Mubadalah.id – Istilah devotee mungkin terdengar asing di telinga banyak orang. Tapi bagi sebagian penyandang disabilitas, terutama mereka yang mengalami kelumpuhan atau amputasi, fenomena ini bukan sesuatu yang sepenuhnya baru. Devotee adalah sebutan bagi orang yang memiliki ketertarikan seksual atau romantis kepada individu dengan disabilitas fisik.
Mereka bukan hanya sekadar mengagumi atau menyukai, tetapi benar-benar merasa tertarik pada kondisi tubuh penyandang disabilitas. Fenomena ini telah membentuk subkultur tersendiri di berbagai ruang internet, lengkap dengan komunitas, konten, dan dinamika sosial yang rumit.
Apa itu Devotee?
Devotee bukanlah istilah medis, melainkan istilah sosial yang digunakan untuk menggambarkan perilaku atau orientasi tertentu. Ketertarikan ini kerap kali terfokus pada tubuh difabel, terutama yang berkaitan dengan kelumpuhan, amputasi, atau penggunaan alat bantu seperti kursi roda, kruk, dan alat medis lainnya.
Bahkan dalam beberapa kasus, devotee juga tertarik pada situasi caregiving, seperti saat seseorang dibantu berpakaian, makan, atau mandi. Dalam hal seperti ini, tubuh difabel tidak lagi terlihat sebagai bagian dari keberagaman manusia, melainkan sebagai objek erotik yang memenuhi fantasi seksual tertentu.
Sebagian besar penyandang disabilitas tidak mengenal istilah devotee, namun banyak yang pernah mengalami perilaku yang menyiratkan fenomena ini. Pesan-pesan pribadi yang terasa aneh, komentar yang terlalu fokus pada tubuh mereka, atau permintaan untuk mengirim foto dan video tanpa alasan yang jelas, menjadi bagian dari pengalaman yang sayangnya cukup umum.
Ada yang awalnya mengira bahwa mereka sedang dicintai atau dikagumi dengan tulus, namun belakangan menyadari bahwa perhatian tersebut lebih condong kepada fetish daripada perasaan yang sesungguhnya.
Antara Cinta dan Fetish
Situasi ini menjadi lebih rumit ketika devotee menyembunyikan ketertarikannya di balik label “cinta tulus”. Dalam hubungan yang tampak seperti relasi romantis biasa, penyandang disabilitas bisa saja menjadi objek fetish tanpa sadar. Ketimpangan informasi seperti ini menciptakan relasi yang tidak setara, karena satu pihak tidak memahami sepenuhnya konteks dari perhatian yang mereka terima.
Relasi yang terbangun atas dasar ketidaktahuan dan manipulasi tentu saja rentan menyakiti, apalagi jika yang satu benar-benar berharap pada kedalaman emosional, sementara yang lain hanya mencari kepuasan pribadi.
Namun demikian, bukan berarti semua relasi antara devotee dan penyandang disabilitas pasti buruk atau tidak sehat. Dalam beberapa kasus, relasi tersebut bisa terjadi secara sadar dan konsensual. Jika kedua pihak tahu dan memahami posisi masing-masing, serta tidak ada yang disembunyikan, maka hubungan itu tetap merupakan hak pribadi mereka.
Namun, yang menjadi krusial adalah transparansi. Setiap individu berhak mengetahui dinamika relasi yang sedang mereka jalani, agar tidak terjebak dalam relasi yang menyamarkan eksploitasi sebagai sebuah kasih sayang.
Fenomena devotee juga tidak mengenal batas gender. Meskipun banyak perempuan difabel menjadi sasaran fetish ini, bukan berarti laki-laki bebas darinya. Ada juga laki-laki pengguna kursi roda yang secara sadar membuat konten dengan pendekatan sensual atau menggoda, dan mendapatkan perhatian dari devotee, baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagian dari mereka bahkan memanfaatkan ketertarikan ini untuk membangun persona tertentu di media sosial atau mencari penghasilan. Dalam situasi seperti ini, relasi antara devotee dan penyandang disabilitas tidak selalu berada pada posisi timpang. Ada kesadaran, ada perhitungan, dan ada pilihan. Namun tetap saja, garis batas antara strategi personal dan eksploitasi harus dibaca secara kritis.
Dari Mana Fetish berasal?
Lalu dari mana sebenarnya fetish ini berasal? Tidak ada jawaban tunggal. Ketertarikan seksual terhadap disabilitas bisa berasal dari banyak faktor. Bisa dari pengalaman masa kecil, pengaruh media, atau bahkan eksotisasi terhadap tubuh yang berbeda dari norma.
Sebagian ahli psikologi menyebut bahwa fetish seperti ini adalah bagian dari spektrum parafilia, yaitu ketertarikan seksual yang tidak lazim menurut norma sosial umum. Tapi perlu kita ingat, tidak semua devotee otomatis masuk dalam kategori gangguan atau kelainan. Seperti banyak hal lain dalam psikologi manusia, fetish juga berada dalam spektrum yang luas dan rumit.
Yang tidak bisa kita abaikan adalah kenyataan bahwa pasarnya memang ada. Dunia maya membuka ruang untuk semua jenis preferensi, termasuk fetish terhadap disabilitas. Ada situs-situs khusus, forum, hingga media sosial tempat devotee saling berinteraksi dan mencari “konten” yang sesuai dengan preferensi mereka.
Dalam beberapa kasus, penyandang disabilitas sendiri juga mulai sadar bahwa mereka menjadi bagian dari pasar ini. Ada yang menolak, ada yang memanfaatkan, dan ada pula yang masih bingung bagaimana menyikapinya. Keberadaan ruang-ruang ini menandakan bahwa devotee bukan fenomena yang bisa dianggap remeh atau diabaikan begitu saja.
Disabilitas bukanlah objek fetish
Hal yang paling penting dari semua ini adalah kesadaran. Penyandang disabilitas perlu tahu bahwa mereka bisa saja menjadi target fetish, bahkan tanpa mereka sadari. Penting untuk membedakan antara perhatian yang tulus dan perhatian yang berakar dari fantasi seksual. Jangan sampai rasa ingin dihargai atau dicintai malah membuat seseorang terjebak dalam relasi yang mengeksploitasi tubuh dan identitasnya.
Di sisi lain, bagi mereka yang menyadari dia adalah seorang devotee, penting untuk meninjau kembali niat dan cara mendekati seseorang dengan disabilitas. Apakah ketertarikan itu benar-benar bersifat manusiawi dan menghargai, ataukah hanya berfokus pada aspek tubuh yang dianggap memuaskan secara seksual?
Tanpa kesadaran ini, hubungan apa pun yang terbangun bisa berubah menjadi bentuk baru dari objektifikasi yang tidak jauh berbeda dari pelecehan.
Disabilitas bukanlah fetish. Tubuh difabel bukan objek untuk dikonsumsi atau kita jadikan tontonan. Penyandang disabilitas adalah manusia utuh, dengan hak yang sama atas privasi, cinta, dan penghormatan. Fetish adalah urusan personal, tapi begitu menyentuh tubuh dan hidup orang lain tanpa izin atau kejelasan, ia bisa berubah menjadi bentuk kekerasan yang tidak kasat mata.
Itulah mengapa penting untuk membicarakan soal devotee secara terbuka. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menumbuhkan pemahaman. Karena hanya dengan memahami, kita bisa menciptakan ruang interaksi yang lebih adil, aman, dan manusiawi bagi siapa pun, termasuk mereka yang selama ini hidup dalam tubuh yang berbeda dari norma mayoritas. []