Mubadalah.id – KH. Marzuki Wahid dalam tulisannya di Kupipedia.id menjelaskan bahwa wacana menyusui merupakan bagian penting dari agenda kontekstualisasi dan rekonstruksi fikih perempuan.
Karena, sejak awal, Islam sebenarnya memiliki ajaran dan aturan hukum yang jelas tentang penyusuan anak, hubungan ibu yang menyusui dengan anak yang disusui, serta akibat sosial dari persusuan.
Namun, ajaran itu jarang dikembangkan secara kritis dan mendalam, sebagaimana halnya pembahasan mengenai haid, nifas, kehamilan, atau melahirkan. Padahal, menyusui bukan sekadar kerja biologis antara ibu dan anak, tetapi juga soal relasi sosial.
Bagi sebagian masyarakat, pekerjaan menyusui dan perawatan anak adalah tugas domestik yang biasa dan kurang bernilai ekonomi. Padahal, di balik proses itu tersimpan kerja-kerja reproduktif yang menopang keberlangsungan umat manusia. Air susu ibu bukan hanya nutrisi biologis, tetapi juga simbol kasih dan keberlanjutan kehidupan manusia.
KH. Marzuki Wahid menegaskan bahwa pembicaraan tentang menyusui dalam Islam sesungguhnya adalah pembicaraan tentang al-laban—air susu yang keluar dari tubuh perempuan yang memiliki konsekuensi hukum, sosial, dan moral.
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan para ibu untuk menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh (QS. Al-Baqarah [2]: 233). Ayat ini bukan hanya menunjukkan peran ibu sebagai pemberi kehidupan, tetapi juga menegaskan tanggung jawab ayah dalam menyediakan nafkah dan dukungan moral selama masa penyusuan.
Sayangnya, dalam tafsir dan praktik sosial, makna keadilan dalam ayat tersebut kerap orang-orang kecilkan. Tanggung jawab ayah sering kali hanya sebatas pemberi nafkah material. Sementara beban menyusui dan merawat anak sepenuhnya merupakan tugas perempuan.
Budaya patriarki inilah yang membuat kerja-kerja biologis perempuan tidak mereka anggap sebagai amal sosial, melainkan tugas alamiah yang tidak berharga. []










































