• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Mengasuh Anak Sambil Bekerja? Tetap Bisa

Hasanudin Abdurakhman Hasanudin Abdurakhman
06/10/2022
in Kolom
0
Mengasuh Anak Sambil Bekerja? Tetap Bisa

Mengasuh Anak Sambil Bekerja? Tetap Bisa

45
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– Mengasuh anak sambil bekerja? Tetap bisa kok.  Saya mengenal banyak perempuan yang bertarung dalam hidup. Bentuk pertarungannya macam-macam. Tapi makna pertarungan mereka sama, menunjukkan bahwa mereka adalah manusia hidup.

Manusia yang hidup dengan marwah adalah manusia yang punya kehendak untuk diwujudkan, bukan sekadar hidup mengikuti arus waktu. Juga manusia yang mandiri, sanggup menghidupi diri sendiri, menerima berbagai jenis tanggung jawab untuk ditunaikan.

Kehormatan mereka terletak pada benasnya mereka dari ketergantungan, dan tunainya tanggung jawab yang dibebankan pada mereka.

Saya mengenal teman-teman saya yang dulu sekolah sampai S3 di Jepang. Ada yang tadinya ikut suami yang dapat beasiswa. Ia kemudian mencari kesempatan beasiswa juga. Lalu ia pun kuliah juga, sampai selesai S3.

Baca juga: Aku Bukan Sedang Membantu Istriku

Baca Juga:

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Tafsir Sakinah

Ada yang justru sebaliknya. Mereka dapat beasiswa, suaminya datang menemani. Kemudian mereka kuliah bersama, sama-sama menyelesaikan program doktoral.

Ada juga yang memang hanya dia saja yang kuliah. Suaminya ikut ke Jepang untuk menemani. Kok mau? Kenapa tidak? Apa salahnya? Inilah orang-orang yang sudah mampu membebaskan diri dari kebodohan partiarki.

Suami-suami mereka tidak berpinsip bahwa perempuan harus tinggal di rumah saja. Juga tidak menganggap bahwa perempuan tidak boleh lebih tinggi gelar dan kedudukannya. Mereka adalah suami-suami yang bangga dengan pencapaian istri mereka.

Tidakkah para suami itu harus bekerja? Mereka punya berbagai cara untuk menunaikan hal itu. Ada yang tetap bekerja secara remote.

“Ini zaman teknologi. Saya tidak harus berada di tempat tertentu untuk bekerja,” kata seorang dari mereka.

Ia adalah akuntan. Ia mengelola sebuah firma akuntansi bersama rekan-rekannya. Data dikirim dari Jakarta, ia mengolahnya di Jepang, dan mengirimnya kembali setelah selesai dikerjakan.

(Baca juga: Ayah Jangan Gengsi Memandikan Anak)

Suami yang lain, konsultan engineering, juga begitu. Ia kerjakan pekerjaannya dari jauh.

Tapi ada teman saya dari Malaysia, ia berhenti kerja untuk menemani istrinya. Tidakkah sayang dengan pekerjaan dan karirnya? “I am a qualified engineer. I can find other jobs when I get back,” katanya.

Para perempuan itu berjuang mengejar mimpi mereka. Memanfaatkan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Tanpa mengabaikan tugas-tugas mereka sebagai ibu dan istri. Mereka tetap melayani suami dan mengasuh anak.

Perhatikan makna melayani di sini. Suami dan istri itu saling melayani. Bukan hanya satu pihak yang melayani, yang lain dilayani.

Ketika istri sedang kuliah, suami berperan mengasuh anak. Juga menyediakan kebutuhan di rumah. Istri tetap terlibat di situ. Prinsipnya bersama menunaikan tanggung jawab, bukan saling melemparkannya.

Ada yang hamil di Jepang. Ia dan suaminya sama-sama kuliah. Saat melahirkan ia cuti beberapa bulan. Setelah itu ia kembali kuliah, anaknya dititipkan di day care. Tuh, kan, anaknya ditelantarkan. Siapa bilang itu menelantarkan?

Sang anak mendapat pengasuhan dari orang profesional. Mereka tahu betul cara mengasuh anak. Mereka melakukannya dengan penuh tanggung jawab.

Setelah sang ibu pulang dari kampus, ia kembali melaksanakan tanggung jawabnya yang tadi ia amanahkan pada orang lain. Ini poin terpenting. Ia tetap berprinsip bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawabnya secara penuh.

Ia tidak lari dari tanggung jawab itu. Ia hanya menitipkannya untuk dikerjakan orang lain sementara waktu.

Baca juga: Memahami Kodrat dan Konstruksi Sosial

Yang keberatan soal itu, cobalah baca kembali sejarah Nabi. Beliau dititipkan kepada Halimah untuk disusui, dan diasuh oleh Halimah sampai berusia 5 tahun. Yang demikian saja tidak masalah, kenapa menitipkan anak di day care harus jadi masalah?

Bagaimana dengan ASI? Saya mengenal banyak perempuan yang memberikan ASI ekslusif meski mereka bekerja. Mereka rajin secara rutin memompa ASI di tempat kerja, menyimpannya di lemari es dan membawanya pulang. Semua bisa ditunaikan kalau Anda cerdas dan punya komitmen.

Tapi kan di sini dititipkan pada pembantu. Nah, itu yang harus dibenahi. Kita tidak menutup mata pada kenyataan bahwa ada banyak orang menitipkan anak pada pembantu yang tidak kompeten. Tapi juga tidak bisa dipungkiri, ada banyak pembantu yang kompeten.

Yang justru harus diperjuangkan adalah hal-hal seperti ini, yaitu dukungan bagi perempuan. Sediakan day care yang baik. Fasilitasi tempat-tempat kerja dengan fasilitas pengasuhan.

Ada teman saya dulu yang punya ruangan untuk anak-anak dan bayi di perusahaannya. Mereka ditunggui oleh baby sitter, selagi para ibu bekerja di ruang sebelah. Tiba saat menyusui, sang ibu datang ke ruangan itu.

Baca juga: Membangun Surga Rumah Tangga dengan Prinsip Kesalingan

Ketimbang mencela, menuduh para perempuan mengabaikan anak, saya lebih suka mendorong untuk mencarikan solusi dan dukungan bagi mereka.

Dukungan harus diberikan oleh para laki-laki, tanpa khawatir bahwa peran mereka sedang dirampas oleh kaum perempuan.

Sebaliknya, apakah bekerja itu berarti harus bekerja kantoran? Tidak. Tadi saya tulis soal laki-laki yang menemani para istri tanpa melalaikan pekerjaan. Mereka mengerjakan pekerjaan secara remote.

Perempuan juga bisa memilih cara ini kalau mau. Ini zaman teknologi. Orang di Indonesia bisa menerima pekerjaan dari Singapura atau Amerika, dan mengerjakannya di rumah sambil mangku anak.

Itu memang hanya bisa dilakukan oleh orang dengan kompetensi tertentu. Nah, tugas kita adalah mendorong agar perempuan untuk punya kompetensi hebat. Bukan mendorong mereka untuk tidak belajar, dengan dalih kodrat.

Demikian penjelasan terkait mengasuh anak sambil bekerja? Tetap bisa. Semoga penjelasan mengasuh anak sambil bekerja bermanfaat bagi kita semua. [Baca juga: Mengasuh Anak Tanggung Jawab Siapa?]

Tags: anakayahbekerjafleksibelGenderhamilIbuislammenyusuiperanteknologi
Hasanudin Abdurakhman

Hasanudin Abdurakhman

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID