Mubadalah.id– Dewi Sartika merupakan satu dari sekian tokoh perempuan Indonesia yang berjasa terhadap perjuangan hak-hak perempuan dalam mengakses bidang pendidikan.
Pendidikan Masa Belanda
Pada abad ke-19, penjajah Belanda di Indonesia membuka sekolah kepada masyarakat Indonesia atau bumipoetra sebagai lembaga pendidikan, pelatihan dan keterampilan yang sesuai dengan kepentingan ekonomi kaum penjajah. Ternyata pendidikan inilah yang kemudian menjadi faktor utama dalam proses transformasi masyarakat Indonesia.
Salah satu hasil dari pendidikan, pelatihan dan keterampilan tersebut adalah lahirnya cara pandang baru perempuan Indonesia, pada waktu itu bahwa memang pendidikan adalah alat yang mampu untuk mengubah keadaan ke arah kemajuan bagi masyarakat, termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan yang bersifat sosial dan meningkatkan derajat perempuan.
Pada masa penjajahan, kezaliman bukan hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, namun juga kaum perempuan yang mungkin lebih mendapatkan kezaliman, hal ini karena adanya pandangan rendah terhadap perempuan yang juga dibawa oleh cara pandang Belanda. Bahkan cara pandang diskriminatif kulit putih kepada kulit berwarna.
Cara Pandang Baru Perempuan Indonesia
Pandangan baru dari para perempuan yang terpelajar ini sesuai apa yang dikatakan oleh Schrieke bahwa pendidikan melepaskan mereka dari cengkraman lingkungan lama sekaligus menghancurkan pandangan lama dalam hal moral dan kaidah-kaidah sosial. Maka perempuan terdidik tadi mulai membuat gerakan kearah perubahan untuk perbaikan dan kesejahteraan sosial melalui jalur pendidikan.
Adalah Raden Dewi Sartika yang memulai gerakan perubahannya melalui jalur pendidikan. Ia pernah berkata dalam bahasa Belanda “Wet is het algemeen nooding voor de intelellectueele en moreele opheffing der Inlandzche vrouw ? Naar mijn bescheiden meaning zal dit ten opzichte van de vrouw in dit geval wel wet erg veal verschilen met de manner. Zij zal nevens een behoorlijke opvoeding degelijk geschoold moeten wezen. Uitbreiding van kennis zal van invloed zijn op het moral der Inlandsche vrouw”.
Tokoh yang lahir pada masa penjajahan Belanda, biasanya fasih berbicara dan menulis memakai bahasa Belanda. Dalam hal ini Dewi Sartika mengatakan bahwa;
“Apa yang dibutuhkan pada umumnya untuk meningkatkan moral dan intelektual perempuan pribumi? Menurut pendapat saya yang sederhana perempuan dalam hal ini tidak berbeda banyak dari kaum laki-laki. Dia juga untuk pendidikan yang baik harus disekolahkan dengan baik pula. Pengembangan pengetahuan akan berpengaruh terhadap moral perempuan pribumi”
Dewi Sartika: Tokoh Perempuan Menak Sunda
Dewi Sartika adalah tokoh perempuan Sunda yang menyuarakan aspirasi hak perempuan dalam mendapatkan akses pendidikan. Ia adalah golongan perempuan dari keluarga priyayi terdidik yang lahir pada 4 Desember 1884 yang merupakan anak kedua dan merupakan puteri pertama dari pasangan R. Rangga Somanagara (Seorang Patih di Bandung) dengan R.A. Rajapermas (puteri Bupati Bandung yaitu R.A.A Wiranatakusumah IV).
Status sebagai anak menak Sunda menjadikan sebuah legitimasi baginya untuk memimpin rakyat dalam gerakan perubahannya tersebut yang menunjukan bahwa dia sebagai agen of change, yang bukan hanya diperankan oleh laki-laki, tapi perempuan yang memiliki kepasitas juga mampu untuk memimpin sebagai agen of change tersebut.
Ia mulai belajar di Eerste Klasse School yang kemudian berkembang menjadi Hollandsch Inalndsche School (HIS), pendidikannya tersebut berimplikasi kepada jiwanya yang demokratis dan memihak kaum lemah serta melahirkan semangat untuk terus belajar dan melahirkan pengamatan yang tajam. Oleh karena itu, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya yang lain suka bergaul akrab dengan anak-anak masyarakat kelas bawah.
Sekolah Kaumatan Istri
Dalam bukunya Rochiati Wiriaatmadja berjudul Dewi Sartika, bahwa dalam mewujudkan cita-citanya, ia mendirikan Sekolah Kaumatan Isteri pada 1904 di Bandung. Sekolah ini sangat sederhana, namun antusiasme dan semangat yang besar dari para perempuan untuk belajar tidaklah menjadikannya halangan dalam menambah ilmu pengetahuan.
Adapun para pengajar terdiri dari perempuan-perempuan priyayi terdidik dan dengan sukarela membantu perjuangan Dewi Sartika.
Sekolah Kaumatan Istri ini merupakan sekolah yang jelas berbeda dengan sekolah buatan Belanda yang diskriminatif terhadap golongan lemah. Sekolah ini adalah sekolah bagi rakyat jelata, hal ini sesuai dengan sikap dan pandangan hidup dari seorang tokoh perempuan Sunda yang demokratis ini.
Adapun pelajaran di sekolah kaumatan istri adalah pelajaran domestik seperti memasak dan menjahit. Lalu ada pula pengajaran mengenai ilmu-ilmu agama.
Pada tahun 1906, Raden Dewi Sartika menikah dengan R. Kd. Agah Suriawinata, seorang guru yang kemudian menjadi kepala sekolah di Eerste Klasse School Karang Pamulang.
Ternyata, pernikahannya tersebut tidak menghalangi cita-cita dan perjuangannya, bahkan suaminya memberikan pengertian bahkan bantuan sepenuhnya kepada istrinya. Kedisiplinan dan pembagian waktu yang tepat adalah kunci keserasian dan kerjasama suami-istri ini dalam menghadapi pekerjaan dan tugas rumah tangga.
Semangat Mubadalah dalam Sejarah Perjuangan Dewi Sartika
Dari kenyataan sejarah ini, Dewi Sartika menunjukan bahwa peran perempuan dalam sektor publik sangat penting. Terutama dalam perjuangannya terhadap kondisi pendidikan perempuan di tanah Sunda sejak abad ke-19.
Gerakan perjuangannya juga menunjukan sejarah kelam kehidupan perempuan masa penjajahan Belanda. Yaitu adanya ketidakadilan gender dalam hal ruang dan akses pendidikan, dalam hal ini rakyat pribumi, khususil khusus perempuan yang hanya sebagai simbol dan sebagai gundik oleh penjajah Belanda.
Lalu ternyata, kemubadalahan atau kesalingan antara suami-istri dalam menjalankan peranan di sektor publik dan kehidupan rumah tangga sudah pula terlihat juga oleh Dewi Sartika dan suaminya yaitu R. Kd. Agah Suriawinata.
Hal ini menunjukan bahwa pernikahan tidak akan menganggu karir, cita-cita dan perjuangan dari seorang istri dalam perjuangnnya memajukan bidang pendidikan bagi perempuan.
Dalam hal urusan domestik rumah tangga, Dewi Sartika dengan suaminya tersebut menjalin kedisiplinan, kerjasama dan pembagian tugas yang tentunya adil. Inilah semangat mubadalah dalam realitas sejarah dari sosok Raden Dewi Sartika yang patut kita insyafi dan teladani. []