Jika saya ditanya istimewanya menjadi muslim Indonesia itu apa? Saya agak kebingungan dan paling mentok akan saya jawab ketika bulan puasa banyak makanan enak, ada begitu banyak tradisi selama bulan ramdhan, waktu puasa yang terbilang sebentar bila dibanding dengan negara di benua lain, gampang saja menemukan makanan halal, dan banyak bangunan masjid jadi mudah untuk sholat.
Setelah menonton Muharram For Peace: Istimewanya Menjadi Muslim di channel Youtube Mubadalah.id saya mendapatkan hal, pengetahuan baru ihwal apa sih istimewanya menjadi Muslim Indonesia selain puasa yang singkat dan mudahnya menjalankan ibadah?
Acara ini dimoderatori oleh Cak Imam Malik (Mahasiswa PhD Western Sydney-Australia) dengan dua narasumber yaitu DR (HC). KH. Husein Muhammad ( Ketua Umum Yayasan Fahmina / Pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Fikr, Cirebon) dan DR. Siti Ruhaini Dzuhatin, Ma (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden / Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah 2000-2005).
Diskusi Muharram for Peace ini dimulai dengan pandangan atau kesan orang luar yang terkejut dan heran terhadap muslim di Indonesia. Misalnya mereka heran dengan status pengajar yang disandang oleh Bu Ruhaini. Maksudnya kenapa bisa seorang perempuan, muslim, dapat mengajar dan begitu bebas memilih profesi yang dikehendaki. Keheranan itu bagi Bu Ruhaini ialah bentuk kewajaran, karena di negara-negara Islam lain sangat jarang atau bahkan tidak ditemukan perempuan muslim seperti di Indonesia.
Menjadi muslim di Indonesia memiliki banyak privilage yang memberikan keuntungan Indonesia di kancah Internasional. Bu Ruhaini menceritakan bagaimana ia bisa terpilih menjadi Ketua Komisi HAM di Organisasi Kerja sama Islam (OKI) karena salah satunya ia adalah seorang perempuan dam muslim dari Indonesia.
Identitas sebagai muslim Indonesia memberikan posisi yang menguntungkan sekaligus memberikan sebuah diktum, bahwa negara ini menjadi salah satu acuan masyarakat dunia dalam berislam; Indonesia yang moderat, yang mana ditopang dua organisasi besar yaitu NU dan Muhammadiyah.
Menurut Bu Ruhaini hal tersebut dapat dijadikan sebagai modalitas untuk menyebarkan nilai-nilai yang menjadi ciri Muslim Indonesia. Modalitas itu disebutnya dengan Washatiyahtul Islam Indonesia yang artinya Islam Nusantara, berkemajuan dan berkebangsaan.
Mengutip gagasan Al-Qardawi, Wasathiyyah adalah sikap atau sifat moderat, adil antara dua pihak yang berhadapan atau yang saling bertentangan, sehingga salah satu dari mereka berpengaruh dan memengaruhi pihak lain dan tidak ada pihak yang mengambil alih haknya yang lebih banyak dan mengintimidasi pihak lain.
Wasathiyyah akan menjadi penetral dari dua sikap titik ekstrim seperti antara nilai kemanusian dan nilai rabanniyah, antara ruh dan materi, antara individu dan soial. Moderasi seperti itulah yang membentuk Islam Indonesia hingga kini (Jurnal Penelitian Islam, Implementasi Konsep Islam Wasathiyyah, Ahmad munir dan Agus Romdlon Saputra).
Ada yang menarik dari Muslim Indonesia yaitu kuatnya nilai-nilai kultural dan tradisional yang dipegang dalam ajaran agama misalnya dalam kultur Nahdatul Ulama (NU). Ia mengklaim dirinya sebagai tradisionalis muslim. Hal ini menjadi menarik karena, bagi para sosiolog barat modernitas dimulai ketika suatu kelompok dapat menanggalkan identitas tradisionalnya.
Orang-orang barat ‘modern’ percaya bahwa sesuatu yang bersifat tradiosinal adalah kolot dan menghambat kemajuan, namun nyatanya itu tidak terbukti pada NU. Ia bahkan melampaui gagasan-imajinasi orang barat ‘modern’ dalam pemikiran dan pergerakan. Kiai Husein berpendapat bahwa progresifitas itu karena di pesantren diajarkan tiga hal yaitu Fiqh Sufisme, Islam Fiqh Sufistik, dan Islam Sufisme.
Mengutip pendapat Gus Dur bahwa Fiqh sufisme menekankan pada pendekatan esensialistik dan mengapresisiasi keberagaman kultural sementara, Islam sufisme menenkankan pada aspek legal formal. Beragamnya model fiqih menjadi suatu hal yang penting dan sangat berperan dalam pola berpikir para santri. Sehingga para santri tidak akan mudah terjebak dalam satu dogma fiqh tunggal, tidak terjebak pada bentuk formalisme serta mengutamakan substansi.
Tidak jauh berbeda dengan Kiai Husein dalam memandang suatu hukum-perkara. Bu Ruhaini menjelaskannya dengan pengalamannya dalam satu pertemuan HAM di OKI. Ia mengejutkan para peserta pertemuan dengan mengatakan bahwa poligami bukanlah ajaran Islam. Ia menjawab dengan mendasarkan pada substansi bukan formalisasi semata. Karena poligami sudah ada sejak lama, yang menjadi ajaran islam adalah bagaimana memanusiakan praktik dalam Islam; menjadikan poin ini sangat penting dalam memahami sebuah masalah dengan pendekatan hak-hak asasi manusia.
Lebih lanjut, muslim Indonesia menjadi Istimewa karena ia melalui suatu proses yang membuat diversity Indonesia kini utuh dan matang. Bu Ruhaini menyebutnya sebagai proses transformasi dari ethnoreligious centrism menjadi nation state, di mana Oktober 1928 adalah tonggaknya. Organsiasi keagamaan mengambil andil penting dalam proses kebangkitan Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Persis, Organisasi Kristen, Organisasi Katolik, Organisasi Hindu dan sebagainya.
Organisasi keagamaan yang merasionalisasi dari etnosentris menjadi nation state hanya terjadi di Islam Indonesia, yang tidak terjadi di negara-negara Islam lain. Ia mengatakan bahwa peran NU dan Muhammadiyah penting karena dapat mentransformasi dan memfilter nilai-nilai etnosntrisme menjadi tatanan etik, public value yang itu jadi basis ke-nasional-an dengan menyeimbangkan peran negara dan agama. Menjaga moderasi Indonesia dari bahaya residu etnoreligius yang masih kita miliki dalam konsep kesukuan Indonesia.
Demikianlah penjabaran bagaimana istimewannya menjadi muslim Indonesia pada kegiatan Muharram for Peace. Dua narasumber sepakat untuk tetap melesatarikan wasathiyyatul Islam. Memperteguh nilai-nilai keislaman tanpa mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Sekali lagi, Kiai Husein berpesan pada kita untuk sebisa mungkin kritis dan hati-hati dalam menilai hukum sebuah perkara, senantiasa menjaga perdamaian dan tidak takut akan perbedaan. Keberagaman adalah kekuatan bagi muslim Indonesia. []