Mubadalah.id – Pengalaman yang ril di tengah masyarakat yang dihadapi oleh para nyai, kiai dan pendakwah yang ada di temapatnya merupakan proses akademik. Hal ini disampaikan Kasi Penelitian dan Pengelolaan HKI Dr. Mahrus el Mawa M. Ag dalam Ngaji Kebangsaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar perdana pada Kamis, 24 Juni 2021 kemarin.
Menurutnya, kita masih menganggap pengalaman personal para ulama ini bukan tradisi akademik, padahal kita mendengarkan pengalaman pengetahuan yang disampaikan dan dibarengi dengan kitab atau teks sebagai landasan penyampaiannya sangat menarik untuk dipublikasikan.
“Pengalaman ini akan mejadi pengetahuan menarik, gambaran realitas sosial menjadi teks baru yang bisa dibaca orang. Riset pada dasarnya menghasilkan produksi pengetahuan,” terangnya. Melalui Pengajian Kabangsaan KUPI yang digagas Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jendral Pendidikan Islam dan Jaringan KUPI ini sebagai upaya mendokumentasikan dan mempublikasikan pengalaman ulama perempuan menjadi pengetahuan baru bagi khalayak luas.
Menurut Dr. Suwendi M. Ag pelibatan ulama perempuan dalam hal ini untuk menegaskan intelektualitas tidak sekadar diukur dari jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki otoritas yang sama akan intelektualitas keilmuannya.
“Ternyata tidak seperti itu banyak perempuan yang memiiki peran yang luar biasa tidak hanya di ruang domestik tapi juga ruang publik di ruang intektual banya guru besar, tokoh dan pemuka yang ini dilakukan perempuan,” kata Koordinator pada Subdirektorat Penelitian dan PKM itu. “Di pegajian ini kita melihat peraktik baik melalui pesanten dan majelis taklim. Apa yang kita selengggarakan juga bagiamna membangun komitmen kebangsaan kita,’ tambahnya.
Sementara itu, Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir MA mewakili jaringan KUPI menjelaskan KUPI adalah kongres ulama perempuan Indonesia yang dilakukan pada tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Cirebon.
KUPI mengasilkan 3 fatwa yaitu haramnya kekerasan seksual, wajibnya melindungi anak dari pernikahan dan haramnya perusakan alam, serta rekomendasi terkait berbagai kehidupan berbangsa terutama moto kupi merawat nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan dan keadilan.
Lebih jauh, dalam konteks KUPI ulama bukan individu tapi sebagai kelompok yang tindakannya kolektif keulamaan, dengan saling menguatkan untuk menjadi gerakan bagaimana keislaman dan kebangsaan menyatu. Tidak lagi berbicara ayat suci diatas ayat konstitusi atau sebaliknya. Namun bagaimana kita melaksanakan ayat suci pada konteks konstitusi, dan melakukan konstitusi sebagai bagian dari perintah ayat suci.
“Ulama perempuan bukan soal jenis kelamin perempuan, tapi siapapun yang memiliki keberpihakan kepada kelompok yang lemah, kesadaran bahwa dalam keadaan nyata di kehidupan ada banyak perempuan mengalami kekerasan, ketimpangan, lalu kita semua punya kesadaran mentransformasi-kan itu agar berubah sebagaimana yang diharapkan Islam sekaligus konstitusi negara,” kata Penulis Qiraah Mubadalah yang juga salah satu Pendiri Fahmina Institute.
Ngaji Kebangsaan KUPI ini berlangsung selama 25 sesi sejak 24 Juni sampai 28 September 2021. Pengajian ini menghadirkan ulama perempuan dari berbagai macam latar belakang dan tema kajian Islam yang nanti akan disusun menjadi buku. Pengajian ini ditayangkan hari Selasa dan Kamis setiap minggunya melalui zoom meeting dan live streaming di media sosial beberapa lembaga seperti Alimat, Rahima, Fahmina Institute dan Mubadalah.id. []