkecimpung di dunia itu, lah yang pertama kali “melepaskan” agama.
Sementara itu, dunia perempuan, yang secara historis lebih banyak berpusat di ranah domestik dan keluarga, masih merasakan relevansi agama dalam kehidupan mereka. Jadi, bukan berarti laki-laki tidak religius, tetapi mereka lah yang terlebih dahulu “menjadi sekuler”, sedangkan perempuan cenderung lebih lambat. []