Mubadalah.id – Betlehem merupakan sebuah kota di bagian barat Palestina (West Bank). Kota Betlehem menjadi bagian penting dalam setiap perayaan Natal. Sebab di kota suci itulah Yesus Kristus diyakini telah lahir ke dunia oleh umat Kristiani. Oleh karena itu tidak heran jika setiap tahun Kota Betlehem menjadi pusat perayaan dan menjadi destinasi peziarah dari seluruh dunia.
Betlehem dan Natal yang Sunyi
Perayaan Natal di kota itu biasanya sangat meriah. Jalan-jalan di kota tersebut akan dihiasi dengan lampu-lampu dan ornament khas natal. Juga terdapat pohon natal raksasa di Manager Square. Selain itu juga akan diadakan parade dan berbagai ritual keagamaan untuk menyambut hari Istimewa tersebut.
Namun Natal di Betlehem tahun ini sangatlah berbeda. Ia tampak sunyi dan suram. Tidak ada pohon natal, tidak ada dekorasi, kembang api, apalagi parade yang meriah. Mereka hanya menyanyikan lagu-lagu pujian sambil membawa lilin dan memanjatkan doa-doa untuk kedamaian di Gaza. Pihak gereja juga menempatkan patung-patung tradisional yang mewakili keluarga suci di tengah puing-puing dan kawat berduri.
Gereja Lutheran bahkan memutuskan untuk membuat dekorasi Natal kali ini akan menunjukan realitas keadaan di Gaza. Dalam sebuah tangkapan foto oleh al-Jazera, tampak sebuah patung bayi Yesus yang ditempatkan di atas reruntuhan puing dengan ditutupi oleh kafiyeh khas Palestina.
“Jika Kristus lahir hari ini, dia akan lahir di bawah reruntuhan dan penembakan Israel.” Tutur seorang Pastur Gereja Lutheran, Munther Isaac.
Bentuk Solidaritas
Berbagai aksi tersebut merupakan bentuk solidaritas masyarakat di Betlehem terhadap saudara setanah air mereka yang ada di Gaza. Apa yang Gereja Lutheran lakukan merupakan representasi menyedihkan dari penderitaan anak-anak Gaza yang terkubur di bawah puing-puing rumah mereka akibat pengeboman Israel yang tak kunjung berhenti.
Tidak hanya Betlehem berbagai Pemimpin Gereja di seluruh wilayah West Bank dan negara-negara sekitar juga ikut membatalkan perayaaan Natal tahun ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap warga Palestina di Gaza serta kecaman atas kebiadaban militer Israel.
Pemimpin Gereja di Yerusalem telah mengajak umat kristiani di Tanah Suci untuk menahan diri dari kegiatan Natal yang berlebihan. Seruan tersebut juga datang dari Gereja-Gereja Katholik di Galilea dan Dewan Gereja Injili Lokal di Tanah Suci.
Pada 2 Desember 2023 Dewan Pemimpin Gereja di Yordania juga mengumumkan pembatalan Natal sebagai bentuk penghormatan terhadap para Korban. Hal yang sama juga dilakukan para pimpinan Gereja dari Suriah. Gereja Katolik Suriyah bersama Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Ortodoks Suriyah, dan Patriark Gereja Katolik Yunani Melkit, mengumumkan pembatalan perayaan Natal dan hanya membatasi pada upacara keagamaan.
Gereja-gereja yang Dihancurkan
Seperti yang kita ketahui, bahwa militer Israel tidak hanya menyerang pemukiman sipil dan bangunan-bangunan vital seperti rumah sakit, sekolah dan tempat industri. Mereka bahkan menyerang rumah-rumah ibadah serta situs-situs bersejarah. Sebagai daerah yang memiliki akar historis dari tiga agama (Islam, Kristen, Yahudi), Palestina memiliki berbagai peninggalan sejarah yang sangat penting.
Kementerian Kebudayaan Palestina melaporkan bahwa sejak agresi pada 7 Oktober 2023 lalu, militer Israel telah menghancurkan belasan situs arkeologi dan rumah-rumah kuno. Delapan museum termasuk museum Rafah, Museum Al-Qarara, dan Museum Khan Yunis telah menjadi sasaran serangan, bersamaan dengan kota-kota tua Gaza yang hancur.
