Mubadalah.id – Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, al-Qaisiyah Bashriyah atau yang biasa dipanggil “Umm al-Khair” (Ibu Kebaikan).
Rabi’ah al-Adawiyah dikenal sebagai salah seorang perempuan sufi, ahli ibadah, spiritualis dan asketis (zahidah).
Rabi’ah lahir dan tumbuh dalam keluarga miskin. Ketika kemudian ayahnya meninggal dunia, dan dia masih dalam usia muda, di Basrah, ibu kota Irak, terjadi krisis pangan.
Rabi’ah dan saudara-saudara perempuannya berpisah untuk mencari kehidupan di kota itu masing-masing.
Dalam keadaan mereka menderita seperti itu ada seorang pengusaha sukses menangkap Rabi’ah kemudian menjualnya kepada seseorang yang sedang mencari pekerja di rumahnya.
Tak ada jalan baginya kecuali menerima nasib sebagai budak tuannya. Di rumah itu Rabi’ah setiap hari berpuasa dan rajin shalat. Ia juga aktif bangun malam untuk tahajud.
Dikisahkan kemudian, bahwa tuannya memerdekakan Rabi’ah al-Adawiyah. Ia kemudian mencari kehidupan lain daripada menjadi budak. Ia kemudian menjadi penyanyi dan penari dalam sebuah diskotik (rumah hiburan).
Meski pun demikian ia dalam waktu kosong selalu hadir mengikuti pengajian di masjid Basrah. Di sana ia bertemu dengan seorang sufi besar Rabah bin Amr al-Qaisi yang kemudian memberikan pelajaran keagamaan yang sangat mempengaruhi hidupnya.
Rabi’ah al-Adawiyah bertaubat dengan sungguh-sungguh dan menjalani ritual dan kehidupan spiritualitas, seperti shalat, tahajud, berdoa memohon ampunan Allah (Istighfar), membaca al-Qur’an dan selalu mengingat kematian. Begitulah Rabi’ah menjalani hari-harinya sampai wafatnya.
Rabi’ah al-Adawiyah meninggal dunia pada tahun 185 H dalam usia 80 tahun. Demikian disebutkan oleh ibn Khalikan dalam bukunya “Wafayat al-A’yan”, dan didukung oleh Louis Masignon dengan argumentasinya yang cukup kuat.
Rabi’ah al-Adawiyah meninggalkan sejumlah pesan-pesan sufistik, kata-kata bijak dan bait-bait puisi yang berisi cinta Platonik dan kerinduan kepada Tuhan, serta filsafat Wahdah al-Wujud (Unity of Being). []