Mubadalah.id – Pythagorasisme merupakan aliran filsafat yang aktif dan populer sejak akhir abad ke-6 SM hingga abad ke-2 atau ke-3 M. Penganut Pythagoras awal terdiri dari anggota keluarga Pythagoras.
Sumber-sumber kuno menunjukkan bahwa banyak perempuan yang berperan aktif dalam menyebarkan ajaran Pythagoras. Bahkan memainkan peran utama dalam pengembangan filsafat Pythagoras periode-periode awal.
Diogenes Laertius, dalam ‘Lives of the Eminent Philosophers’, melaporkan:
“Aristonexus menyatakan bahwa Pythagoras memperoleh sebagian besar doktrin etikanya dari Themistoclea, pendeta perempuan di Delphi.” (D.L VIII/8).
Dalam sejarah, penganut ajaran Pythagoras awal meliputi Themistoclea, Theano, Arignote, Myia, dan Damo. Selain Themistoclea, perempuan-perempuan lainnya adalah anggota keluarga Pythagoras.
Arignote
Para pengikut Pythagoras awal memandang alam semesta sebagai sesuatu yang teratur dan harmonis. Segala sesuatu memiliki hubungan matematis tertentu dengan segala sesuatu yang lain. Harmoni dan keteraturan dianggap ada ketika segala sesuatu berada di dalam hubungan yang tepat satu sama lain.
Hubungan ini dinamakan sebagai proporsi matematis. Ini adalah salah satu “ajaran suci” yang terkait dengan putri Pythagoras, Arignote. Menurut Arignote:
“… Hakikat angka adalah penyebab paling utama dari seluruh langit, bumi, dan wilayah di antaranya. Demikian pula, hakikat ini adalah akar dari keberadaan para dewa dan daimone, serta manusia ilahi.” (Peter Gorman, 1979: 90).
Pandangan Arignote berhubungan erat dengan pandangan ibunya, Theano dari Crotona, bahwa semua yang ada—semua yang nyata dapat kita bedakan dari hal-hal lain melalui pencacahan. Hakikat abadi angka juga terkait langsung dengan koeksistensi harmonis yang terdapat di berbagai hal.
Harmoni tersebut dapat kita anggap sebagai hubungan matematis. Dalam hal ini, angka adalah penyebab segala sesuatu. Tanpa angka, kita tidak dapat menghitung, menggambarkan, dan membedakan satu hal dengan hal lain, dan angka mengungkapkan hubungan yang teratur di antara berbagai hal.
Theano dari Crotona
Theano adalah putri Brontinus, seorang yatim piatu dan bangsawan Crotona. Ia pertama kali menjadi murid Pythagoras, dan kemudian menjadi istrinya.
Dalam sebuah dokumen yang berkaitan dengan karya besarnya, ‘On Piety’, dia menyinggung konsep metafisik tentang imitasi dan partisipasi. Teks tersebut penterjemahnya adalah Vicki Lynn Harper:
“Saya melihat bahwa banyak orang Yunani percaya bahwa Pythagoras mengatakan semua hal dihasilkan dari angka. Pernyataan itu sendiri menimbulkan kesulitan: Bagaimana hal-hal yang tidak ada dapat dianggap menghasilkan sesuatu? Namun, Pythagoras tidak mengatakan bahwa semua hal muncul dari angka; sebaliknya, semua hal berkesesuaian dengan angka—atas dasar bahwa keteraturan dalam pengertian utama adalah dalam angka dan dengan partisipasi dalam tatanan itu yang pertama dan yang kedua dan sisanya secara berurutan ditetapkan pada hal-hal yang dihitung.” (Holger Thesleff, 1965).
Theano mengatakan bahwa ketika kita bertanya apa hakikat suatu objek, kita dapat menjawab dengan menggambarkan sebuah perumpamaan antara objek itu dan sesuatu yang lain, atau kita dapat mendefinisikan objek tersebut.
Menurutnya, Pythagoras bermaksud untuk mengekspresikan analogi antara benda dan angka. Ini adalah konsep imitasi bahwa benda seperti angka. Dengan partisipasi angka di alam semesta, tatanan dan harmoni, suatu objek, baik yang berwujud maupun tidak, dapat kita urutkan dengan semua objek lain dan dapat kita hitung. Benda dapat kita hitung sesuai dengan angka, yang pengertian utamanya adalah penataan.
