Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) Republik Indonesia mengadakan Festival Hari Anak Sedunia 2025 secara hybrid di Lumire Hotel & Convention Center Jakarta Pusat. Kegiatan ini mengangkat tema “Listen to the Future: Anak-Anak yang tangguh menghadapi tantangan digital, iklim, dan pemenuhan hak anak menuju Indonesia Ems 2045” (20/11).
Acara ini terbuka untuk umum dan sangat ramah anak, orang muda, maupun keluarga. Karena saat kegiatan berlangsung ada banyak permainan yang panitia sediakan untuk anak-anak. Selain itu kegiatan utama ini juga dapat kita akses melalui laman YouTube Kemenpppa di link ini https://www.youtube.com/watch?v=LFy-5B2_gEQ,
Kemenpppa pun menyediakan sesi panel dengan tema yang beragam. Termasuk salah satunya adalah sesi panel dengan tema Penguatan Kesehatan Mental dan Psikososial Anak di Dunia Digital.
Di sesi ini mengajarkan peserta untuk menguatkan kesehatan mental dan psikososial anak di dunia digital bersama para pakar. Mereka adalah Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psikolog seorang psikolog anak dan remaja. Lalu ada Diena Haryana founder Sejiwa Foundation, Ika Putri Dewi, S.Psi, Psikolog pakar psikolog klinis Yayasan PULIH, serta Aghnia Wahdini, M.I.Kom founder Traditional Games Returns.
Tekanan Dunia Digital
Menurut Vera, dunia digital memang memiliki peluang besar untuk berbagai hal. Tetapi yang perlu kita garis bawahi, tekanan yang kita dapatkan dari dunia digital pun besar. 45% remaja mengalami cyberbullying. 41% individu mengalami penyebaran konten pribadi tanpa izin. Lebih dari 20.000 konten kekerasan seksual anak kita temukan secara daring.
Hal ini dapat mempengaruhi anak tidak hanya secara mental tetapi juga emosi, perilaku, dan sosialnya. Misal anak mudah cemas, marah atau sebaliknya seperti rendah diri. Secara perilaku anak juga sulit fokus, tidur tidak teratur, dan impulsif. Terutama saat emosi seperti mudah mengunggah sesuatu di media sosial tanpa berpikir panjang.
Vera memaparkan jika salah satu atau lebih dari dampak-dampak ini anak-anak alami lebih dari dua pekan, pastikan orang tua untuk lebih memperhatikan dan memberi perhatian pada anak. Yakni dengan cara ASUHAN agar anak SIAP hadir di dunia digital secara secure.
ASUHAN adalah akronim dari A (akseskan ruang aman bercerita). S (sabar dan tanpa menghakimi). U (ucapkan validasi emosi). H (hadir dan konsisten dan menjadi role model). A (atur batasan digital). N (nyalakan dukungan profesional saat perlu).
Sedangkan SIAP adalah akronim dari S (sadari emosinya), I (ingat, tidak sendirian), A (ajak bicara orang dewasa), P (pilih langkah aman). Jika anak atau orang tua memerlukan bantuan profesional untuk menguatkan kesehatan mental dan psikososial akibat dunia digital, layanan “Helpline SEJIWA Bersamamu” hadir secara gratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Layanan Konseling Online
Diena memaparkan bahwa layanan konseling online Helpline #BERSAMAMU telah beroperasi sejak 14 Februari 2022. Layanan ini dapat kita akses melalui Google Meet maupun Whatsapp Chat dengan dukungan 35 orang psikolog dan alumni jurusan Psikologi dari Universitas Gajah Mada.
Meski begitu Diena akui bahwa layanan Helpline #BERSAMAMU juga menghadapi tantangan-tantangan seperti variasi dan jumlah isu yang semakin banyak. Kedua, pengaturan jadwal antara konselor dengan klien.
Ketiga, konselor harus senantiasa mengupdate ilmu. Keempat, pengembangan helpline yang gratis juga membutuhkan pendanaan. Kelima, konselor dan pelaksana helpline perlu mendapatkan wellbeing retreat agar dapat menguatkan kesehatan mental dan psikososial anak di dunia digital dengan lebih baik lagi.
Melanjutkan pemaparan Diena dan Vera yang masih berkaitan, Ika perwakilan dari Yayasan PULIH turut menyampaikan bahwa saat ini tersedia modul First Click yang Save The Children dan Yayasan PULIH kembangkan.
Modul ini berisi tentang perlindungan anak di dunia digital, dan kebijakan keselamatan anak bagi lembaga terkait. Lalu manajemen kasus dalam perlindungan anak di dunia digital, pengasuhan anak di dunia digital, dan kompetensi digital bagi anak dan orang muda.
Harapannya dengan adanya modul ini, orang tua sebagai orang dewasa terdekat anak dapat lebih siap mengasuh dan menghadapi anak. Kemudian lebih memahami stres anak dan sigap untuk memberi dukungan. Selain itu, orang tua juga akan merasa lebih kompeten menyesuaikan diri dengan dunia digital yang dihadapi oleh anak.
Permainan Tradisional
Terkait modul ini, Ika juga menyampaikan praktik baik bagi anak yang mendapatkan materi modul akan lebih merasa mendapatkan dukungan dan keamanan. Selain itu keselamatan dalam berinteraksi di dunia digital karena adanya materi literasi digital dan keterampilan lainnya.
Salah satu contoh keterampilan lainnya yang dapat anak kuasai adalah tidak kecanduan pada gadget. Yakni dengan cara mengisi waktu luang dan mengalihkan waktu bermain gadget dengan permainan tradisional.
Menurut Nina selaku founder Traditional Games Returns, permainan tradisional menjadi solusi anak untuk mereduksi dampak negatif sosial yang akibat dunia digital. Alasannya, karena dengan permainan tradisional, kemampuan motorik dan fisik anak dapat berangsur-angsur optimal.
Selain itu, anak juga akan berupaya untuk membangun kembali kemampuan sosial dan emosinya secara sadar maupun tidak. Terakhir, anak akan sadar secar kognitif bahwa permainan tradisional juga tak kalah mengasyikkan dari permainan di dunia digital. []










































