Mubadalah.id – Gelar kepahlawanan merupakan sebuah gelar yang dilekatkan pada karakter keteladanan seseorang atas jasa dan peran sosial kepada bangsa. Komnas Perempuan ingin memperluas diskursus tentang makna kepahlawanan. Apakah gelar pahlawan hanya diukur melalui tanda jasa negara, atau memungkinkan berasal dari pengakuan masyarakat.
Dalam hal ini Komnas Perempuan menghadirkan narasi serta kisah sudut pandang perempuan Indonesia dalam perlawanan sejarah bangsa. Kadangkala peran sosialnya sering terabaikan dan terlewatkan dalam narasi kebangsaan. Hal demikian terjadi karena minimnya pengakuan negara pada tokoh perempuan yang sejatinya banyak berkontribusi menorehkan sejarah bangsa.
Jumat, 10 November 2023 Komnas Perempuan menghelat diskusi publik secara online by zoom. Acara ini mendatangkan tiga narasumber utama di antaranya; Dewi Kanti (Komisioner Komnas Perempuan), Veryanto Sitohang (Komisioner Komnas Peempuan), dan Dahlia Madani (Koordinator Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan Komnas Perempuan). Ketiga narasumber tersebut memaparkan dan mengulas 5 tokoh perempuan Indonesia yang sangat berjasa.
Trisudji Kamal
Lahir 28 November 1936 dan wafat pada 21 Maret 2021. Beliau merekam jejak perjalanan sejarah bangsa nan elok dengan syair dan not balok. Trisudji berjasa dalam karya musik internasional, ia mempertahankan identitas jati dirinya perempuan pertama dari Indonesia yang belajar komposisi musik di Eropa.
Pada usia 14 tahun, Trisudji menciptakan karya musik serius khususnya piano. Trisudji juga telah menerbitkan buku “Tembang Puitik” komposisi vocal dan piano. Mendiang merupakan salah satu aset bangsa Indonesia karena semasa hidup beliau merupakan sosok yang sangat produktif berkarya dan mengingatkan kita semua bahwa perempuan turut memiliki peran utama dalam dunia musik Indonesia.
Boru (Putri) Lopian
Puri lopian merupakan putri ketiga dari Raja Sisingamaraja XII yang merupakan salah satu pahwalan nasional dari Tanah Batak di Sumatera Utara. Putri Lopian berguru ilmu bela diri di istana dan sering ikut andil dalam kemiliteran.
Sosok Putri Lopian setia hingga akhir mendampingi ayahnya dalam kancah perjuangan yang meletihkan. Ia selalu mengikuti gerilya dan berada di garis depan, ikut bergelut dngan kemelut, bergerilya di tanah penuh duri dan hutan belantara.
Hingga dalam suatu peperangan ia mengalami luka cukup parah terkena peluru senapan serdadu Belanda pimpinan kapten Christoffel. Saat itu ia masih berusia 17 tahun dan setia hingga akhir mengikuti ayahya ketika Sisingamaraja XII menjadi buronan Belanda keluar masuk hutan belantara, ia ikut bergerilya mendampingi dan ikut melakukan perlawanan.
Karena tembakan peluru tersebut, keadaannya sekarat karena peluru telah mengenai ulu hati. Nama Putri Lopian abadi pada nama jalan di Tarutung Tapanuli Utara, Sidikalang Kabupaten Dairi dan kota lainnya di Sumatera Utara.
Emna Poeradiredja
Lahir pada 13 Agustus 1902 di Cilimus, Jawa Barat. Emna aktif sebagai anggota Jong Java dan menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) sebagai ketua cabang Bandung pada tahun 1925. Ia aktif dalam berbagai organisasi perjuangan kemerddekaan Indonesia serta gerakan kesetaran perempuan.
Dalam Kongres Pemuda II ia menjabat sebagai ketua cabang Bandung Jong Islamieten Bond dan memberikan pidato tentang peran perempuan dalam pergerakan. Kongres Pemuda II pada 27-28 oktober 1928 Emna memberikan tanggapan khususunya mengenai kemajuan perempuan dan pendidikan.
Emma juga merupakan tokoh yang aktif dalam berbagai bidang, ia mendirikan PASI (Pasundan Istri) pada 1930 dan menjadi ketua hingga 1970. Menjadi ketua Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938.
Dalam bidang sosial ia mendirikan dan menjadi ketua pengurus panti asuhan di bandung 1935 mendirikan rumah jompo di bandung 1936 serta menjabat sebagai ketua Bdan Keselamatan Rakyat (BKR) bagian wanita di Bandung.
Emma mendapatkan pnghargaan dari pemerintah RI berupa piagam Tanda Penghormatan Bintang Mahaputra Pertama IV pada 1975, oleh presiden RI, Soeharto. Emma meninggal pada Senin 16 A pril 1976 dan pemakaman berada di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.
Siti Soendari
Siti Soendari adalah salah satu dari dua perempuan pertama Indonesia yang sekolah di Belanda pada masa kolonial. Lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada 9 April 1906. Tahun 1934 keterlibatannya dalam Kongres Pemuda II sangat penting, terutama dalam menyampaikan pesan pentingnya menanamkan cinta tanah air pada laki-laki dan perempuan sejak usia dini.
Dia bergabung dengan Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) serta menjadi Direktur Bank Nasional Malang. Ia berpidato pada Kongres Pengajaran Colonial pertama yang berlangsung di Den Hag, Belanda pada Agustus 1916. Kongres tersebut membahas mengenai nasib perempuan.
Ia menyuarakan agar perempuan mau belajar membaca dan menulis. Dengan membaca, perempuan dapat memahami situasi sosial yang melingkupi, yang membuat mereka memiliki minat rendah untuk bersekolah. Ia juga menegaskan kepentingan belajar karena perempuan merupakan guru nomor ssatu bagi anak-anak, sehingga peru menjadi terpelajar.
Poernomowoelan
Seorang guru dan perwakilan pemuda dari Taman Siswa. Perannya dalam Peristiwa Sumpah Pemuda sangat signifikan, terutama sebagai pembicara pertama di Kongres Pemuda II.
Beliau aktif dalam organisasi Jong Java Bond serta menjadi perwakilan Jong Java dalam Kognres Pemuda II. Pada pertemuan rapat kedua Minggu, 28 Oktober 1928 di Gedung Oast Java Bioscoop, Poernomowoelan tampil memeberikan pendapatnya.
Poernomowoelan menyuarakan pentingnya pendidikan untuk kaum pribumi terutama anak-anak. Ia merupakan guru yang mengajarkan baca tulis pada anak-anak. Poernomowoelan juga mengatakan bahwa; anak harus bisa mendapatkan pendidikan kebangsaan, mendapat keseimbangan pendidikan di sekolah dan di rumah. Serta mendapatkan pendidikan demokratis.
Berdasarkan narasi di atas, maka masyarakat perlu menyadari, mengingat, dan mengapresiasi perjuangan para perempuan dalam berbagai bidang yang tidak kalah beratnya daripada memanggul senjata di saat perang. []