Mubadalah.id – Bagi sebagian orang, kata “feminis” atau “feminisme” adalah sesuatu yang seolah berbahaya, harus dihindari atau harus ditolak. Terlihat dari bagaimana orang-orang mendefinisikan feminis dan feminisme, serta stigma yang menyertainya. Sebagian lagi, memahami feminisme sama seperti memahami paradigma ilmu lainnya atau menjadi feminis dalam skala keluarga, desa, hingga global.
Sebenarnya, apa sih feminisme itu? Mengapa feminisme lahir? Apa benar feminis itu pembenci laki-laki dan merupakan lesbian? Ada yang mengatakan bahwa lawan feminisme adalah maskulinesme, benarkah?
Pengertian Feminisme
Dalam buku “Membicarakan Feminisme”, Nadya Karima Melati mendefinisikan feminisme sebagai sebuah paradigma dan sebuah pemahaman yang komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk pemikiran, gerakan dan juga kebijakan.
Dalam perkuliahan Sensitivitas Gender yang diampu oleh Mbak Shelly Adelina, saya memahami feminisme sebagai suatu gerakan yang memperjuangkan perbaikan atas nasib perempuan dengan melibatkan dan mengedepankan pengalaman dan pemikiran perempuan itu sendiri ke dalam kajian ilmiah (teori) untuk menghasilkan suatu tindakan (praktis).
Namun, setiap ahli, feminis ataupun para ilmuwan memiliki pengertian yang berbeda-beda tentang feminisme. Pengertian dan konsep feminisme menurut Simone de Beauvoir, Nawal El Saadawi, Kate Millet, Sulamith Firestone, dan feminis lainnya beragam sesuai apa yang mereka perjuangkan. Feminis tidak selalu perempuan, tapi laki-laki yang memiliki perspektif perempuan dan gender pun termasuk feminis.
Mengapa Feminisme Lahir?
Sebagian orang memberikan label dan pengertian pada feminisme sesuka hati mereka tanpa tahu bagaimana sejarah feminisme. Mungkin benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.
Feminisme barawal pada akhir abad ke-19, lahirlah gerakan kaum “suffrage” di berbagai Negara Barat yang menginginkan kemajuan pada kondisi kehidupan perempuan terkait status dan perannya dalam masyarakat. Suffrage atau Suffragette adalah anggota organisasi perempuan yang memperjuangkan kesetaraan hak pilih bagi perempuan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mereka melakukan aksi damai karena tidak dilibatkan dalam anggota dewan dan menuntut hak politik. Karena aksi tersebut, perempuan bisa berpartisipasi dalam pemilu.
Feminisme adalah proses yang begitu panjang yang lahir dari berbagai rasa sakit, keterpurukan dan ketidakadilan yang terjadi dalam ruang publik dan domestik, terutama bagi perempuan. Sistem, tatanan, budaya dan keyakinan masyarakat menempatkan perempuan sejak dulu sebagai the second sex (jenis kelamin kedua), yang terus menerus berada di bawah laki-laki. Ada pemahaman bahwa perempuan adalah pembawa dosa warisan dari Hawa, kodratnya 3M (macak, masak, manak), dianggap inferior, kurang nalarnya dan tidak dapat memimpin karena menstruasi.
Stigma Pada Feminisme
Saya pernah mendapatkan julukan “feminazi” karena tulisan dan komentar saya tentang perempuan dalam ruang digital. Menurut Wikipedia, istilah feminazi adalah sindiran pada mereka yang menganut ideologi feminisme secara radikal. Namun bagi orang yang bisa dikatakan anti atau buta pada feminisme, setiap orang yang menyuarakan kesetaraan pada perempuan disebut sebagai feminazi.
Selain itu, ada stigma bahwa feminisme itu adalah kelompok perempuan pembenci laki-laki sehingga berkembang pula penilaian bahwa para feminis itu kebanyakan lesbian. Musuh feminisme bukanlah laki-laki, namun patriarki. Patriarki menurut Kamla Bhasin dalam buku “Menggugat Patriarki” adalah sistem dalam masyarakat di mana laki-laki berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak. Sistem ini menempatkan perempuan dan laki-laki secara hierarkis dengan posisi laki-laki yang dominan dan perempuan yang subordinat.
Meski musuh feminisme adalah patriarki, bukan berarti perempuan memusuhi laki-laki. Feminisme memusuhi sistem yang menempatkan perempuan pada ketidakadilan dan kesengsaraan akibat pembagian peran, kesempatan dan sumber daya yang berbeda karena jenis kelamin. Ada pernyataan “Men Of Quality Don’t Fear Equality”, yang menjelaskan hubungan perempuan dan laki-laki dalam feminisme. Karena sistem patriarki yang mendikotomi gender, merugikan tidak hanya bagi perempuan namun juga laki-laki.
Kadang orang salah kaprah memahami feminisme, sehingga ketika ada feminis yang menikah dengan laki-laki, mereka mungkin akan berhadapan dengan sindirian “katanya feminis, kok nikah sama laki?”. Sebagian orang juga masih mengira bahwa feminis itu adalah perempuan yang tidak mau menikah. Tidak. Ada banyak aliran feminisme, ada banyak hal yang diperjuangkan oleh feminis, dan feminis atau feminisme tidak hanya memiliki satu makna.
Ada yang mengatakan bahwa lawan dari feminin adalah maskulin, sehingga lawan dari feminisme adalah maskulinisme. Padahal, setiap orang memiliki sifat maskulin sekaligus feminin dan itu normal. Namun gender tradisional menempatkan perempuan dengan sifat dan peran feminin, serta laki-laki dengan sifat dan peran maskulin, sehingga ada dikotomi dalam karakteristik perempuan dan laki-laki.
Selain stigma di atas, ada juga yang mengira bahwa feminisme itu “pasti begitu” yang mengasosiasikan bahwa feminisme itu hanya satu aliran dengan premis jika X pasti Y. Saya pernah diintervensi seseorang dengan dalih “kamu kan feminis, kamu pasti…”. Feminisme memiliki berbagai aliran yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, feminisme Marxis-Sosialis, Feminisme Psikoanalisis dan Gender, Feminisme Posmodern, Feminisme Multikultural dan Global, Ekofeminisme dan Postfeminisme.
Jadi, apa yang diperjuangkan setiap pemikir feminis atau aktivis memiliki nilai politisnya masing-masing, sesuai dengan kepentingan dan apa yang menurut mereka esensial untuk diperjuangkan. Para feminis memiliki medan perjuangannya masing-masing, dan para feminis bukanlah kelompok perempuan pembenci laki-laki. Justru feminis menginginkan kehidupan yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki. (bersambung)