• Login
  • Register
Kamis, 5 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menyembelih Babi sebagai Simbol Kerukunan Umat Islam dan Kristen di NTT

Aku melihat bahwa hubungan umat Islam-Kristen di NTT yang menjadi harmonis melalui menu masakan tidak serta-merta terjadi

Aida Nafisah Aida Nafisah
12/10/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Umat Islam dan Kristen

Umat Islam dan Kristen

995
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu terakhir, publik heboh dengan tindakan dua orang influencer yang berhubungan dengan hewan babi. Mulai dari makan kerupuk babi di restoran halal, hingga seorang influencer beragama Islam yang makan babi dengan mengucapkan bismillah.

Berita ini semakin meluas, hingga jadi perbincangan mancanegara. Babi jadi semakin eksis juga menimbulkan kontroversi. Namun, hewan satu ini ternyata bisa jadi simbol kerukunan bagi sebagian kalangan umat Islam dan Kristen di NTT.

Sebelumnya disclaimer dulu ya, tulisan ini bukan untuk membahas soal halal-haram dari babi, aku hanya ingin mencoba mencari sudut pandang lain dari hikmah penciptaan babi, tentunya sesuai pengalaman ku yang lahir sebagai orang NTT.

Islam Agama Minoritas di NTT

Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) sendiri adalah sebuah provinsi yang terletak di selatan Indonesia. Berdasarkan data BPS NTT tahun 2022. 53% masyarakat NTT beragama Kristen Katolik, 36% beragama Kristen Protestan, dan 9% beragama Islam. Lainnya terdiri dari agama Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan.

Data ini menunjukkan bahwa Islam di NTT memang menjadi agama minoritas. Meskipun begitu, seringkali aku menemukan praktik baik soal menjaga kerukunan antar umat Islam dan Kristen di sana, salah satunya mungkin ada kaitannya dengan babi.

Baca Juga:

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Waktu masih tinggal di NTT, aku sering melihat tetangga yang beragama Kristen berternak babi. Kemudian babi-babi tersebut akan ia jual atau disembelih untuk mereka konsumsi pada hari perayaan keagamaan, ritual adat, dan pertemuan komunal lainnya.

Babi dalam Setiap Ritual Perayaan Hari Besar Umat Kristen di NTT

Babi tentu mempunyai arti penting bagi umat Kristen di NTT sebagai hewan kurban, lambang identitas budaya, dan keyakinan. Oleh karena itu, daging babi biasanya akan mereka jadikan sebagai hidangan utama dalam berbagai perayaan.

Babi tidak hanya mereka gunakan dalam ritual adat, tetapi juga dalam perayaan lain seperti pembaptisan, komuni pertama, ulang tahun, wisuda, pernikahan, hari jadi imamat, dan Natal. Dalam setahun, sebuah keluarga Kristen membutuhkan beberapa ekor babi untuk keperluan acara tradisional dan non-tradisional.

Di sisi lain, babi dianggap haram dalam Islam. Namun tidak menutup kemungkinan orang yang beragama Islam di NTT akan menemui daging babi layaknya orang-orang di Jawa menemukan daging sapi. Apalagi hal yang lumrah terjadi di NTT, dalam satu keluarga terdapat dua sampai tiga agama di dalamnya.

Bahkan beberapa daerah di NTT jika dalam sebuah keluarga Islam terdapat anggota keluarga yang beragama Kristen yang sedang melakukan ritual atau perayaan yang melibatkan babi kurban, maka sudah menjadi tradisi dan kewajiban keluarga muslim untuk menyediakan babi kurban. Meskipun mereka sendiri tidak memakan daging babi. Seperti tradisi woni di Manggarai.

Kompromi Penggunaan Babi bagi Umat Muslim di NTT

Untuk mengakomodasi pembatasan makan daging babi antara umat Islam dan Kristen dalam sebuah perayaan (biasanya bergaya prasmanan), biasanya tuan hajat juga akan menyajikan hidangan non-babi. Terutama untuk tamu dan anggota keluarga yang beragama Islam.