Dokumen yang terkait dengan Theano tampaknya tidak Aristoteles ketahui yang pernah mengatakan bahwa kaum Pythagoras:
“… membangun benda-benda alami dari angka, benda-benda yang ringan dan berat dari benda-benda yang tidak berat atau ringan…” (Aristotle, Metaphysics, 1090a22).
Keabadian Jiwa
Jika kita mengartikan “benda-benda” menurut Theano sebagai benda-benda jasmani, atau objek fisik, seperti yang saya kira harus kita pahami, mengingat penggunaan istilah “menghasilkan,” dia hanya mengklaim bahwa benda-benda jasmani tidak muncul dari angka itu sendiri karena angka hakikatnya bersifat non-jasmani.
Sebaliknya, angkalah yang memungkinkan kita untuk membedakan satu benda dari benda-benda yang lain. Dengan menghitung benda-benda sebagai yang pertama, kedua, dst., Kita secara tidak langsung mengklaim dapat menentukan parameter fisik benda-benda tersebut bahwa sesuatu kita mulai di sini, berakhir di sana, dst.
Jadi ketika kita menghitung, secara tidak langsung kita juga menggambarkan objek-objek. Kita dapat mengatakan bahwa sesuatu adalah objek karena kita dapat menghitungnya.
Selain tentang angka, Theano juga menjelaskan dua doktrin Pythagoras lainnya. Keabadian jiwa dan transmigrasi jiwa. Theano menegaskan bahwa Pythagoras percaya pada keadilan Tuhan di akhirat dan pada transmigrasi jiwa setelah kematian ke dalam tubuh baru yang belum tentu manusia.
Theano menghubungkan moralitas dengan kosmologi untuk menunjukkan mengapa kita tidak boleh meragukan keabadian jiwa:
“Jika jiwa tidak abadi, maka hidup adalah pesta pora bagi para pelaku kejahatan yang mati setelah menjalani hidup mereka yang kejam.” (Clement of Alexandria, Stromata, IV/7, 9).
Harmoni Alam Semesta
Dalam alam semesta yang berprinsip dan harmonis, segala sesuatu memiliki tempat dan fungsinya sendiri-sendiri. Yakni menurut suatu hukum: hukum fisika, logika, atau moralitas dan agama. Perbuatan jahat atau tidak bermoral jelas bertentangan dengan hukum-hukum tersebut, dan menyebabkan kekacauan dan perselisihan.
Menurut Theano, jika jiwa tidak abadi, maka mereka yang menyebabkan kekacauan tidak hanya mendapatkan semacam tumpangan gratis dalam hidup dengan mengorbankan mereka yang telah mereka sakiti, tetapi mereka juga mengganggu ketertiban alam semesta. Jika keseimbangan dan harmoni alam semesta terpulihkan, jiwa mau tak mau harus abadi.
Dengan begitu orang-orang yang tidak bermoral berkesempatan untuk memperbaiki ketertiban yang telah mereka rusak dengan menerima hukuman untuk terlahir kembali sebagai sesuatu yang lebih rendah dari manusia. Lalu dengan menjalani kehidupan selanjutnya seperti yang diharuskan oleh hukum moral.
Myia
Myia merupakan salah satu putri kandung Theano dan Pythagoras. Dia menikah dengan seorang atlet, Milo (kadang-kadang disebut sebagai Milon, Mylon, atau bahkan Meno) yang berasal dari kampung halaman ibunya, Crotona. Di rumahnya lah Pythagoras mati terbakar.
Dia menulis tentang penerapan prinsip harmonia dalam kehidupan perempuan. Suratnya kepada Phyllis membahas pentingnya memenuhi kebutuhan bayi yang baru lahir sesuai dengan prinsip harmonia.
Menurutnya, bayi yang baru lahir secara alami menginginkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya, dan yang dibutuhkannya adalah moderasi. Makanan dan pakaian yang tidak terlalu sedikit ataupun terlalu banyak. Temperatur yang tidak terlalu tinggi (panas) dan tidak terlalu rendah (dingin), dll.
Karena alasan tersebut, seorang ibu harus memiliki sikap yang moderat dalam pengasuhan. Seorang ibu tidak boleh tidur atau minum berlebihan, dan harus mengendalikan nafsu seksual suaminya (mungkin karena kehamilan akan menghalangi proses laktasi). Seorang ibu harus “melakukan semua hal dengan baik di waktu yang tepat” dan harus mengendalikan kebutuhannya sendiri.
