Mubadalah.id – Laut bukan hanya tempat bermain dan sumber kehidupan manusia, tapi juga seperti taman besar di mana berbagai makhluk hidup bercengkerama. Sayangnya, selama bertahun-tahun, laut telah menjadi tempat pembuangan sampah manusia. Statistik menunjukkan, ada sekitar 20 juta ton sampah mencemari lautan Indonesia setiap tahun. Data ini menurut direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ahmad Aris (Tempo.co, 2025).
Tentu saja, ini bukan angka yang kecil. Bayangkan, 20 juta ton sampah yang mengotori lautan, dengan 80% diantaranya berasal dari daratan. Satu ton sampah saja jika itu ada di lingkungan sekitar rumahmu, akan membuatmu tidak nyaman, lalu kamu memilih pergi menjauh dari sampah yang baunya tidak sedap itu. Itu baru satu ton sampah. Kalau 20 juta ton sampah ada di lautan, apa jadinya?
The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mendefinisikan sampah laut atau marine debris sebagai suatu bahan padat persisten yang diproduksi atau diproses baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, terbuang atau terbiarkan mengalir ke lingkungan laut.
Sialnya, sampah laut ini tidak hanya terlihat mencolok di permukaan, seperti kantong plastik, kaleng, gelas aqua, hingga pampers, tetapi juga tersembunyi di kedalaman. Mikroplastik, yang berukuran kurang dari 5 milimeter, kini menjadi ancaman nyata bagi banyak makhluk, tidak hanya manusia. Mikroplastik ini menempel di tubuh ikan. Bahkan masuk ke dalam rantai makanan manusia. Bayangkan, setiap gigitan ikan yang kita makan bisa jadi menyimpan partikel kecil yang berbahaya.
Sampah di Lautan
Sampah plastik yang terbawa arus laut perlahan pecah menjadi mikroplastik akibat debur ombak dan sinar matahari. Mikroplastik ini kemudian menyebar ke seluruh bagian laut, dari permukaan hingga kedalaman tertentu.
Ikan-ikan kecil yang hidup di perairan tersebut akhirnya tersentuh dan menelan mikroplastik tersebut sebagai bagian dari makanannya. Sebagian besar mikroplastik ini tidak bisa kita cerna, sehingga menempel di tubuh ikan dan bergerak melintasi ekosistem laut, akhirnya sampai ke meja makan kita.
Kejadian ini bukan sekadar cerita fiksi, melainkan kenyataan pahit yang harus kita hadapi. Di Maluku, misalnya, pada tahun 2021, pernah ada sampah plastik berukuran 18 sentimeter yang ditemukan dalam usus ikan cakalang kecil yang tertangkap nelayan di Laut Banda, Maluku. Plastik berukuran kecil itu ada dalam perut ikan yang dibeli warga di Pasar Mardika, Ambon.
Peristiwa di Ambon tersebut juga sejalan dengan berbagai hasil riset yang menunjukkan banyak ikan di laut sudah membawa mikroplastik dalam sistem tubuhnya. Ini bukan cuma soal pencemaran lingkungan, tapi juga kesehatan manusia yang jadi taruhannya. Penelitian Rijal dkk (2021) mengungkapkan, sebagian besar ikan yang terkontaminasi mikroplastik hidup di perairan laut dengan jenis ikan yang paling sering diteliti adalah Sardinella sp, dan jenis mikroplastik yang paling sering mereka temukan adalah jenis fiber, fragmen, dan film.
Destructive fishing
Ikan-ikan yang terkontaminasi mikroplastik, sampah yang menumpuk di lautan, bahkan jika Anda masih ingat peristiwa tumpahnya minyak di Teluk Balikpapan pada 2018, itu hanya beberapa dari sekian banyak masalah yang ada pada ekosistem kelautan. Masalah lain adalah kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan atau destructive fishing. Kegiatan ini biasanya dilakukan tanpa izin, di daerah yang terlindungi, atau dengan cara yang tak ramah lingkungan.
Destructive fishing menjadi problem serius di berbagai wilayah perairan Indonesia. Salah satunya di Maluku Utara. Di sana, praktik seperti pengeboman ikan dan penggunaan racun merajalela, menyebabkan kerusakan parah pada terumbu karang dan habitat laut lainnya (Mongabay, 2025). Dampaknya, stok ikan semakin menipis dan keseimbangan ekosistem bawah laut terganggu.
Kondisi ini bukan hanya merugikan nelayan, tapi juga mengancam masa depan sumber daya laut yang selama ini menjadi penopang kehidupan masyarakat pesisir. Saat tangkapan berkurang, mereka jadi semakin susah mencari nafkah. Lalu, apakah ini yang kita sebut keadilan sosial? Di mana letak keadilan itu jika sumber daya alam masih sering tereksploitasi untuk kepentingan korporasi dan oligarki?
Konsep Ekonomi Biru
Dari berbagai masalah di kawasan laut, terutama karena dominasi oligarki dan praktik-praktik yang tidak berkeadilan yang mengancam ekosistem laut, muncul konsep ekonomi biru. Konsep ini hadir sebagai solusi cerdas dan berkelanjutan. Gagasan “ekonomi biru” tercetuskan pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Rio+20 tentang Pembangunan Berkelanjutan, yang terselenggara di Rio de Janeiro pada Juni 2012.
UNEP (United Nations Environment Programme) mendefinisikan ekonomi biru sebagai upaya pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Yakni untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan penghidupan, dan lapangan kerja, sambil menjaga kesehatan ekosistem laut.
Dalam bahasa sederhana, ekonomi biru bukan cuma soal menghasilkan uang dari laut, tapi juga menjaga agar laut dan ekosistemnya tetap sehat untuk generasi sekarang dan masa depan. Harapannya, tentu saja, agar anak-cucu kita kelak masih dapat menikmati kekayaan laut berupa ikan-ikan segar, misalnya. Ikan hasil tangkapan nelayan lokal, yang kemudian terjual di pasar dan dibeli oleh ibu kita. Lalu, ikan itu digoreng dan kita santap sebagai menu makan malam keluarga.
Ikan segar hasil tangkapan nelayan bukan cuma soal makanan lezat, tapi juga simbol ekonomi biru yang terimplementasi nyata. Ketika nelayan menangkap ikan secara bertanggung jawab, mereka ikut menjaga populasi ikan agar tidak punah, melindungi habitat laut seperti terumbu karang, dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Tantangan dalam Implementasi Ekonomi Biru
Sayangnya, di lapangan masih banyak perusahaan ikan yang bertindak sebaliknya. Mereka menangkap ikan secara besar-besaran dengan alat tangkap yang merusak, seperti pukat harimau. Alat ini dapat merusak habitat dan organisme lain yang penting bagi ekosistem laut. Selain itu, praktik overfishing oleh perusahaan ini menyebabkan penurunan stok ikan hingga kritis. Akibatnya, ekosistem laut jadi terganggu dan nelayan kecil yang bergantung pada laut untuk hidup mengalami kesulitan.
Selain tantangan dari sisi regulasi yang belum jelas, praktik-praktik jahat korporasi yang mengacaukan ekosistem laut. Tentu saja hal ini menjadi hambatan tersendiri dalam mewujudkan ekonomi biru yang adil dan berkelanjutan. Undang-undang yang spesifik mengatur tentang ekonomi biru memang belum ada. Sejauh ini, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menjadi dasar hukum utama untuk pengelolaan sumber daya kelautan secara berkelanjutan di Indonesia.
Implementasi ekonomi biru perlu diterapkan oleh semua pihak. Sebab ini adalah konsep pembangunan berkelanjutan yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan secara efisien, inovatif, dan ramah lingkungan.
Ada beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan untuk mengimplementasikan ekonomi biru. Pertama, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai melalui inovasi bahan ramah lingkungan dan kampanye pendidikan. Kedua, memperketat peraturan pengelolaan limbah di pesisir dan pelabuhan.
Ketiga, melakukan pemulihan ekosistem laut, seperti penanaman terumbu karang dan rehabilitasi kawasan pesisir. Keempat, mendorong industri perikanan dan pariwisata yang berbasis keberlanjutan sehingga memberi manfaat ekonomi sekaligus menjaga ekosistem laut.
Ekonomi yang Lebih Adil dan Berkelanjutan
Di beberapa daerah di Indonesia, sudah mulai tumbuh komunitas nelayan yang mengadopsi ekonomi biru. Mereka tidak hanya melaut, tapi juga terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan konservasi laut dan ekowisata. Pendapatan mereka kini tidak hanya dari ikan, tapi juga dari jasa wisata, budidaya terumbu karang, hingga produk-produk olahan laut yang menarik konsumen lebih luas.
Seperti yang pernah Kelompok Usaha Bersama Nelayan Wira Laut lakukan. Mereka menenggelamkan 210 apartemen ikan di Selat Bali. Upaya ini bukan untuk gaya-gayaan, melainkan sebagai bentuk komitmen para nelayan dalam menjaga ekosistem Selat Bali (Kompas.id, 2018).
Pada intinya, ekonomi biru bukan hanya soal menjaga laut, tapi soal membuka pintu rezeki baru yang lebih adil dan berkelanjutan. Terutama bagi nelayan tradisional dan bagi mereka yang bekerja mengais asa di kawasan pesisir. Dengan penerapan kebijakan yang berpihak kepada nelayan skala kecil, pelestarian sumber daya laut, serta inovasi teknologi. Indonesia bisa mewujudkan laut yang tidak hanya kaya akan sumber daya, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara merata. []












































