Mubadalah.id – Berdasarkan Undang-undang tentang Penyandang Disabilitas no. 8 tahun 2016. Adapun yang dimaksud dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama. Terutama ketika berinteraksi dengan lingkungan, sehingga seseorang dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dalam Fakta Indonesia yang dikeluarkan oleh Indonesian Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa diperkirakan 10 persen dari penduduk Indonesia (24 juta) adalah penyandang disabilitas. Tentu saja data tersebut juga seperti fenomena gunung es, karena di Indonesia masih banyak keluarga yang tidak mendaftarkan anggota keluarganya yang disabilitas ke dalam status kewarganegaraan.
Selain itu juga karena penerimaan terhadap anggota keluarga yang disabilitas masih rendah. Lalu proses untuk mendaftarkan status kewarganegaraan yang tidak mudah, terutama bagi penyandang disabilitas.
Menjadi Disabilitas karena Keterbatasan Cara Pandang dan Akses
Dalam literatur mengenai disabilitas, ada dua cara pandang dominan yang hadir di masyarakat. Pertama adalah cara pandang medis, yaitu melihat disabilitas sebagai permasalahan medis akibat dari ‘ketidaknormalan’ fungsi sensorik, fisik, dan mental seseorang. Karena berangkat dari cara pandang medis maka seorang penyandang disabilitas perlu mendapatkan solusi dengan memperbaiki fungsi tersebut. Misalnya dengan terapi, rehabilitasi atau pengobatan.
Cara pandang ini terbantah oleh model kedua yaitu cara pandang sosial, yang berangkat dari perbedaan antara ‘keterbatasan’ (impairment) dan ‘ketidakmampuan’ disability. Dalam perspektif ini, seseorang menjadi ‘tidak mampu’ (disabled) tidaklah disebabkan oleh keterbatasan fisik, sensorik, atau mental yang ia miliki.
Akan tetapi penyebabnya lingkungan sosial yang menghalangi keterbatasan tersebut untuk bisa dioptimalkan. Ilustrasinya, seseorang tidak mampu menikmati hak penyandang disabilitas atau mobilitas bukan karena keterbatasan fisiknya. Namun karena bangunan dan tata kota yang tidak ramah terhadap pemakai kursi roda. (Jurnal Perempuan, Edisi 113).
Membongkar Cara Pandang
Paling sulit memang membongkar cara pandang masyarakat menuju cara pandang kedua. Bahwa adanya disabilitas karena cara pandang masyarakat yang membedakan akses untuk memenuhi hak penyandang disabilitas dan non-disabilitas.
Bahkan banyak masyarakat yang masih menggunakan kata normal dan tidak normal untuk merujuk pada non-disabilitas dan disabilitas. Salah satu contoh salah seorang pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat dalam Pilkada 2024 menggunakan kata normal untuk merujuk pada non-disabilitas.
Terkait dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, isu aksesibilitas ini paling banyak menjadi pembicaraan dalam jurnal-jurnal akademik. Baik akses infrastruktur maupun akses pendidikan dan akses kepada kesejahteraan.
Walaupun dalam banyak hal, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas kita sikapi dengan menempatkan disabilitas sebagai ‘sang liyan’. Hal ini terlihat dari salah satu contohnya adalah bangunan Masjid Al-Jabbar yang diklaim sebagai masjid yang sudah ramah disabilitas
Tetapi jika kita mencermati bangunannya, insfastruktur untuk disabilitas bukan berada pada pintu masuk utama masjid. Tetapi berada di samping pintu utama, sehingga seolah aksesnya berbeda dengan non-disabilitas.
Ulama Perempuan menjadi Sandaran bagi Kelompok Marginal
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mendefinisikan ulama perempuan merupakan orang-orang yang berilmu mendalam. Baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).
KUPI, setidaknya dalam dua kali kongresnya, menempatkan diri sebagai jaringan kerja kolektif yang mendorong menguatnya kelompok-kelompok terpinggirkan. Sebagaimana visinya yaitu terwujudnya peradaban yang berkeadilan hakiki bagi setiap manusia demi kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan dalam rahmat Allah SWT.
Keadilan hakiki yang dimaksud adalah memberikan hak yang sama kepada semua manusia dengan mempertimbangkan situasi khusus pada kekhasan jenis kelamin atau kelompok tertentu. Misalnya kekhasan perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan mengalami masa-masa reproduksi yang lebih kompleks seperti menstruasi, dapat hamil, melahirkan, menyusui, hingga menopouse.
Tanpa perhatian khusus pada kekhasan perempuan ini, maka ajaran agama mempunyai potensi besar menjadi legitimasi untuk justru menyalahkan perempuan korban atas ketidakadilan yang ia alami. Sehingga mengakibatkan perempuan jadi korban untuk kesekian kalinya.
Menilik Kekhasan pada Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas juga penting untuk mendapatkan perhatian khusus sesuai kekhasan. Apalagi sebagaimana kita ketahui setiap penyandang disabilitas memiliki situasi dan kebutuhan yang khas. Penyandang disabilitas fisik tentu akan sangat berbeda dengan disabilitas mental, atau disabilitas fisik dan mental. Jadi, sangat membutuhkan intervensi yang adil sesuai dengan kekhasannya.
