Praktik nikah siri ini bisa membahayakan dan berdampak pada hilangnya hak-hak perempuan sebagai istri. Sebab nikah siri merupakan kawin yang tidak dicatatkan secara resmi di Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Mubadalah.id – Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) memaparkan jika perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke delapan di dunia. Bahkan, berada di peringkat ke-2 di ASEAN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, sekitar satu juta lebih perempuan di Indonesia menikah sebelum berumur 18 tahun.
Karena kondisi yang mengkhawatirkan ini, pemerintah mengambil langkah dengan mengatur batas usia perkawinan anak melalui Undang-undang No 16 tahun 2019 tentang perkawinan bahwa minimal usia nikah baik laki-laki maupun perempuan ialah 19 tahun.
Namun meskipun pemerintah telah mengatur batas usia perkawinan tersebut, praktik nikah anak di berbagai daerah masih terus terjadi. Salah satunya di wilayah Kabupaten Kuningan.
Mulai tanggal 4 hingga 10 Juli 2023 saya dan teman-teman Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) melakukan mini riset di dua desa yang ada di Kabupaten Kuningan.
Selama satu minggu melakukan mini riset ini, saya menemukan beberapa fakta unik dan menggelitik yang ada di masyarakat tempat saya bertugas. Salah satunya tentang praktik nikah siri bagi anak-anak yang dinikahkan pada usia di bawah 19 tahun.
Dalam sesi wawancara dengan salah satu petugas KUA di sana, saya mendengar bahwa praktik nikah siri ini biasa dilakukan ketika ada orang tua yang ingin menikahkan anaknya di bawah usia 19 tahun. Selain itu kondisi ini kadang sering mereka lakukan sebagai solusi bagi anak yang mengalami Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD).
Menurut masyarakat di sana menikah secara agama atau biasa disebut nikah siri ini merupakan salah satu solusi untuk meringankan beban ekonomi orang tua, menghindarkan anak perempuan dari pergaulan bebas dan dari KTD.
Dampak Nikah Siri
Melihat realitas yang ada di desa tempat saya bertugas tersebut, membuat saya merinding. Bagaimana tidak, perjuangan pemerintah untuk menghilangkan praktik nikah anak ini akan sulit terwujud.
Sebab praktik nikah anak ternyata terus dilakuan dengan modus-modus yang berbeda-beda, salah satunya dengan cara nikah siri
Padahal praktik nikah siri ini bisa membahayakan dan berdampak pada hilangnya hak-hak perempuan sebagai istri. Sebab nikah siri merupakan kawin yang tidak dicatatkan secara resmi di Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Meskipun kawin siri secara agama sah karena sudah memenuhi syarat dan rukun. Namun di dalam hukum negara pasangan yang melakukan kawin siri tidak mempunyai kekuatan secara hukum, terutama pihak perempuan.
Sebab secara hukum perempuan tidak dianggap sebagai istri sah, karena tidak memiliki akta nikah. Sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk mengakses hak-haknya sebagai warga negara.
Tidak Memiliki Hak Nafkah
Di sisi lain ketika terjadi perceraian dalam perkawinan siri, perempuan tidak memiliki hak atas nafkah dan harta gono-gini. Bahkan ia juga tidak dapat menuntut hak perwalian anak. Karena proses cerainya sebatas dengan kesepakatan saja.
Lalu ketika suami meninggal, pihak istri juga tidak memiliki hak atas warisan. Karena secara hukum, perkawinan ini dianggap tidak pernah terjadi sebab tidak tercatat di PPN.
Tidak hanya selesai sampai di situ, perkawinan siri juga bisa berdampak pada anak yang lahir dari pasangan tersebut. Secara hukum anak tersebut tidak bisa tercatat sebagai anak sah. Sebab berdasarkan UU Perkawinan Pasal 42 menyebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Maksudnya sah pada pasal ini adalah yang tercatat dan terakui oleh hukum negara.
Dengan begitu ketika proses pembuatan akta kelahiran, anak yang lahir dari pasangan yang nikah siri akan tercatat sebagai “anak di luar nikah”. Hal ini berkaitan dengan ini Pasal 43 UU Perkawinan mempertegasnya dengan menyatakan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Inilah yang menyebabkan anak dari perkawinan siri tidak mendapatkan hak nafkah dan memperoleh warisan dari ayahnya.
Enam Dampak Nikah Anak
Selain kerugian yang akibat praktik nikah siri, ternyata menikahkan anak di bawah usia 19 tahun juga bisa menimbulkan banyak kerugian. Seperti yang Komnas Perempuan sampaikan bahwa setidaknya ada enam kerugian dalam praktik nikah anak.
Pertama, pendidikan. Anak perempuan yang kawin sebelum berusia 18 tahun, 4 kali lebih rentan dalam menyelesaikan pendidikan.
Kedua, ekonomi. Kerugian ekonomi yang diakibatkan perkawinan anak ditaksir setidaknya 1,7% dari pendapatan kotor negara (PDB) sebab kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi terhambat.
Ketiga, kekerasan dan perceraian. Perempuan yang menikah pada usia anak lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian.
Keempat, Angka Kematian Ibu (AKI). Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan menjadi penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan berusia 15 – 19 tahun. Ibu muda yang melahirkan juga rentan mengalami kerusakan pada organ reproduksi.
AKB
Kelima, Angka Kematian Bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari/1,5 kali lebih besar daripada ibu berusia 20 – 30 tahun.
Keenam, stunting. Satu dari tiga balita mengalami stunting. Sebab perkawinan dan kelahiran pada usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting.
Dengan melihat dampak dari nikah siri dan nikah anak di atas seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak, mulai dari pemerintah desa, petugas KUA dan masyarakat pada umumnya untuk tidak melanggengkan pernikahan anak dan nikah agama.
Sebab dampak-dampak tersebut akan sangat merugikan. Bahkan menyusahkan anak perempuan yang menikah siri.
Justru sebaiknya solusi-solusi yang kita ambil ketika ingin menyelesaikan persoalan KTD atau pergaulan bebas bagi anak-anak di desa sebaiknya dengan cara-cara yang menghindarkan mereka dari kondisi sulit tersebut. Misalnya dengan memberikan pendidikan kesehatan reproduksi atau mengalihkan mereka pada kegiatan yang lebih produktif dan manfaat. []