Juru masak, alat masak, dan dapurnya pun akan mereka buat terpisah antara masakan untuk umat Islam dan Kristen. Tuan hajat yang beragama Kristen akan melibatkan tetangga, teman, atau keluarganya yang beragama  Islam untuk membantu mengolah makanan yang bisa Umat Islam (non-babi) makan. Begitupun sebaliknya.

Daging yang bisa dimakan umat Islam seperti sapi, kambing, atau ayam, akan mereka berikan dalam kondisi masih hidup. Karena umat Kristen tahu, ada ritual khusus yang akan umat Islam lakukan dalam menyembelih hewan. Maka jangan heran ya, jika teman-teman ingin berkunjung ke NTT dan melihat penjual ayam, kebanyakan mereka akan menjual ayamnya dalam kondisi masih hidup.

Saat perayaan berlangsung, kadang-kadang pembawa acara akan memasukkan pengumumannya bahwa yang menyiapkan makanan tersebut adalah teman-teman Muslim. Hal itu mereka lakukan untuk menghilangkan kekhawatiran para tamu Muslim. Yakni mengenai kontaminasi daging babi, sehingga memungkinkan mereka untuk menikmati makanan tanpa rasa bersalah.

Atau ketika tuan hajat yang beragama Kristen tidak dapat menemukan teman-teman Muslim untuk membantu menyiapkan makanan, cara alternatifnya adalah dengan membeli makanan siap saji dari restoran yang tidak menjual daging babi (umumnya dimiliki oleh seorang Muslim).

Makanan dan Nilai-nilai Penting di Dalamnya

Rasanya repot juga ya, harus menyediakan dua dapur, dua prasmanan, bahkan hewan kurban yang masih hidup lalu disembelih masing-masing umat untuk penyajian makanan?

Seorang antropolog terkemuka seperti Freud (2012) mengatakan bahwa banyak komunitas di seluruh dunia lebih menghargai hewan dan daging tertentu dibandingkan yang lain. Dalam hal ini, ternyata konsumsi makanan juga erat kaitannya dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama, moral, seni, dan bahkan politik.

Layaknya kasus dua influencer yang aku sebutkan di atas. Bagiku setiap orang mungkin punya otoritas dalam memilih makanan yang ingin ia konsumsi. Namun kita seharusnya jangan menumpulkan pemahaman tentang persepsi orang lain terhadap makanan yang ingin kita makan. Makan bisa kita lihat sebagai aktivitas biasa, namun juga merupakan peristiwa mendasar dalam lingkungan kita.

Aku melihat bahwa hubungan umat Islam-Kristen di NTT yang menjadi harmonis melalui menu masakan tidak serta-merta terjadi. Hal ini tentu karena kedua belah pihak saling menghormati pemahaman dan persepsi masing-masing umat terhadap makanan.

Yakni umat Islam menghormati pentingnya daging babi bagi umat Kristen. Lalu secara timbal balik, umat Kristen mengakui bahwa daging babi haram bagi umat Islam. Hal ini akan menjadi jalan bagi kedua belah pihak untuk berkompromi, beradaptasi, dan mengakomodasi.

Daging babi dalam jamuan menu hajatan telah memberikan pencerahan mengenai hubungan Islam-Kristen di NTT. Antar umat beragama di sana, terus melakukan negosiasi dan kompromi agar bisa hidup rukun dan berdampingan. Perbedaan ini tidak kita pandang sebagai kompetisi, melainkan kolaborasi yang terus kita hargai. []

Tags: keberagamanKerukunanPerdamaiantoleransiUmat Islam dan Kristen
Aida Nafisah

Aida Nafisah

Sedang belajar menjadi seorang ibu

Terkait Posts

Raja Ampat

Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

5 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Ibadah Kurban

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

4 Juni 2025
Mitos Israel

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ibadah Kurban

    Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Batasan Aurat Perempuan dalam Tinjauan Madzhab Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ragam Pendapat Ahli Fiqh tentang Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan
  • Dalil Batas Aurat Perempuan
  • Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID