Mubadalah.id – Dalam launching buku “Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah” karya KH. Faqihuddin Abdul Kodir yang digelar secara virtual atas kerjasama tim mubadalah.id dan afkaruna.id, ada satu kalimat yang terus terngiang-ngiang dari salah satu pembicara yang memberikan sambutan apresiasi atas buku ini, yaitu Ibu Lies Marcoes. Ia hadir sebagai salah satu tokoh senior yang terus konsisten membela hak dan kesetaraan perempuan di Indonesia sudah sangat dikenal oleh khalayak ramai, terkhusus bagi para aktivis maupun penikmat dari pikiran-pikiran beliau.
Saya pribadi begitu tersentuh dengan kata sambutan yang dibawakan oleh beliau. Lies Marcoes mengawali sambutannya dengan mengajak jama’ah zoomiyah untuk sejenak mengingat satu lagu populer yang setiap kali ramadan menjadi salah satu lagu yang banyak didengar yaitu lagu berjudul “Rindu Rasul” karya Bimbo. Dengan syahdu Lies Marcoes melantunkan lagu tersebut “Cinta ikhlasmu pada manusia, bagaikan cahaya suarga.. Dapatkah kami membalas cintamu, secara bersahaja.”
Lagu ini mengingatkan kita bahwa betapa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang begitu mencintai seluruh ciptaan Allah terkhusus manusia yang di dalamnya, tidak hanya menunjuk kepada manusia laki-laki, tetapi juga kepada manusia perempuan. Bahwa sangat tidak tepat ketika hadis-hadis yang berkembang dan semakin populer akhir-akhir ini begitu terang mencitrakan Nabi seolah-olah sebagai sosok yang memarginalkan kaum perempuan.
Tentunya sebagai salah satu manusia yang mengimani kenabian Muhammad SAW, terlebih khusus sifat kasih sayang beliau yang diperjelas dengan tujuan pengutusan beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam, tentunya menegaskan bahwa sangat tidak mungkin sosok seperti Nabi Muhammad SAW memiliki niatan untuk memarginalisasi kaum perempuan yang telah ia bela mati-matian.
Hal ini dapat dibuktikan dengan riwayat-riwayat yang menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad SAW hadir sebagai sosok yang menentang keras terjadinya penguburan hidup-hidup bagi setiap bayi perempuan yang dilahirkan di Makkah ketika itu. Contoh besar ketika ia kemudian ditakdirkan oleh Allah Swt untuk memiliki anak yang kebanyakan adalah perempuan.
Bisa dibayangkan bagaimana beliau menentang budaya jahiliyah itu dengan mencontohkan ataupun mempraktikkan langsung hal sebaliknya di mana ia begitu menyayangi putri-putrinya dan memenuhi hak dan tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk membesarkan mereka dengan baik sebagaimana orang tua – orang tua di masa itu, yang membesarkan putra-putranya dengan baik.
Hal yang tidak kalah menarik, yaitu ketika turun ayat tentang pembatasan kepemilikan maupun objektifikasi perempuan yang bisa diperistri sekian banyak (dikoleksi) layaknya sebuah benda. Sehingga dengan adanya ayat tersebut, maka Nabi Muhammad SAW, kemudian mendakwahkan ayat ini sebagai bentuk pembatasan terhadap kepemilikan istri sekaligus menegaskan derajat perempuan sebagai manusia yang setara layaknya laki-laki. Di mana, ketika itu seorang lelaki diperbolehkan memperistri lebih dari 5 bahkan sampai puluhan juga ratusan istri.
Melalui ayat ini, kebiasaan beristri banyak itu akhirnya dibatasi bahkan secara tidak langsung melarang atau menentang praktik tersebut dengan membatasi hanya sampai 4 orang istri saja bagi seorang suami, tentu dengan berbagai persyaratan yang bisa dibilang sangat tidak mudah untuk dilakukan bahkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
Persyaratan itu antara lain: seorang perempuan yang diperistri adalah seorang yatim piatu, janda-janda tua yang papa, yang sudah tidak mampu menghidupi dirinya karena usia renta atau tidak memiliki keluarga sebagai pelindungnya sehingga rawan untuk menjadi korban kekerasan. Dan satu syarat yang semakin memberatkan seorang laki-laki muslim untuk berpoligami, yaitu harus berlaku adil terhadap semua perempuan yang diperistrinya.
Dan dilanjutkan di ayat yang lain bahwa sekali-kali manusia tidak akan mampu berbuat adil sekalipun ia sangat menginginkannya. Hal ini ditegaskan bukan oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan oleh Allah Swt sendiri dalam firman-Nya. Kemudian dipertegas kembali oleh Nabi Muhammad SAW ketika ia mengatakan kepada Aisyah bahwa hatinya tetaplah milik Khadijah seorang. Bahkan ketika Khadijah telah wafat. Karena sungguh kecondongan hati memang hanya kepada satu orang saja. Sedang kepada yang lainnya Nabi berusaha untuk terus berlaku adil kepada mereka.
Berangkat dari berbagai fakta sejarah ini yang pada akhirnya membuat saya menyadari betapa tidak mungkinnya sosok mulia yang penuh kasih kepada semua manusia sanggup untuk melontarkan hadis-hadis yang memang bertujuan untuk memarginalkan kaum perempuan. Saya percaya bahwa dalam hadis-hadis yang terkesan pada teksnya (parsial) seolah meminggirkan kaum perempuan, tetapi ketika didekati dari segi konteks dan pendekatan historis dari hadis tersebut maka bisa dilihat secara menyeluruh (universal), bahwa Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak bermaksud, dan tidak memiliki niatan sedikitpun untuk merendahkan kaum perempuan melalui larangan-larangan maupun pernyataan-pernyataan yang terkesan misoginis.
Boleh jadi pendekatan kita terhadap hadis-hadis Nabi lah yang cenderung parsial yang akhirnya banyak dari sabda Nabi yang disalah pahami, terlebih ketika yang meneliti hadis tersebut memang memiliki kecenderungan yang misoginis dan patriarkis. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa banyak dari ulama yang memang hidup di zaman yang sangat patriarkal sehingga hal tersebut mempengaruhi cara pandangnya terhadap satu persoalan, yang kemudian dengan perspektif itu ia mendekati hadis-hadis Nabi, yang akhirnya ditafsirkan sesuai dengan latar belakang dan pengaruh keadaan sosial yang melatarbelakanginya.
Kembali kepada bait lagu yang sempat disinggung di atas. Saya kemudian berandai-andai dengan lagu tersebut. Bagaimana jika Nabi Muhammad SAW melihat realita perempuan hari ini, apakah beliau akan tersenyum bahagia atau malah menangis pilu menyaksikan banyak di antara perempuan yang menjadi korban dari kekeliruan pemahaman sebagian manusia terhadap apa yang ia sabdakan.
Banyak di antara perempuan yang kemudian harus mengubur dalam-dalam mimpinya sebagai seorang dokterkah, gurukah, pemimpin perusahaankah, atau berbagai jenis pekerjaan yang membutuhkan dirinya berada di depan publik. Dan itu semua disebabkan hanya karena satu hadis yang disalah pahami bahwa dari ujung rambut sampai ujung kaki perempuan itu adalah fitnah (godaan), sehingga ia harus di tempatkan di dalam rumah. Bahkan di satu tempat yang paling rahasia dari rumah tersebut, saking tidak diperbolehkannya perempuan berada di ruang publik yang ditakutkan akan melemahkan iman laki-laki yang melihatnya. Apakah kita salah satu perempuan itu? []