• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menyoal Budaya Nikah Suku Sasak (2): Keharusan Memberi ‘Pisuke’ kepada Keluarga Istri

Penting ditegaskan, sebenarnya yang sangat menjengkelkan bukan tentang pemberian pisuke itu sendiri. Bukan sama sekali. Tapi tentang keberadaan pisuke yang mengusik kerukunan bahkan sampai merobohkan tujuan-tujuan besar syariat pernikahan

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
20/12/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
pisuke

pisuke

277
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di Lombok ada satu budaya nikah yang cukup mengganggu pikiran saya dan sangat menjengkelkan. Yaitu tentang keharusan memberi pisuke kepada keluarga istri. Pisuke ini dapat diartikan sebagai sebuah kompensasi yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada keluarga (dalam hal ini orang tua) dari calon istrinya. Walaupun tidak di semua daerah di Lombok menerapkannya, tapi rata-rata demikian.

Penting ditegaskan, sebenarnya yang sangat menjengkelkan bukan tentang pemberian pisuke itu sendiri. Bukan sama sekali. Tapi tentang keberadaan pisuke yang mengusik kerukunan bahkan sampai merobohkan tujuan-tujuan besar syariat pernikahan. Kalau pisuke sendiri masih ada celah pembenaran dari kitab-kitab karya ulama klasik. Kami sendiri insya Allah mampu memberikan takwil-takwil atau dalih pembenarannya.

Tapi ketika posisinya merusak maqhashid ‘udhzma pernikahan, maka tak ada celah sama sekali. Dan, ini banyak disalahpahami oleh masyarakat suku Sasak. Ketika sedikit ‘mengusik’ tradisi pisuke, saudara-saudara kita itu langsung tersinggung. Mereka menyangka tradisi itu akan dicabut sampai ke akar-akarnya. Padahal tidak begitu. Melainkan hanya memperbaiki kerusakan pada sistem–sistemnya saja.

Dalam tulisan singkat ini, saya akan bercerita sedikit tentang fakta meresahkan yang terjadi di balik tradisi pisuke ini. Beberapa tahun lalu, saya sempat berdiskusi dengan teman di Lombok yang dirundung keresahan yang sama. Tak hanya dari kalangan laki-laki, tapi juga perempuan.

Dalam kesempatan itu, mereka bercerita bahwa di beberapa daerah yang kental menjalankan tradisi ini banyak hal-hal meresahkan yang disembunyikan. Salah satunya, lantaran terlalu fanatik mempertahankan pisuke, tak sedikit perempuan yang hamil di luar nikah, keluarga pun pecah belah, dan seterusnya.

Baca Juga:

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Luna Maya Menikah, Berbahagialah!

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

Serial Drama Malaysia Bidaah, Kekerasan Seksual Berkedok Nikah Batin

Jadi ceritanya, pasca ‘pencurian’ calon mempelai perempuan oleh pihak laki-laki, mereka tinggal di rumah pria pasangannya itu bersama anggota keluarga pihak laki-laki lainnya (ibu, bapak, adik, juga kakak). Hal itu sembari menunggu kesepakan antara kedua keluarga terkait penetapan hari dan tanggal prosesi akad nikah, jumlah mahar, juga termasuk tawar-menawar harga pisuke tersebut.

Masa penantian ini bermacam-macam. Kadang satu minggu, dua minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Tergantung apakah musyawarahnya lekas membuahkan kesepakatan atau tidak. Parahnya, ketika kesepakatan tersebut tak kunjung diregup lantaran tawar-menawar pisuke yang tiada berakhir. Dan, inilah yang banyak terjadi.

Sudi atau tidak, pernikahan mereka harus ditunda sampai ada kesepakatan. Di sinilah rentan terjadi ‘kecelakaan’, seperti hamil di luar nikah, atau tingkah polah tak senonoh lainnya. Bagaimana tidak? Orang tua mengawasi mereka tidak 24 jam. Terlebih, saat masa-masa sibuk di luar. Rumah pasti kosong. Apalagi, sejalan dengan aturan adat bahwa calon mempelai, sebelum akad nikah tidak boleh keluar rumah.

Dalam hal ini, saya sangat menyayangkan ketika keberadaan pisuke mengusik bahkan sampai merobohkan tujuan besar pernikahan. Bukankah salah satu niat luhur seseorang menikah itu untuk menyempurnakan iman, menutup serapat mungkin peluang terjerumus dalam liang perzinahan?

