Mubadalah.id – Pada artikel sebelumnya “Menemukan Islam di Jepang bagian kedua”, penulis menceritakan tentang komitmen masyarakat Jepang pada waktu, dan kebersihan. Berlanjut di hari kedua kunjungan kami di PJepang yang ingin mencatatkan bagaimana menjadi muslim di negeri sakura itu. Penulis bersama para kepala SMK dan pengurus yayasan yang keberangkatannya diinisiasi Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu)
Kami berkesempatan mendatangi Tokyo Radiator Manufacturing (TRS). Perusahaan ini merupakan manufaktur terbesar penyokong industri otomotif. Betapa tidak, pabrik yang berdiri pada 1938 ini menyuplai suku cadang untuk banyak merek, dari Isuzu, Daihatsu, Hino, dan sejumlah brand mobil lainnya.
Pabrik TRS berdiri di atas lahan seluas 84 ribu meter persegi. Di Indonesia, anak cabang TRS bernama PT. Tokyo Radiator Selamat Sempurna yang sudah ada sejak 2012. Konon, Jepang berani mendirikan pabrik penerus berlokasi di Tangerang itu dengan modal awal Rp60 triliun.
Di TRS, ada 95 tenaga magang dari Indonesia. Mereka hidup dan bekerja di antara sebanyak 800 karyawan lain di pabrik tersebut. Pertanyaan pun kemudian timbul, bagaimanakah pihak perusahaan memfasilitasi kebutuhan ibadah tenaga kerja muslim tersebut? Paling tidak, terkait sarana prasarana dari mulai wudu, hingga tempat salat yang mereka sediakan.
Bermula dari Stigma
Jepang memang terkenal dengan warganya yang pekerja keras, disipilin, dan peduli terhadap kebersihan lingkungan. Akan tetapi, rupa-rupanya ada hal lain yang perlu kita pahami dan kita pelajari lebih lanjut. Yakni soal toleransi keberagamaan di dalamnya.
Sejumlah studi pernah menggegerkan betapa sinisme terhadap Islam tumbuh dalam diri masyarakat Jepang. Di antaranya, dalam survei yang Miura Toru lakukan, dengan judul “Persepsi Tentang Islam dan Muslim di SMA Jepang (2006),” para responden dengan enteng menyebut bahwa orang-orang muslim adalah sebuah komunitas terbelakang, aneh, intoleran, dan mengekang.
Beberapa survei lainnya malah mayoritas responden menganggap bahwa Islam adalah agama radikalis. Mereka setuju jika Jepang menutup pintu demi mengurangi segala ancaman yang mungkin saja terjadi.
Tetapi, pandangan lain terungkap dalam hasil penelitian Atsushi Yagamata, dalam judul “Persepsi Islam dan Muslim di Jepang Kontemporer (2019).” Dia menyebutkan bahwa sebagian responden yang ia mintai jawaban dalam survei-survei ada anggapan terhadap Islam tersebut tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang pas.
Menurut Yagamata, responden ternyata tidak memiliki kenalan atau kawan beragama muslim. Tidak pernah terlibat dan aktif berdiskusi tentang keislaman. Tidak sekalipun berkunjung ke masjid, dan tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial-kultural yang dasosiasi muslim selenggarakan.
Mempengaruhi Fasilitas
Masih banyaknya narasi miring tentang Islam yang berkeliaran itu barangkali turut berdampak pada penyediaan fasilitas masjid maupun tempat peribadatan muslim lainnya.
Begitu pula sebaliknya, kepentingan pembangunan rumah ibadah muslim di Jepang lebih banyak berdasarkan pada pertimbangan pemasukan negara. Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, misalnya, menyebut jumlah wisatawan Malaysia dan Indonesia yang terus naik hingga mencapai 700 ribu orang pada 2017, mendorong penyediaan ruang salat di Jepang mereka perbanyak menjadi 170 unit.
Khusus masjid, masih dari data yang sama tersebutkan bahwa pada 2014, Jepang memiliki 80 masjid. Kemudian jumlahnya melonjak menjadi 105 pada akhir 2018.
Selain tempat pariwisata, masjid disebut banyak kita temukan di daerah dengan konsentrasi pabrik manufaktur yang besar, misalnya, di sekitaran Tokyo.
Kembali ke kunjungan kami TRS, pada akhirnya kami paham ketika para pekerja muslim hanya mereka sediakan tempat salat di ruangan yang fungsi utamanya justru sebagai kamar ganti pakaian. Tidak pula tersedia tempat wudu yang layak selain toilet dan westafel. Begitu pula, tak adanya kompensasi khusus bagi pekerja muslim di saat siang di bulan Ramadan.
Alhasil, muslim di Jepang adalah pribadi-pribadi yang tangguh. Mereka mengais banyak ilmu dan kedisiplinan, sekaligus tertuntut terus survive dalam melaksanakan ibadah. Terlebih bagi mereka yang berstatus hanya sebagai perantau. []