Mubadalah.id – Salah satu dosen Pascasarjana Ilmu al-Quran dan Tafsir Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ) Jakarta, Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm menggagas Ngaji KGI atau Keadilan Gender Islam.
Ngaji KGI tersebut dalam rangka menyiapkan generasi penerus bangsa yang sadar gender. Sebab, dengan kesadaran gender akan tercipta suasana yang menghormati kemanusian.
Metode ngaji adalah sebagai inovasi pembelajaran yang khas dengan mengadaptasi budaya lokal untuk lebih fokus dalam belajar. Ngaji KGI ini pula diharapkan dapat menjadi salah satu jalan keluar permasalahan mutu pembelajaran yang stagnan di sekolah ataupun perguruan tinggi.
Ibu Nur, sapaan akrabnya mengatakan, ngaji KGI merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kesadaran gender baik untuk laki-laki maupun perempuan. Untuk itu, proses pembelajaran mengenai keadilan gender harus terus dilakukan.
“Selama ini, nyaris bicara tentang KGI hanya di forum-forum formal. Kalau tidak di kelas karena kuliah, ya training, workshop, seminar, FGD, atau sejenisnya. Segmen pesertanya pun terbatas. Tidak semua yang hadir juga benar-benar ingin sinau” kata Bu Nur, melalui akun facebooknya, belum lama ini.
Oleh sebab itu, menurut dia, ngaji KGI ini penting dilakukan, karena KGI sesi- 1 yang dimulai sejak Sabtu, 11 Mei 2019 di Pamulang, Tanggerang Selatan telah mendapatkan respon yang luar biasa. Pasalnya, saat ini sudah diikuti oleh 6 angkatan dengan jumlah peserta 134 orang.
“Melihat sambutan hangat ini. Ku umumkan lagi kesempatan berikutnya lewat jalur sama. Semula direncanakan 2 sesi. Karena ada yang daftar secara berkelompok, akhirnya ku buat 3 sesi,” tuturnya.
Ia menjelaskan, ngaji KGI berdurasi 4 jam itu membahas materi dasar terlebih dahulu, meliputi perbedaan gender dan jenis kelamin, pengalaman perempuan secara biologis dan sosial, tingkat kesadaran kemanusiaan perempuan, dan pergulatan Islam dalam memanusiakan perempuan selama 23 tahun masa kerasulan.
Sedangkan untuk pembahasan selanjutnya, lanjut Ibu Nur, akan dibahas tentang relasi mudzakar (laki-laki) dan muannats (perempuan) dalam bahasa Arab.
“Kurang lebih mendiskusikan bagaimana sistem bahasa Arab membangun relasi laki-laki dan perempuan, perbedaan cara pandang Islam dan masyarakat Arab terkait status, nilai, dan peran keduanya, dan pergulatan nilai kontekstual dan ideal Islam tentang perempuan selama turunnya hingga kini,” pungkasnya. (ARUL)