KUPI dan isu keadilan gender sudah sangat lekat, hampir semua yang pernah mendengar KUPI akan langsung merelasikan dengan kerja-kerja kemanusiaan yang mendorong pada keadilan gender. Tetapi bagaimana kerja-kerja jaringan KUPI pada upaya menguatkan hak-hak penyandang disabilitas?
Fahmina, sebagai salah satu lembaga penyangga KUPI, melakukan penelitian siangkat untuk melihat bagaimana jaringan ulama perempuan melakukan upaya penguatan hak-hak disabilitas di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan DKI Jakarta.
Penelitian dilakukan dengan cara melakukan pendataan regulasi, jurnal, dan buku-buku mengenai isu disabilitas di 5 wilayah tersebut. Selain itu mencari ulama perempuan yang telah mulai bekerja untuk menguatkan hak penyandang disabilitas.
Asa itu Ada, Jaringan Ulama Perempuan yang Bekerja Menguatkan Hak Penyandang Disabilitas
Nyai Hj. Aniroh adalah salah satu ulama perempuan di Jawa Tengah, yang berkhidmah di Majlis Takilm Setu Pon Cilacap. Selain itu aktif juga di Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Nyai Aniroh aktif melakukan pendampingan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) bagi para penyandang disabilitas di lingkungannya.
Selain Bunyai Aniroh, Wiwin Siti Aminah juga salah satu ulama perempuan jaringan KUPI yang aktif mendorong pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui ruang khidmah perguruan tinggi di UNU Yogyakarta, yakni lembaga GEDSI UNU. Wiwin Siti Aminah melakukan riset terkait disabilitas dan memberikan rekomendasi kepada kampus untuk upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di kampus.
Wiwin juga aktif di Srikandi Lintas Iman (SRILI) sebuah lembaga non-profit di Yogyakarta yang menggerakkan tokoh lintas iman. SRILI baru-baru ini, yaitu bulan Februari, melakukan penguatan isu toleransi bagi penyandang disabilitas dari latar belakang agama yang beragam.
Tokoh ulama perempuan lain yang merupakan penyandang disabilitas juga aktif melakukan advokasi adalah Fatimah Asri Muthmainnah atau biasa kita kenal dengan panggilan Aci. Dia adalah seorang ulama perempuan yang berkhidmah di pesantren Al-Azis Lasem sebagai pengasuh dan di Pengurus pimpinan cabang Fatayat NU Lasem sebagai Ketua.
Aci aktif menyuarakan hak disabilitas dan sekarang ini menjadi komisioner di Komisi Nasional Disabilitas (KND). Yaitu lembaga negara di bawah koordinasi Kementrian Sosial yang memiliki mandat untuk implementasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Terutama untuk perlindungan dan penghormatan hak-hak penyandang disabilitas. Akan tetapi Aci belum terkoneksi secara langsung dengan KUPI.
Komitmen KUPI Melalui Kupibilitas
Beberapa jaringan KUPI sudah melakukan upaya-upaya yang mengarah pada mendorong penguatan hak penyandang disabilitas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi kerja-kerja yang mereka lakukan masih dalam tahap awal dan sementara. Artinya bukan upaya mendalam, berkelanjutan dan pelibatan kelompok penyandang disabilitas.
Sebagaimana yang Siti Rofiah lakukan, dia merupakan pengasuh pesantren Al-Falah Salatiga, alumni Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) Fahmina. Siti Rofiah menyadari pentingnya para santri berkomunikasi dengan teman tuli (disabilitas tuli), dan tidak mudahnya mendapatkan juru bahasa isyarat dengan mudah di setiap event.
Sedangkan penting sekali menciptakan ruang yang inklusif. Maka, Siti Rofiah bersama pesantren yang diampunya melakukan pelatihan bahasa isyarat dari 1 Januari sampai 26 Februari, yang dilakukan selama 6 kali pertemuan, yaitu setiap hari Sabtu. Siti Rofiah berharap kegiatan ini akan secara berlanjut dilakukan oleh pesantrennya.
Tentu saja selain itu ada Kiai Faqih Abdul Kodir yang menggagas agar Kupipedia.id menyisipkan halaman khusus Kupibilitas yang membahas tentang disabilitas. Sehingga ketika jaringan ulama perempuan, khususnya atau masyarakat Indonesia secara umum membutuhkan informasi dan pengetahuan untuk mendorong penguatan hak disabilitas dapat menggunakannya.
Terwujudnya hak penyandang disabilitas yang sama dengan kelompok masyarakat lain di Indonesia bukan hal yang mudah. Tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin. Ulama perempuan perlu melibatkan kelompok penyandang disabilitas sebagai teman kerja kolektif. Tujuannya agar kerja-kerja yang selama ini telah kita lakukan mendapatkan tambahan perspektif.
Hal-hal yang juga perlu menjadi perhatian adalah isu hak seksual dan kesehatan reproduksi, pola asuh keluarga bagi keluarga penyandang disabilitas, menjadi salah satu isu penting. Di mana ulama perempuan dapat berkontribusi dalam upaya menguatkan hak-hak penyandang disabilitas. Karena ulama perempuan adalah sandaran bagi kelompok yang terpinggirkan, salah satunya adalah penyandang disabilitas. []