Pemikiran Myia di atas dapat kita lihat dari suratnya kepada Phyllis yang saat itu baru saja melahirkan. Di sisi lain ia ingin mencari perawat/pengasuh. Berikut isi suratnya:
“Myia kepada Phyllis,
Salam. Karena kamu telah menjadi seorang ibu, aku ingin memberimu nasihat ini. Pilihlah seorang perawat yang baik hati dan bersih, yang rendah hati dan tidak terlalu banyak tidur atau minum. Perempuan seperti itu akan lebih mampu menilai cara membesarkan anak-anakmu dengan cara yang sesuai dengan status mereka—tentu saja, asalkan dia memiliki cukup susu untuk memberi makan anak, dan tidak mudah terpengaruh oleh bujukan suaminya untuk tidur sekamar dengannya.
Seorang perawat memiliki peran besar dalam hal ini yang merupakan bagian pertama dan pendahuluan dari seluruh kehidupan seorang anak, yaitu mengasuh dengan tujuan untuk membesarkan anak dengan baik. Karena dia akan melakukan segala sesuatu dengan baik pada waktu yang tepat. Biarkan dia memberikan puting susu dan payudara serta makanan, bukan secara spontan, tetapi sesuai dengan pertimbangan yang tepat. Dengan demikian dia akan membimbing bayi menuju kesehatan.
Dia tidak boleh menyerah setiap kali dia sendiri ingin tidur, tetapi ketika bayi yang baru lahir ingin beristirahat; dia akan menjadi penghibur bagi anak itu. Janganlah dia menjadi pemarah, banyak bicara, atau sembarangan dalam mengambil makanan, tetapi hendaklah ia bersikap tertib dan tenang. Yang terbaik adalah menidurkan bayi yang baru lahir setelah ia cukup kenyang dengan susu, karena pada saat itu istirahat akan menyenangkan bagi bayi, dan makanan seperti itu mudah dicerna.
Jika ada makanan lain, seseorang harus memberikan makanan yang sesederhana mungkin. Jauhi anggur sama sekali, karena efeknya yang kuat, atau tambahkan sedikit dalam campuran susu malam. Jangan terus-menerus memandikan anak. Lebih baik memandikan anak dengan air hangat namun jangan terlalu sering. Mandikan bayi dengan suhu sedang. Selain itu, udara harus memiliki keseimbangan panas dan dingin yang sesuai, dan rumah tidak boleh terlalu berangin atau terlalu tertutup. Air tidak boleh keras atau lembut, dan seprai tidak boleh kasar tetapi harus nyaman di kulit.
Dalam semua hal ini, alam semesta hanya menginginkan apa yang pantas, bukan yang berlebihan. Inilah hal-hal yang aku pikir berguna untuk dituliskan kepadamu saat ini: harapan saya tentang pengasuhan anak. Dengan bantuan Tuhan, kita akan memberikan pengingat yang layak dan tepat mengenai pengasuhan anak lagi di lain waktu.” (Hercher, Epistolographi Graeci, 608).
Pengasuhan Anak ala Pythagoras
Kalian mungkin terkesan, seperti saya, ketika dia menutup suratnya dengan pernyataan bahwa “Inilah hal-hal yang aku pikir berguna untuk dituliskan kepadamu saat ini…” Ada kesederhanaan dari cara dia memberikan nasihat.
Dia bahkan berjanji akan memberikan Phyllis nasihat lainnya nanti. Ketika saatnya tepat untuk mengingatkan Phyllis tentang hal-hal lain sehubungan dengan pengasuhan anak ala Pythagoras! Surat di atas juga secara tidak langsung merangkum apa yang para perempuan lakukan di keluarga Pythagoras.
Mereka percaya bahwa tugas mereka sebagai filsuf perempuan adalah untuk mengajarkan kepada perempuan lain apa yang perlu perempuan ketahui, jika mereka ingin menjalani hidup yang harmonis dan menciptakan keadilan dalam jiwa dan rumah tangga mereka.
Demikian pula, tugas filsuf laki-laki adalah untuk mengajarkan kepada laki-laki lain apa yang perlu laki-laki ketahui agar mereka menjalani hidup yang harmonis. Yakni menciptakan keadilan dan keharmonisan dalam jiwa dan rumah tangga mereka.
Orientasi tugas ini sebagian menjelaskan, dan sebagian lagi hanya menggambarkan, alasan pendekatan realistis terhadap moral yang perempuan ambil, dan pendekatan yang laki-laki ambil menurut Pythagoras dan keluarganya. Laki-laki dan perempuan memiliki pendekatan yang berbeda karena tugas mereka berbeda. Pythagoras percaya bahwa tugas perempuan dan laki-laki berbeda karena sifat mereka berbeda. []