Mubadalah.id – Tidak hanya pada tokoh laki-laki, Al-Qur’an juga mengisahkan noble silence pada tokoh perempuan. Shirah pada tokoh perempuan menunjukkan bagaimana Al-Qur’an memuliakan tokoh-tokoh perempuan dalam Islam.
Lebih jauh dari itu, bentuk noble silence pada tokoh perempuan muslim menjadi pengajaran terutama untuk para muslimah. Al-Qur’an memberikan pengajaran mengenai bagaimana seseorang dekat dengan Allah, bahkan Allah angkat derajatnya melalui keheningan.
Melalui keheningan, Al-Qur’an mengajarkan bagaimana seseorang bisa mendekat kepada Allah, bahkan Allah angkat derajatnya. Maka ketika kita membicarakan noble silence (dalam konsep Islam), kita sebenarnya sedang membahas bagaimana memaknai diam sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sayyidah Hajar: Noble Silence di antara Bukit Safa dan Marwa
Al-Qur’an mendokumentasikan kisah Sayyidah Hajar (Ummu Ismail) dalam Surah Ibrahim ayat ke-37. Ayat tersebut berbunyi:
لَا تَخَافُوا الضَّيْعَةَ فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ يَبْنِي هَذَا الْغُلَامُ وَأَبُوهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَهْلَهُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Dalam penjelasan tafsir tahlili, ayat tersebut menjelaskan Nabi Ibrahim AS akan kembali ke Palestina menemui istrinya Sarah, meninggalkan istrinya Hajar dan putranya Ismail yang masih kecil di Mekah. Setelah Nabi Ibrahim pergi, Siti Hajar dan Nabi Ismail mulai merasa lapar dan haus. Bekal yang ditinggalkan pun sudah habis. Karena tidak tega melihat anaknya kehausan dan kelaparan, Siti Hajar memutuskan untuk mencari air atau makanan. Beliau pun berlari menuju Bukit Shafa, tapi saat sampai di sana, beliau tidak menemukan apa-apa.
Sayyidah Hajar lalu turun menuju Bukit Marwah, tapi tetap tidak menemukan makanan atau minuman. Ia pun kembali ke Bukit Shafa, lalu ke Bukit Marwah lagi. Begitu terus hingga tujuh kali. Perjalanan bolak-balik Sayyidah Hajar antara Bukit Shafa dan Marwah ini kini menjadi bagian dari ibadah haji, yaitu sa’i.
Saat berada di Bukit Marwah, Sayyidah Hajar tiba-tiba mendengar suara. Awalnya ia mengira itu hanya suara dari pikirannya karena kelelahan. Namun suara itu terdengar lagi dan lagi. Ia pun sadar bahwa itu memang suara sungguhan. Ia segera kembali ke tempat Nabi Ismail.
Sesampainya di sana, Nabi Ismail sedang menangis dan menghentakkan kakinya ke tanah. Dari hentakan itu, tiba-tiba muncul air dari dalam tanah. Siti Hajar berkata, “berkumpullah,” yang dalam bahasa Arab disebut “zam-zam.” Ia pun minum air itu dan menyusui anaknya kembali. Setelah itu, malaikat datang dan berkata kepadanya:
لَا تَخَافُوا الضَّيْعَةَ فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ يَبْنِي هَذَا الْغُلَامُ وَأَبُوهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَهْلَهُ
Artinya:”Janganlah kamu takut diterlantarkan, karena di sini adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”
Secara implisit, shirah Sayyida Hajar yang sedang berjuang di tengah gurun pasir sebetulnya sedang melakukan noble silence. Sayyida Hajar hanya seorang diri dan bersama Ismail di tengah gurun yang sunyi, panas, dan tandus.
Dalam keheningan tersebut, Sayyida Hajar selalu mempercayakan seluruhnya kepada Allah. Dalam kisah tersebut, kita dapat belajar bahwa dalam kesulitan apapun, kita tetap dapat merefleksikan keimanan. Bahkan, melalui noble silence yang Sayyidah Hajar lakukan, Allah menolong keduanya dengan munculnya air zam-zam sesuai dengan kehendak-Nya.
Sayyidah Asiyah binti Muzahim: Noble Silence di antara Empat Tiang
Dari beberapa shirah tokoh perempuan muslim, kisah mengenai Sayyidah Asiyah binti Muzahim menjadi kisah yang paling menarik untuk kita refleksikan. Sayyidah Asiyah binti Muzahim merupakan istri dari Fir’aun, seorang Raja Mesir. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Sayyidah Asiyah yang selanjutnya akrab sebagai Ummu Musa merupakan perempuan yang menemukan bayi Musa saat diatas aliran sungai.
Dari Sayyidah Asiyah lah kemudian bayi Musa diangkat sebagai anak meskipun saat itu Fir’aun sedang gencar membunuh bayi yang terlahir sebagai laki-laki. Dalam kitab ‘Uqudul Lujjain, Syekh Nawawi al-Bantani menceritakan kisah awal keimanan Asiyah, istri Fir’aun.
