Mubadalah.id – Penelitian tentang sejarah ulama perempuan Indonesia tak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara lama yang hanya mengekstraksi data dari komunitas tanpa memberi timbal balik.
Hal itu ditegaskan oleh Samia Kotele, MA., Ph.D., peneliti sejarah asal Lyon University, Prancis, dalam Halaqoh Nasional bertajuk “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia: Sebuah Pendekatan Dekolonial” yang digelar di Kampus Transformatif ISIF, Majasem, Kota Cirebon, Ahad (6/7/2025).
“Penelitian saya harus bersifat relasional, bukan ekstraktif,” ujar Samia, tegas. “Ia harus memberi manfaat nyata bagi komunitas yang saya teliti. Kita harus memandang masyarakat bukan sekadar objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam penciptaan pengetahuan.”
Menurut Samia, pendekatan seperti ini penting untuk meruntuhkan warisan kolonial dalam dunia riset, yang selama ratusan tahun telah memposisikan masyarakat lokal sekadar sebagai sumber data, bukan subjek yang punya otoritas atas narasi mereka sendiri.
“Saya selalu mendukung konsep kemitraan dalam riset. Karena kita juga harus mengakui suara-suara perempuan: mereka yang selama ini tidak terdengar. Bahkan sebagai bagian penting dalam perkembangan ilmu,” tuturnya.
Sejarah Konseptual dan Antropologi Kolaboratif
Dalam mengkaji sejarah ulama perempuan, Samia menggunakan dua pendekatan: sejarah konseptual dan antropologi kolaboratif. Melalui sejarah konseptual, ia menelusuri bagaimana makna istilah “ulama perempuan” terus bergerak seiring perubahan sosial.
Sementara antropologi kolaboratif, katanya, menjadi kerangka etis agar penelitian benar-benar bersifat dialogis, melibatkan komunitas sebagai pemilik wacana.
“Sejarah perempuan itu bukan hanya sejarah tokoh-tokoh, tetapi juga sejarah ide dan konsep. Saya terinspirasi karya Reinhart Koselleck tentang sejarah semantik, untuk memahami bagaimana istilah ‘ulama perempuan’ muncul sebagai respon atas situasi politik dan sosial tertentu,” papar Samia.
Menurutnya, dengan melihat pergeseran makna dari waktu ke waktu, kita dapat memahami transformasi yang diinginkan perempuan, baik dalam ranah keagamaan, politik, maupun budaya.
Menemukan Jejak di Majalah Perempuan Muslim
Penelusuran Samia membawa dia pada sumber-sumber yang tak banyak muncul. Salah satunya majalah-majalah pada dekade 1920-an hingga 1950-an yang memuat rubrik khusus bagi penulis perempuan Muslim.
“Awalnya saya mencari ulama perempuan yang sesuai kriteria klasik: harus mengajar di pesantren, punya sanad. Tapi ternyata di majalah-majalah ini saya menemukan betapa luar biasa para perempuan Muslim menulis, menyuarakan gagasan, dan mengartikulasikan posisi mereka sendiri,” kata Samia.
Baginya, inilah jejak-jejak penting yang menunjukkan perempuan Muslim di masa lalu bukan sekadar mengikuti arus zaman, tapi turut mengonseptualisasi agama dan masyarakat.
Di akhir sesi, Samia mengingatkan, menulis ulang sejarah ulama perempuan bukan hanya soal mengisi kekosongan data. Yang lebih penting adalah bagaimana prosesnya kita jalankan dengan penghormatan pada otoritas pengetahuan lokal.
“Ini soal siapa yang berhak menentukan apa itu ilmu. Kita harus membangun metode yang memihak, tidak hanya akademis. Tetapi juga etis, supaya sejarah ini betul-betul milik mereka yang selama ini suaranya diabaikan,” pungkasnya. []