Mubadalah.id – Apabila persoalan kesehatan perempuan demikian penting, maka apakah suami berkewajiban memberikan nafkah (biaya) sebagai jaminan atas kesehatan istrinya.
Sejauh ini para ulama fiqh berpendapat bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah bagi istrinya hanya dibatasi pada tiga bidang saja. Yaitu pangan, sandang dan papan. Ketiga jenis nafkah ini jelas merupakan kebutuhan pokok. Pandangan ini didasarkan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya :
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah, 2: 233).
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”. (QS. at-Thalaq, 65: 6).
Ayat-ayat ini juga ditegaskan kembali oleh Nabi Saw. Beliau mengatakan : “Perhatikanlah (hai para suami). Hak-hak mereka (para istri) atas kamu adalah memberikan kepada mereka pakaian dan makanan secara ma’ruf.” (HR. at-Turmudzi)
Baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw tidak disebutkan secara eksplisit mengenai hak-hak para istri untuk nafkah obat-obatan atau nafkah untuk menjamin kesehatan istrinya.
Pandangan Ulama Madzhab
Oleh karena itu, para ulama madzhab empat sepakat bahwa suami tidak berkewajiban memberikan nafkah untuk sarana kesehatan istrinya, baik berupa biaya berobat ke dokter, atau uang untuk membeli obat-obatan dan sebagainya.
Menurut mereka, ongkos atau biaya untuk keperluan tersebut menjadi tanggungannya sendiri, baik dari uangnya sendiri maupun dari orang tuanya (keluarganya). Karena, kata mereka, pengobatan-pengobatan tersebut mereka perlukan untuk menjaga asal tubuhnya.
Oleh karena itu, maka biaya tersebut tidak boleh kita bebankan kepada pengguna manfaat atas tubuh itu. Persoalan ini dapat kita analogkan dengan membangun atau memperbaiki sebuah rumah kontrakan (sewa).
Perbaikan-perbaikan atas rumah kontrakan tersebut menjadi tanggungan pemilik rumah dan bukan kewajiban yang mengontrak (penyewa). Sedangkan untuk obat-obatan, mereka menganalogkannya dengan makanan cuci mulut. Makan jenis ini tidak harus ada atau ia sediakan.
Tampak jelas sudah bahwa dalam pandangan ulama fiqh madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, bahwa obat-obatan tidaklah dianggap sebagai kebutuhan pokok.
Hal ini, karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak memerlukan pengobatan seperti keadaaan sekarang ini. Mereka pada umumnya hidup dalam keadaan sehat. Akan tetapi, dewasa ini, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. []