Beliau mulai percaya setelah menyaksikan Nabi Musa berhasil mengalahkan para tukang sihir yang merupakan utusan Fir’aun. Saat itu, Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan menantang Nabi Musa untuk menunjukkan siapa yang benar.
Sayyidah Asiyah yang melihat langsung kejadian itu tersentuh hatinya. Beliau yakin dengan ajaran Nabi Musa karena mukjizat terlihat jelas dan kebenaran mengalahkan kebatilan. Beliau pun mantap memilih untuk beriman.
Namun, Fir’aun sangat marah atas keputusan istrinya. Beliau menghukum Asiyah dengan mengikat tangan dan kakinya di empat tiang, lalu membiarkannya di bawah terik matahari. Fir’aun dan para pengikutnya pergi, meninggalkan Asiyah sendirian di pasir yang panas.
Penderitaan Asiyah belum berakhir. Fir’aun memerintahkan pengawalnya untuk melemparkan batu besar ke tubuhnya. Dalam keadaan sangat sakit, Asiyah berdoa yang tertulis dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 11 yang berbunyi:
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ
Artinya: “Allah juga membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, yaitu istri Fir‘aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga, selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
Allah pun memperlihatkan kepadanya rumah indah dari marmer putih. Tak lama kemudian, nyawanya Allah cabut dengan tenang sebelum batu besar itu mengenainya, sehingga beliau tidak merasakan sakit.
Jika kita berefleksi melalui shirah tersebut, Allah menyelamatkan Sayyidah Asiyah saat akan dihujam oleh batu. Pada saat-saat terakhir, Sayyidah Asiyah menyempatkan untuk hening sesaat memohon bantuan kepada Allah. Pada saat itulah Allah menolong Sayyidah Asiyah. Kisah ini menjadi pengingat bahwa dalam keheningan, Allah mendengarkan kita.
Sayyidah Maryam binti Imran: Noble Silence dalam Mihrab Mulia
Kisah Sayyidah Maryam binti Imran juga menjadi kisah tokoh perempuan muslim yang Allah muliakan. Nama Maryam sendiri menjadi satu-satunya nama perempuan yang abadi dalam surah Al-Qur’an. Dalam surah Maryam ayat 16, Allah berfirman:
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ مَرْيَمَۘ اِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ اَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّاۙ
Artinya: “Ceritakanlah (Nabi Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur’an), (yaitu) ketika dia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitulmaqdis).”
Dalam tafsir tahlili, Al-Qur’an menjelaskan bahwa Maryam ibunda Nabi Isa menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat yang berada di sebelah timur Baitul Maqdis untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadat kepada Allah. Maryam ingin melepaskan diri dari rutinitas kegiatan hidup sehari-hari.
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوْلٍ حَسَنٍ وَّاَنْۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًاۖ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّاۗ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَۙ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًاۚ قَالَ يٰمَرْيَمُ اَنّٰى لَكِ هٰذَاۗ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: “Dia (Allah) menerimanya (Maryam) dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik, dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemui di mihrabnya, dia mendapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam, dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” ali
Dalam tafsir tahlili, Allah menerima Maryam sebagai nazar sebab permohonan ibunya. Allah meridainya untuk menjadi orang yang semata-mata beribadah dan barkhidmat di Baitul Maqdis walaupun Maryam masih kecil dan hanya seorang perempuan. Padahal orang yang khusus berkhidmat di Baitul Maqdis biasanya laki-laki yang akil balig dan sanggup melaksanakan pengkhidmatan. Allah juga memelihara dan mendidiknya serta mem-besarkannya dengan sebaik-baiknya.
Manakala Sayyidah Maryam sudah mulai dewasa, dia telah mulai beribadah di mihrab. Tiap kali Nabi Zakaria masuk ke dalam mihrab, ia dapati di sana makanan dan bermacam buah-buahan yang tidak ada pada waktu itu karena belum datang musimnya. Nabi Zakaria pernah menanyakan kepada beliau tentang buah-buahan itu dari mana dia peroleh padahal saat itu musim kemarau. Maka beliau menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang Allah kehendaki tanpa perhitungan.”
Sebetulnya, di dalam mihrab itulah Sayyidah Maryam menjalani noble silence. Beliau tidak banyak bicara, namun ibadah dan keyakinannya terus menguat. Begitu pula sewaktu beliau memilih berpuasa berbicara setelah melahirkan bayi Isa atas perintah Allah. Sayyidah Maryam telah melakukan Noble silence.
Refleksi Noble Silence dalam Al-Qur’an
Melalui tiga tokoh perempuan agung dalam shirah nabawiyah, Al-Qur’an menghadirkan narasi tentang Noble Silence yang sarat makna spiritual. Ketiganya menunjukkan bahwa dalam sunyi yang mereka jalani, ada dialog batin yang sangat dalam dengan Allah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa dalam diam pun, Allah bisa meninggikan derajat hamba-Nya. Noble silence menjadi jalan sunyi, namun penuh cahaya untuk mencapai keridhaan-Nya.
Wallahu a’lam bish shawab. []