Sementara itu, menurut Kementerian Dalam Negeri Palestina, tercatat sudah 7 gereja dan puluhan masjid telah mengalami kerusakan akibat serangan. Salah satunya adalah Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrus yang merupakan gereja tertua di Jalur Gaza.
Gereja tersebut mendapat serangan militer Israel pada 19 Oktober lalu. Yang mana, gereja tersebut telah menjadi tempat pengungsian sementara bagi warga setempat sejak agresi militer Israel di Jalur Gaza, akibatnya belasan orang tewas dan puluhan lainya terluka.
Selain Gereja Saint Porphyrus, ada juga Gereja Bizantium yang juga mengalami kehancuran total. Gereja tersebut dibangun pada zaman Bizantium dan terletak di Kota Jabalia, sebelah utara Jalur Gaza. Berusia sekitar 1600 tahun dan berasal dari tahun 444 Masehi. Gereja tersebut merupakan situs arkeologi terpenting di Jalur Gaza dan salah satu landmark paling menonjol di Levant secara umum. Di dalamnya terdapat 16 naskah pendirian dalam bahas Yunani kuno.
Sedangkan untuk kerusakan terhadap masjid, jumlahnya tentu lebih banyak mengingat populasi masyarakat muslim yang mejadi mayoritas di Palestina. Salah satu masjid yang sempat menjadi sorotan adalah Masjid Oemar bin Qashar yang dibangun pada tahun 620 H (1220 M). Masjid tersebut merupakan masjid tertua sekaligus situs arkeologi yang sangat penting bagi masyarakat setempat.
Bukan Konflik Agama
Memandang Palestina sebagai negara di Timur Tengah dengan mayoritas penduduk muslim, beserta histori konfliknya dengan Israel yang notabene keturunan Yahudi, sebagian orang akan mengatakan bahwa pembantaian di Gaza merupakan buah dari konflik Islam-Yahudi. Mereka melupakan umat Kristen Palestina yang juga terdampak serangan. Mereka juga melupakan bagaimana solidaritas umat beragama Palestina yang telah terbangun kuat.
Seandainya saja mau menilik sejarah Palestina lebih jauh, kita akan mendapati bahwa Palestina telah menjadi rumah dari tiga agama di mana mereka hidup damai di dalamya. Sayangnya, kolonialisme Barat dan Zionisme Yahudi mulai mengusik kerukunan tersebut.
Mereka berusaha mendirikan negara Israel dengan melakukan pendudukan terhadap tanah Palestina. Lebih buruk dari itu, Ideologi zionis yang sangat eksklusif dan dibalut berbagai kepentingan politik telah mencederai nilai-nilai kemanusian terhadap warga Palestina.
Membuka Mata Dunia
Blockade jalur Gaza selama puluhan tahun telah membawa kesengsaraan yang luar biasa terhadap warga Palestina. Bahkan sebelum serangan 7 Oktober oleh pejuang Palestina yang mereka sebut sebagai teroris, Warga Palestina telah mengalami pendudukan selama 75 tahun. Dunia seakan alpha dari fakta pendudukan zionis dan terdikte dengan narasi teroris.
Namun saat ini mata dunia mulai terbuka. Melalui kamera para journalist yang senantiasa mempertaruhkan nyawanya di Jalur Gaza, kita dapat melihat bagaimana tentara zionis telah menghancurkan kota Gaza dengan serangan udara secara massif.
Mereka tidak lagi memperdulikan nasib warga sipil yang menjadi martir, kehilangan rumah dan kelaparan. Zionis bahkan telah mengabaikan seluruh hukum humaniter dengan menyerang rumah ibadah, situs sejarah, fasilitas Kesehatan, tim medis bahkan para jurnalis. Tidak hanya itu, kamp pengungsian yang menjadi tempat berlindung warga sipil juga tak luput dari serangan.
Selain melakukan pembunuhan secara langsung melalui serangan udara, pendudukan zionis juga turut membunuh warga sipil secara perlahan. Mereka mengalirkan air yang tercemar, memutus aliran listrik dan internet, menghancurkan satu-satunya pabrik roti, bahkan menghambat bantuan kemanusiaan yang akan masuk.
Melihat berbagai fakta tersebut dan mengingat Jumlah korban jiwa yang kini telah menyentuh angka 20.000 hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, kiranya akan lebih tepat untuk kita menyebutnya sebagai Genosida, alih-alih menyebutnya konflik agama. []