Mubadalah.id – Ada beberapa teman yang DM, kok sekarang jarang menerjemahkan puisi Rumi lagi? Jujur, tidak setiap saat saya bisa menerjemahkan puisi Rumi. Butuh kesiapan ruhiah untuk bisa menyelami setiap bait yang ditulis oleh Rumi. Saat kondisi spiritual saya sedang terjun bebas, menerjemahkan satu baris saja, rasanya berat sekali. Apalagi puisi yang kandungannya berupa doa, seperti puisi di bawah ini. Butuh penghayatan yang lebih jauh lagi.
Puisi yang merupakan Ghazal 44 dari Divan-e Shams ini, berbicara bagaimana sebuah harapan tak mengenal pupus di hadapan-Nya. Rumi seolah berbicara kepada seluruh pembacanya di sepanjang masa, seberapa besar kesalahan dan kekhilafan yang kita lakukan, Tuhan akan tetap memeluk kita dengan kehangatan dan kasih sayangNya.
Bagi saya, doa sendiri adalah ungkapan terdalam seorang hamba kepada Tuhannya, apalagi jika doa itu diungkapkan oleh penyair sufistik yang tidak hanya memiliki kefasihan bahasa, tapi juga kedalaman makna. Maafkan, jika karena keterbatasan yang saya miliki, mengurangi kelezatan dalam menyelami puisi Rumi.
_____
Ghazal 44 Divan-e Shams
Di dua dunia ini, adakah yang lebih indah dan penyayang dari-Nya, duhai Amir-ku
Ratusan khilaf dan dosa yang kuperbuat, tak membuat-Nya kecewa dan marah
Bukalah mata hatimu dan rasakan cinta-Nya, saat kau khilaf bagaimana Ia mendekapmu
Ia yang mengampuni dosa-dosa hambanya, laksana mata air yang jernih dan sejuk
Kehangatan sapaan-Nya telah membuat-ku begitu malu dan tak berdaya
Andai aku batu mungkin akan melunak karena kelembutan tutur-Nya
Meski kau datang dengan racun dosa ke hadapan-Nya, Ia ubah menjadi rasa manis
Kemarahan dan kesalmu, akan berganti kerelaan dan penerimaan
Rasakan cinta-Nya yang menghidupkan hingga kau tak akan pernah takut kematian
Bergegaslah menuju jalan keridhaan kekasih, jangan menghindar dari ketentuan-Nya
Wahai engkau yang lemah dan merasa terhina,
raihlah kemuliaan sejati dengan hanya bersujud kepada-Nya
Kunamakan “cinta” ini dengan “sultan”, tahukah kau alasanya?
Tentu sulit memahaminya jika kau hanya berhenti pada gambaran zahir
Jika hati terpisah dari sang kekasih, maka jiwamu akan berkalang darah
Kau akan terbunuh dalam penantian panjang sampai kekasih memanggilmu “kemarilah”
Hati laksana merpati, jika ia pergi dari atap rumahmu
Merpati akan selalu ingat tempat kembali, meski terbang jauh ke angkasa
Duhai kekasih, hanya engkaulah atap dan angkasa, tempat ku-bernaung
Engkaulah air kehidupan yang sejukkan jiwaku, seluruh penampakkan di alam hanya bejana
Tak usah kau berlari jauh, karena cahaya kebenaran ada di dekatmu
Tak harus bersuara keras, karena Ia mengetahui setiap bisikkan hatimu
Aku menari gembira karena air kehidupan telah menyirami jiwa
Air yang bahkan mampu menyuburkan ladang-ladang gersang
Saat ladang-ladang kering dan mati itu kembali dialiri air
Katakan pada ranting patah: seraplah air dan rasakan mukjizatnya
Ketika malam telah berlalu dan fajar menjelang, bersiaplah menanti suara langit
Habiskan malammu seperti rembulan yang tak pernah beranjak hingga fajar menyingsing
***
Saya percaya, setiap kita punya sisi ilahiah yang dapat menangkap setiap tanda-Nya dalam bentuk apapun, termasuk kata-kata dan bahasa. Jadi silahkan teman-teman tafsirkan sendiri. []