Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan teman SMA yang telah lebih dulu menikah. Saat ini ia berstatus sebagai ibu rumah tangga dengan satu anak. Ketika kami bertemu, ia banyak bercerita tentang kehidupannya setelah menikah dan ketika menjadi seorang ibu. Baginya, hal itu tidak mudah karena banyak beban tugas ibu dan tanggung jawab yang mesti diemban. Terlebih ketika menurut sang suami, bagian mengasah, mengasih dan mengasuh anak adalah tugas ibu.
Landasannya tentu saja ‘al ummu madrasah ūlā’ dan sebagai madrasah pertama, sudah kewajiban dan tugas ibu untuk mendidik anaknya agar bisa menjadi sosok yang diharapkan orangtuanya. Maka ketika seorang anak memiliki sifat pemarah, suka berbohong, susah diperintah atau tidak mau menuruti kehendak orangtua, ia merasa gagal dan bersalah.
Ia menganggap dirinya, tidak memenuhi tugas ibu, dan telah memberi pengaruh yang buruk pada anaknya. Sementara sang suami yang notabene adalah ayah dari anak tersebut turut menyalahkannya atas semua hal buruk yang dilakukan si anak.
Meski saya belum pernah merasakan bagaimana menjalani tugas ibu, akan tetapi saya kurang sepakat dengan caranya memposisikan diri sebagai ibu. Pun pada sikap suami yang seakan-akan tidak berkontribusi pada pembentukan karakter anaknya. Bukankah mengasah karakter, memberi kasih sayang dan mengasuh anak merupakan tugas dan kewajiban kedua orangtua?
Menurut saya, ibu dan ayah memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam pengasuhan anak. Keberadaan ibu yang memilih untuk di rumah atau menjadi ibu rumah tangga tidak bisa serta merta dimaknai sebagai pengambil-alihan tugas dan tanggung jawab ayah, sehingga meniadakan tugas ayah dalam mengasah, mengasih dan mengasuh anak-anaknya di rumah.
Ungkapan bahwa tugas ibu adalah sekolah pertama juga kurang tepat apabila dimaknai sebatas pada penyerahan seluruh tugas pengurusan anak pada ibu. Saya lebih sepakat ketika ungkapan al ummu madrasah ūlā dimaknai secara lebih progresif, bahwa pendidikan juga merupakan hak yang harus diperoleh perempuan. Hal ini mengingat di masa lalu, perempuan tidak bisa mendapatkan akses pendidikan, sehingga posisinya di dalam masyarakat seringkali terpinggirkan.
Ketika seorang perempuan bisa memperoleh akses pendidikan yang setara dengan laki-laki, perempuan akan terhindar dari kebodohan, sehingga bisa mengupayakan keadilan bagi dirinya sendiri. Selain itu, di kemudian hari ketika telah berumahtangga, suami dan istri dapat membangun relasi yang ma’ruf. Mereka juga akan bisa mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan lebih baik.
Sebagaimana disampaikan oleh Kiai Faqih dalam buku Qiraah Mubadalah, bahwa dalam pengasuhan dan pendidikan anak, ayah dan ibu mengemban peran yang sama. Bukan hanya tugas ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, akan tetapi ayah pun memiliki andil yang serupa.
Sebagai orangtua, keduanya adalah sekolah pertama yang sangat menentukan tumbuh kembang anak. Ayah dan ibu adalah unit terkecil dalam lingkungan keluarga yang punya kontribusi utama dalam mentransformasikan ilmu, identitas keagamaan dan penguatan karakter anak.
Hal ini sesungguhnya juga telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam mengasuh Hasan dan Husein, dikisahkan bahwa Nabi pun ikut memberikan pengasuhan dan pendidikan karakter pada keluarganya secara langsung. Bahkan pernah dikisahkan ketika Hasan dan Husein sedang berjalan lalu jatuh, Nabi Muhammad SAW langsung menghampiri cucu-cucunya, menggendong dan memangku keduanya. Padahal saat itu, Nabi Muhammad SAW juga tengah melaksanakan khutbah di hadapan para sahabat.
Dari kisah tersebut, bisa diambil pelajaran bahwa laki-laki pun memiliki tugas yang sama dengan perempuan sebagai orang tua, yakni memberikan pengasuhan, kasih sayang dan pendidikan pada anak. Keduanya, sebagai suami istri sekaligus ayah dan ibu harus bisa saling bertukar peran, saling menguatkan dan bekerja sama secara utuh, hadir untuk membentuk karakter dan mengasah potensi anak.
Ketika kasih sayang dan perhatian didapatkan hanya dari satu pihak, maka pasti akan memberi dampak pada perkembangan anak. Contoh kecilnya seperti yang terjadi pada kawan lama yang saya ceritakan di awal. Sifat pemarah yang dihadirkan oleh sang anak bisa jadi karena kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari ayahnya. Sementara ayah yang seharusnya juga ikut serta berperan mengasah, mengasih dan mengasuhnya, justru meletakkan seluruh tugas dan tanggung jawab pada istri.
Penggunaan perspektif mubadalah dalam melihat fenomena di lingkungan sekitar mengajarkan saya bahwa dalam pengasuhan anak pun, yang tepat memang dilakukan oleh dua pihak sekaligus, yakni ayah dan ibu. Ketika perempuan dituntut untuk hadir secara penuh sebagai ibu dalam mendidik anak, maka ayah juga harus hadir di dalamnya. Keduanya mesti mewujud sebagai orang tua yang siap secara fisik, mental dan pengetahuan untuk mengasah, mengasih dan mengasuh anak menjadi generasi yang membanggakan. []