Mubaadalahnews.com,- Sebagaian besar orang itu menggunakan pemahaman dan pembacaan teks-teks Alquran dan hadis sering kali digunakan untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasi perempuan. Pembacaan inilah membuat relasi perempuan dan laki-laki tidak setara atau tidak adil.
Hal itu diungkapkan Penulis Buku Qiraah Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir ketika menyampaikan materinya dihadapan 50 peserta Women Writer’s Conference bertajuk Islam dan Gender Persepektif Mubadalah yang digelar Mubadalah dan Yayasan Fahmina yang didukung oleh Pendis Kementerian Agama Republik Indonesia, Jumat, 13 Desember 2019.
“Nah kondisi itulah kenapa saya menulis buku. Ini adalah tawaran metode pembacaan teks-teks agama secara adil. Jadi mari kita besarkan dan gaungkan bersama mubadalah ini kepada masyarakat luas,” kata Kiai Faqih, panggilan akrabnya.
Ketika kawan-kawan menggunakan metode mubadalah, maka pikirkan bukan untuk mengkritik tapi untuk menawarkan pembacaan teks secara adil tanpa melihat jenis kelaminnya apa. Kawan-kawan boleh mengkritik tapi di tempat lain, bukan dengan metode mubadalah.
Paling tidak lawan bicara itu diajak untuk melakukan kebaikan dan mencegah keburukan, baik perempuan maupun laki-laki. “Jadi kalau kita tidak sepakat dan kurang nyaman pada tafsir itu, maka bisa tawarkan mubadalah,” tuturnya.
Jadi secara sederhana ketika ketemu teks Quran atau hadis yang hanya bicara perempuan atau baru bicara laki-laki saja. Cara mudahnya ialah melupakan subjek istri atau suami, tapi bisa ditafsirkan seseorang atau pasangan.
Ia mencontohkan kalau ada kata-kata istri yang tidak bersyukur atau suami yang banyak memberi nafkah. Maka tafsiran mubadalahnya ialah mengganti kata istri atau suami dengan kata seseorang atau pasangan.
“Jadi harapan saya ketika menghadapi seseorang atau teks yang tak ramah. Maka mubadalah mengajak untuk menginterpretasikan teks secara adil gender,” tegasnya.
Ia meyakini teks Quran dan hadis memiliki misi besarnya yakni rahmatan lil alamin dan makarimul akhlaq. “Satu kita beriman pada teks dengan misi besarnya, dan beriman kepada adil gender dari teks tersebut,” ucapnya.
Jadi karena itu kalau mau mengkritik teks itu bukan dengan metode mubadalah tapi dengan persepektif atau metode lain. Sebab mubadalah hanya menawarkan untuk menghadirkan sebuah interpretasi dengan tujuan kesalingan antara dua belah pihak, baik ranah publik maupun domestik.
Meminjam istilah Khaled Abou el-Fadl, kalau tidak mampu menafsirkan ulang, maka berhenti dulu. “Karena kita sedang melakukan transformasi kepada masyarakat. Teks jangan dihantam, tapi teks itu diajak agar menjadi bagian dalam transformasi sosial,” tuturnya.
Kiai Faqih pun tidak setuju pada Fetima Mernissi bahwa semua hadis itu misoginis. Menurutnya, hal itu tergantung cara pandang seseorang dalam melihat teks tersebut. Jadi mubadalah ini sebagai tawaran metode dengan teks yang diyakini masyarakat, bukan menghantamnya.
“Yang lebih simple adalah mari kita gunakan akal dan pikiran kita melihat teks itu, meletakan kita laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara,” katanya.
Perempuan Tidak Tercipta dari Tulang Rusuk Laki-laki
Teknik yang paling sederhana ialah temukan maknanya yang memungkinkan teks itu jadi sumber inspirasi. Apakah teks ini bermasalah pada perempuan tidak. Misalnya ia mencontohkan soal penciptaan perempuan.
Teks yang berkembang di masyarakat ialah perempuan tercipta dari tulang rusuknya laki-laki. Padahal di Alquran dan hadis tidak menyebutkan itu, tetapi kalau di injil, maka ada. Kalau pendekatan lain teks ini akan dikritik, tapi kalau mubadalah menawarkan tafsiran lain.
“Kalau misalnya masyarakat itu mengimani teks ini. Pertanyaanya bagaimana memahami teks secara mubadalah. Kita bisa lihat teks di Alquran bahwa manusia itu diciptakan dari tanah, air, dan pertemuan antara sperma dan ovum,” terang Kiai Faqih.
Selain itu salah satu hadis menyebutkan bawha perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Ungkapan tulang rusuk ini harus dipandang sebagai kiasan (majaz) mengenai relasi. Melihat literal hadis tentu lebih menekankan pada norma untuk berbuat baik kepada perempuan.
“Karena makna kiasan yang dimaksud tentang kondisi perempuan yang kaku, dan keukueh atau keras kepala, sehingga perlu cara jitu dalam berelasi dan berkomunikasi dengannya,” tegasnya.
Nah jika ditafsiri secara mubadalah. Maka karakter kaku dan keras kepala ini juga berlaku pada suami, dalam relasi apa pun. Baik istri, ayah, ibu, rekan kerja, dan relasi-relasi lainnya.
“Jika laki-laki ataupun perempuan memiliki karakter demikian. maka salah satunya harus tenang, bersabar dan berkomunikasi-lah di saat yang tepat. Sehingga tidak terjadi percecokan, perselisihan atau pertengkaran satu sama lainnya,” jelasnya.
Itulah contoh sederhana dalam menafsirkan ayat-ayat Quran dan hadis. Kiai Faqih pun mengajak kepada para peserta Women Writer’s Conference (WCC) untuk mencari teks-teks yang dianggap bermasalah, karena merugikan perempuan.
“Saya harap kedepan metode mubadalah ini bisa digunakan oleh kawan-kawan untuk penulisan artikel, jurnal, penelitian, buku atau lainnya,” tutupnya. (WIN)