Lalu mengapa sistem budaya yang jauh panggang dari api dalam mengejawantahkan misi-misi Tuhan diprioritaskan lebih? Mengapa kita sebagai orang tua lebih tega ‘membiarkan’ putra-putri kita sampai berbuat tak wajar hanya demi memperjuangkan pisuke? Entah terkait pembayaran yang tak boleh kurang, harus kontan dan seterusnya.

Keberadaan Pisuke di Mata Islam

Dalam penggalan Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 25 Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan kewajiban membayar mahar, yang berbunyi, Wa ‘atuhunna ‘ujurahunna bil ma’ruf, “Dan, berilah mereka (para istri) itu maskawin yang pantas”. Terkait tafsir ayat ini, ulama berselisih paham siapa sebenarnya yang diperintahkan Al-Qur’an (al-mukhatab bil ‘amri) untuk memberi maskawin kepada istri, apakah suami atau para wali nikah? Menurut ulama mayoritas, para suami lah yang menjadi sasaran perintah itu. Sedangkan, satu pendapat mengatakan, yang disasar adalah para wali, bukan suami.

Terlepas dari itu, pertanyaan selanjutnya, mengapa bisa para wali yang disuruh memberi maskawin? Siapa sebenarnya yang menikah? Jawabannya, karena di masa jahiliah para suami memberikan maskawin mereka kepada para wali, bukan istri. Itulah sebab munculnya pendapat kedua di atas.

Keluarga perempuan tak sudi maskawin diberikan kepada selain mereka. Jadi, tak ubahnya bagai menjual anaknya sendiri. Sehingga, datanglah Islam untuk menyuarakan hal tersebut. Dan ternyata, di bumi Sasak, tradisi memberi kepada keluarga istri masih dipegang erat sampai detik ini.

Dalam Hasyiah I’anah at-Thalibin ‘ala Halli al-Fadzi Fathil Mu’in (juz 3, hal. 578), syekh Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi menulis:

والمخاطب بإيتاء المهور إلى النساء الأزواج عند الأكثرين وهو الظاهر. وقيل الأولياء لأنهم كانوا في الجاهلية يأخذونها ولا يعطون النساء منها شيئا بل بقي منه بقية الآن في بعض البلاد

Artinya, “Menurut mayoritas ulama, orang yang diperintah membayar maskawin kepada istri (dalam penggalan surah an-Nisa’ ayat 25) adalah suami. Sementara pendapat lain mengatakan, yang diperintah adalah wali. Mengingat, di masa jahiliah para wali lah yang mengambil maskawin itu, dan tak ada sepeser pun yang diberikan ke istri. Bahkan tradisi ini sekarang, di beberapa daerah masih ada.”

Alhasil, baik pendapat pertama maupun kedua, tidak setuju bahwa mahar seutuhnya diberikan kepada para wali. Lalu, bagaimana dengan tradisi pisuke di Lombok? Tak bisa langsung dijawab tidak boleh. Karena ini sedikit berbeda. Kalau jahiliah dahulu seluruh maskawin untuk wali, sedangkan tradisi Sasak dibagi dua, ke istri ada, dan ke wali juga ada. Dan, ini sejarahnya panjang. Yang jelas, tujuannya adalah sebagai ungkapan maaf dan terima kasih; maaf karena telah mencuri putrinya dan terima kasih lantaran telah merestui hubungan mereka.

Namun, yang menjengkelkan, ketika pisuke ini seolah dipandang jauh lebih penting daripada tujuan besar syariat pernikahan. Terbukti, hal yang sangat diwanti-wanti agama seperti perzinahan, juga misi besar Tuhan seperti kerukunan, menjadi luluh lantak hanya karena pisuke tersebut. Alih-alih pernikahan untuk menjauh dari zina, malah semakin dekat, bahkan terjadi. Karena hal tak diinginkan itu terjadi, maka kerukunan pun terganggu. Tentu sangat keberatan putri mereka hamil di luar nikah. Tapi mereka lupa, egoisme mereka lah dalang dari semuanya.

Kalau memang tetap mempertahankan pisuke, maka sistemnya harus bagus. Di antaranya, jangan sampai memberatkan pihak laki-laki. Pihak laki-laki juga jangan memberi pisuke terlalu murah. Intinya saling mengerti. Bila tidak mampu, jangan memaksa agar dibayar tinggi.

Selain itu, harus ada batasan waktu maksimal dalam memperolah kesepakatan antara dua keluarga tersebut. Jangan terlalu lama membiarkan mereka tanpa status hanya karena menuruti egoisme, dan perubahan-perubahan sistem yang lebih elegan lainnya. Harapannya, semoga tulisan ini menjadi awal perubahan di bumi Sasak. Wallahu a’lam bisshawab. []

Tags: MaharpernikahanPisukeTradisi Nusantara
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version